BAB 2
"Dari mana saja kamu Hazel?"
Suara interupsi ketika hendak menaiki tangga sontak menghentikan langkahnya dan berbalik sambil melepaskan syal yang melekat di leher beserta topi yang menutupi wajahnya.
"Kamu melakukan itu lagi? Sudah berapa kali Papa bilang, jangan mencoba mengusik singa, kamu bisa terluka nantinya."
"Iya, Sayang, Mama tidak ingin melihatmu terluka lagi, cukup saat kamu kecil, Mama tidak ingin kamu masuk rumah sakit lagi," timpal Mamanya memegang tangan anak gadis satu-satunya.
"Ma, Pa, ini tugas akhir skripsiku dan semua harus melakukannya. Kebetulan saja aku kebagian judul tentang mafia itu, Ma. Toh, aku hanya memotret mereka dari jarak 100 meter. Oh ya, makasih Papa buat kameranya."
Hazel tersenyum lebar, peringatan orang tuanya hanya sebatas angin berlalu seperti sebelumnya. Dia memang keras kepala, anak tunggal yang selalu melakukan apa pun seperti keinginannya sendiri bahkan begitu lincah menghindar dari bodyguard yang ditugaskan oleh pewaris Orlion.
Gate mengehela napas berat.
"Besok malam kamu harus pulang awal, akan ada tamu makan malam. Jika terlambat, Papa akan menyuruh dekan untuk mencabut izin kuliahmu. Mengerti?"
"Memangnya siapa tamu itu, Pa? Ah, jangan bilang itu anak wakil presiden atau menteri lagi. Hazel sudah tidak ingin mengenali calon yang bukan tipikal Hazel, Pa, Ma. Please ... mengertilah aku Mama Papa," ucapnya menekuk wajah memelas.
"Ini untuk terakhir kalinya. Minggu depan acara tunanganmu dengan anak sahabat lama Papa. Tidak ada bantahan, tidak ada penolakan. Jika mau kabur, pergilah ke dunia lain karena aku akan bisa menemukanmu meski ke ujung dunia," tegas Papa menyeringai, mengakhiri percakapan tengah malam tersebut.
Hazel menghela napas pasrah, bangkit menuju kamar di lantai dua. Menatap dirinya pada cermin besar yang menampilkan wajah sedihnya namun tidak ada setetes air mata yang keluar dari kedua mata hitam Hazel.
Sejak duduk di kelas satu SD, matanya telah kering dari air bening yang disebut airmata. Sesedih apa pun dirinya tidak akan pernah bisa mengeluarkan setetes pun. Dia begitu heran, bertanya pada orang tua karena takut ke rumah sakit. Tapi orang tuanya mengatakan itu baik-baik saja. Hazel memilih menghiraukan dan tidak merisaukan masalah tersebut. Sudah biasa dengan ejekan temannya menyebutnya gadis tanpa airmata.
Hanya bisa memutarkan lagu paling sedih sedunia melalui earphone. Pecuma memaksakan terisak, Hazel memilih untuk tidur saja. Toh selama ini kehidupannya memang selalu dalam aturan Papanya yang tidak bisa dibantah.
•••
"Sudah pukul empat sore, aku pamit duluan!"
Hazel bangkit dari kursi cokelat bundar. Keempat temannya tersenyum menggoda karena cerita dari dia tentang pertemuan perjodohan malam ini.
"Biasanya kau cuek dengan perjodohan. Apa mungkin lelaki kali ini sangat tampan dan membuatmu terpesona?" Hazel menghentikan gerakan tanggannya membuka knop pintu karena suara Alexa diiringi ketiga teman lainnya.
"Tentukan tanggal pertemuan dengan kita-kita ya, Zel. Mungkin aku bisa menjadi yang kedua!" seru Crystal.
"Aku akan menjadi orang pertama yang menyeretmu ke penjara Crystal," ancam Cerlyn dengan wajah judesnya.
"Katakan saja kalau kau butuh bantuan, Hazel," timpal Olive, "hiraukan mereka. Good luck!" lanjutnya. Hazel mengangguk seraya menyeret langkahnya keluar dari tempat kediaman mereka bersama.
Jalanan sangat macet, Hazel masih saja mengulur waktunya dengan bepergian ke mall atau tempat games. Mamanya sudah berulang kali menelpon mengingatkan agar tidak membuat Papa murka.
Mama:
Ini sudah setengah tujuh Sayang, kamu di mana?
Hazel:
Ma, Hazel kejebak macet, serius deh. Nih Hazel fotoin.
Send picture.
Mama:
Yaudah hati-hati pulangnya sudah malam, nanti Mama bilangin sama Papa biar kamu tidak dimarahi. Jangan mengebut asalkan selamat.
Hazel tersenyum membaca pesan dari Mamanya yang selama ini selalu mementingkan dirinya dengan segala sikap keras kepalanya.
Tit. Tit.
Suara klakson berbunyi bertubi-tubi, Hazel kesal dan segera membelokkan mobilnya ke jalan sempit yang hanya bisa dilewati satu kendaraan saja. Jalanan tersebut hanya disinari lampu neon berenergi rendah. Satu-satunya jalan pintas, hanya dua kali pernah dilalui olehnya ketika terdesak.
Dor.
Boom.
Hazel mengerem mobilnya mendadak ketika letusan terdengar dari belokan sekitar 100 M darinya. Dia turun dari mobil tanpa lupa membawa kamera digital, bersiap untuk merekam kejadian di balik tembok itu.
"Shit! Tutup mulutmu! Apa yang harus kita lakukan dengan orang ini?"
Lelaki berkaos hitam dengan topi menutupi sebagian wajahnya mengibaskan tangan, sebagai isyarat lakukanlah terserah kalian.
Dor!
Hazel menutup mulutnya agar menahan jerit ketika letusan pistol terdengar di udara. Dengan tangan gemetarnya, dia merekam beberapa lelaki dirundung persengitan itu.
"Mr. Arlond?"
Hazel mengenali satu wajah lelaki paruh baya yang tengah berlutut. Ujung pelipis mengeluarkan darah akibat mendapat tonjokan dari lelaki berjaket kulit yang memegang pistol. Perkiraannya semakin kuat ketika Mr. Arlond ditarik paksa untuk berdiri. Kementrian Ekonomi itu merupakan salah satu dari daftar orangtua yang sudah bertamu ke rumahnya bersama anak mereka, bertujuan sama untuk melamar Hazel yang selalu ditolaknya. Karena itu Hazel masih mengingat jelas wajah Mr. Arlond meski hanya satu kali bertemu saja, mengingat Mr. Arlond bagian dari pemerintah, tentu wajah lelaki tersebut tidak akan begitu asing. Setiap mingguan menghiasi halaman utama di media cetak dengan pelbagai berita.
"Pergilah!"
Mr.Arlond dipapah oleh dua bodyguard menuju mobil Toyota hitam dengan bagian depan kacanya sudah retak. Hazel tidak ingin melewatkan momen penting itu. Dia segera mengarahkan kameranya setelah menyetel jarak untuk dibidik gambar mereka.
Cekrek.
Cekrek.
Beberapa kali Hazel berhasil membidik dengan tepat, kali ini dia mengarahkan pada sasaran objek lelaki bertopi. Hazel sedikit memajukan tubuhnya, menekan tombol untuk memotret lelaki itu.
Cekrek.
Berhasil.
Hazel mereview hasil bidikannya, menekan zoom untuk melihat dengan jelas wajah lelaki tersebut.
"Jika kau ingin melihatnya, aku di sini." Ucapan suara berat mengagetkannya, untung saja dia berhasil menangkap kamera yang hampir terjatuh. Hazel mendonggak ketika sekian detik memperhatikan sepatu hitam yang menyejajari kedua kakinya.
Mata tajam itu menatapnya datar, Hazel sontak memundurkan langkahnya yang terhimpit dinding. Wajah mereka sangat dekat, suara deru napas pun terdengar jelas.
"Ka-u mau apa?"
Suara Hazel jelas sekali terdengar gugup meski dia sudah mencoba tenang. Pasalnya, ini bukan pertama kali dia tertangkap mengintip kejadian rahasia seperti tadi. Memata-matai preman adalah pekerjaannya sebagai tugas untuk memperkuat skripsinya tentang masalah kriminalisasi.
Lelaki itu mengunci tatapan mereka dengan tangannya disangahi pada dinding kasar dekat telinga Hazel.
"Hapus!" titah lelaki tersebut setelah sekian detik. Hazel tidak berkutik hingga lelaki itu merebut kamera di tangannya Hazel yang mencoba menarik kembali barang miliknya.
"Jangan sentuh itu!" teriaknya langsung dibekap oleh lelaki bertopi tersebut.
"Pelankan suaramu jika tidak ingin ditangkap oleh mereka!" ucapnnya melirik cepat pada ketiga temannya yang tengah memberesi sisa pekerjaan mereka.
Hazel menginjak keras kaki kiri lelaki itu yang mengeram kesal.
"Sialan!"
Lelaki itu menarik tangan Hazel, menghimpitnya kembali pada dinding.
Prang.
Hazel terganga ketika melihat kamera terjatuh berserakan di lantai. Kamera white tersebut semakin berubah kepingan ketika lelaki tanpa nama itu menginjaknya berkali-kali.
"Ap-a yang kau lakukan? Brengsek!" Hazel mendorong keras tubuh lelaki setinggi 180 meter tersebut. Dengan tangan gemetarnya dia mengumpulkan bagian kamera yang tercecer.
"Kau seharusnya membalas injakan kakiku bukan menginjak kameraku, brengsek!" sulutnya berdiri menantang lelaki tersebut.
Drtt ...
Hazel merogoh ponsel yang menampilkan nama Mamanya. Sial dia lupa waktu untuk segera sampai ke rumah.
"Michele!"
Suara panggilan dari teman lelaki bertopi itu mengalihkan perhatian keduanya.
"Ternyata kau bernama Michelle, baiklah sampai ketemu lagi. Aku tidak akan membiarkanmu lolos nantinya," ujar Hazel berjalan cepat menuju mobil.
Hazel segera men-start mobil, menekan pedal gas membuat Michelle terpaksa harus memilih minggir jika tidak ingin ditabrak.
"Penguntit?"