Chapter 2 - kenyataan

tawa anak-anak seiring teguran orang tua seakan menjadi satu-satunya teman yang menemani Mo yanran. setelah melirik taman rumah sakit untuk terakhir kalinya, gadis itu berbalik dan melangkah ke kamar mandi.

rambut lembut hitam legam yang melewati pinggang bagaikan air terjun yang mengalir, mata coklat yang bersinar bahkan dalam kegelapan seakan tidak pernah ternoda, hidung mancung yang mungil, dan bibir lembut berwarna ceri semuanya menjadi bukti akan kecantikan yang telah sepenuhnya mekar. seulas senyum akhirnya terpantul di cermin itu.

senyum yang seakan bisa mendamaikan seluruh dunia. namun hanya dia yang tahu bahwa dibalik senyum itu ada kebencian yang takkan pernah padam, penyesalan yang takkan pernah berakhir, tekad yang takkan terkalahkan dan harapan yang mulai bertunas. kematian, hal itulah yang telah memberinya kesempatan. tanpanya ia mungkin akan terus hidup dalam kebohongan, pengkhianatan dan kebodohan.

28 tahun sama sekali tidak membuatnya melihat kenyataan namun sebuah kematian mampu membuatnya melihat dan memahami semuanya. dalam kehidupan kedua ini, mo yanran bertekad untuk mengubah hidupnya dan menebus semua cinta yang telah ia kecewakan di kehidupan pertamanya.

"tok,,,,tok,,,, nona muda,,," suara bibi Wang terdengar lembut dari balik pintu kamar mandi. tanpa menunda, Mo yanran melangkah dan membuka pintu kamar mandi. seperti di kehidupan sebelumnya, bibi Wang selalu menjadi yang paling lembut dan tulus. menghangatkan hatinya yang telah tercemar pengkhianatan. "nona, tuan muda baru kembali dari perjalanan bisnis nya. Lou fang sudah mengurus prosedur pemulangan. apakah anda ingin kembali ke kebun jin?"

kata-kata bibi Wang mengingatkan Mo yanran pada sosok tampan yang selalu terlihat dingin itu. Jin yan, suami yang selalu ia sakiti dikehidupan pertamanya berkat hasutan kakak perempuan nya yang munafik. namun sekarang semuanya berbeda. ia tidak akan lagi tertipu oleh fasad dingin pria itu karena ia akhirnya menyadari di akhir hidupnya bahwa pria itu telah memberikan semua cintanya untuknya meskipun ia terlalu buta untuk melihatnya. sekarang ia telah kembali ke lima tahun yang lalu, dimana ia baru saja terbangun dari komanya setelah 2 bulan.

"nona, sebenarnya tuan muda telah menunda semua pekerjaan nya selama 2 Minggu setelah anda mengalami kecelakaan. tapi ada terlalu banyak pekerjaan mendesak yang harus ditangani langsung oleh tuan muda. jadi tolong jangan salah paham bahwa tuan tidak peduli padamu!" melihat nona muda nya tidak menjawab, bibi Wang berfikir nona muda pasti masih tidak menyukai tuan muda karena menikahinya 3 bulan yang lalu. bagaimanapun semua orang tahu bagaimana putri bungsu keluarga Mo, mo yanran menyukai putra sulung keluarga Jiang, tunangan kakak perempuan nya sendiri.

"berikan ponselku," suara gadis itu lembut, sehalus sutra. menenangkan siapapun yang mendengarnya. sayangnya dia tidak menghargai nya sebelumnya. nada kasar dan tidak sopan telah menemani hidup pertamanya.

"ah?? tapi nona muda, ponselmu rusak selama kecelakaan."

"pinjamkan ponselmu,,,"

"tuan muda, saya sudah mengurus semua prosedur pemulangan untuk nona muda. tuan mo juga menelpon untuk menanyakan kepulanganmu. sepertinya ada masalah dengan tanah di selatan." Lou fang menjelaskan disela-sela mengemudi menuju kebun jin.

"dia tidak menanyakan keadaan putrinya?" suara pria itu rendah namun tetap tidak bisa menyembunyikan rasa dinginnya. matanya yang terpejam tetap tidak bisa menghilangkan aura mulianya, membuat siapapun ingin menunduk dihadapannya.

"tidak tuan muda." jawab Lou fang sedikit kaku. bagaimana pun ia tidak mengharapkan pertanyaan seperti itu mengingat ketidakpedulian tuannya terhadap siapapun. keheningan kembali menyelimuti Maybach tersebut sampai deringan ponsel terdengar. tanpa ekspresi, Jin Yan mengeluarkan ponselnya dan menatap nama bibi Wang untuk beberapa saat sebelum menjawabnya.

"suami?" Jin yan membeku. suara lembut nan genit di ujung telpon jelas bukan suara bibi Wang. bahkan jika nadanya sangat berbeda dari 2 bulan yang lalu ia tetap tidak akan salah mengenalinya. "suami? kau mendengarku?" pertanyaan itu menarik kembali Jin yan ke kenyataan. pria itu berdehem pelan, menyembunyikan kecanggungan nya.

"ada apa?" suara Jin Yan sedingin biasanya, namun sedikit kelembutan mewarnai matanya.

"aku ingin makan pangsit!" suara lembut gadis itu terdengar manja dan sedikit genit. menggelitik hati Jin Yan yang telah lama mengkhawatirkan keadaan nya.

"bagaimana dengan kakimu?"

"aku bisa berjalan dengan baik."

"gunakan kursi roda!" balas Jin Yan pelan namun tegas. "biarkan bibi Wang membuatkan pangsitnya setelah sampai di rumah, jangan makan diluar." tambah Jin Yan karena tidak kunjung mendapat jawaban yang diinginkan nya.

"suami,,," lagi-lagi panggilan itu membuat Jin Yan bingung. karena seingatnya, Mo yanran tidak akan pernah bersikap lembut padanya apalagi manja dan genit. namun pengalaman hidup 27 tahun membuat Jin Yan mampu mempertahankan ketenangan dan sikap dinginnya yang biasa.

"katakan,,,"

"aku akan duduk di kursi roda, tapi,,,, tidak bisakah kau membuatnya sendiri? aku ingin memakan masakan mu!"