"Ayah! Kamu jangan main pukul terus, sama anakmu sendiri! Kamu memang nggak mau anakmu bahagia, apa?" tangkas Azhari yang menahan pukulan Benny pada anaknya.
Usman sungguh tidak menyangka akan seperti ini akhirnya. Awalnya ia sangat takjub dengan kekayaan mereka. Tapi ia tidak menyangka di balik kekayaan yang melimpah itu tersimpan sesuatu yang membuatnya terperangah.
"Kamu juga, jangan melawan ayahmu sendiri, Nak. Kamu ini seorang gadis yang nggak pernah mau nurut sama ayahmu," ketus Azhari. Ia memegang pipi Farisha yang terdapat luka lebam.
"Sudah! Kalau mau menikah dengan anak bodoh seperti dia!" tunjuk Benny pada Usman. "Lebih baik pria yang aku pilihkan dulu! Itu bisa membuat kita semakin kaya! Tidak seperti lelaki miskin yang hanya mau memanfaatkan harta keluarga!"
"Bukannya kamu yang memanfaatkan harta keluarga, hah? Kamu yang memanfaatkan keluarga ibuku!" Kembali Farisha menunjuk ke arah Benny dengan posisi duduk di depan Azhari.
"Tenang, Nak. Tapi kamu nggak boleh kurang ajar sama ayahmu, Nak. Itu ayahmu, ayah kandung kamu. Ayah biologis kamu dan karena ayahmu itu, ibu bisa melahirkanmu," lirih Azhari lalu memeluk anaknya yang pastinya akan dipukuli oleh Benny.
Bukan pukulan tetapi tendangan yang mereka berdua dapatkan. Melihat Benny yang murka itu membuat nyali Usman menciut. Bagaimana mungkin ia berani melawan calon mertuanya itu kalau sifat Benny melebihi pamannya, Kardi.
"Hei, Kamu! Punya apa kamu mau menikahi anak saya?" tunjuk Benny pada dada Usman. "Anak muda tidak tahu malu, cuih!"
Benny sampai meludahi Usman yang berdiri gemetar ketakutan. Usman harus menerima cacian dari Benny yang terus menyebabkan mentalnya melemah. Bahkan Benny juga mengusap pundak pemuda itu lalu menendang perutnya dengan lutut.
Usman tidak bisa berkata-kata lagi karena menahan rasa sakit di perutnya. Badannya terhuyung ke lantai dan jatuh pingsan. Itu terjadi ketika pikiran Usman yang kacau dan tidak bisa menerima semua yang terjadi. Dirinya terlalu kaget karena baru kali ini ia diperlakukan lebih kejam dari perlakuan pamannya terhadapnya.
"Anak lemah ... baru tendang perut saja sudah pingsan! Heh ... rumah ini sudah tidak ada yang waras, kah? Rasanya tidak betah tinggal di rumah lagi! Kalian urus saja lelaki bodoh ini!" kecamnya mencampakkan semua orang.
Karena meraea tidak puas, pria itu berniat pergi dari rumah seperti biasanya. Ia akan pergi dan lama tidak akan kembali. Namun saat sudah mau pergi, istrinya menahan kakinya.
"Ayah, jangan pergi," lirih Azhari dengan suara serak. "Kenapa kamu nggak pernah mau berubah?"
"Sialan! Dasar istri tidak berguna! Mau kamu nggak becus mendidik anak!" makinya lalu menendang wanita yang berada di kakinya. "Ini yang membuatku tidak betah di rumah! Anak dan istri sama saja tidak berbakti. Ini apalagi anak kita sampai mau menikah dengan orang idiot sepertinya!"
"Ibu!" teriak Farisha. Ia membantu ibunya yang tergeletak di lantai. "Dasar Benny bajingan! Pergi dari rumah sini!" usirnya dengan menunjuk ke arah pintu.
"Hehh ... siapa juga yang betah di rumah kalau keadaan rumah seperti berada di neraka! Kalian ini semuanya hanya orang-orang bodoh! Lebih baik pergi daripada di rumah bikin emosi terus!"
Benny meninggalkan rumah itu dengan amarah yang memuncak. Sedangkan Farisha membawa ibunya untuk duduk di sofa. Dengan sisa tenaganya yang tersisa, ia membawa wanita yang telah melahirkannya dengan susah payah.
Tak lama setelah itu, pembantu rumah tangga itu mendekat ke arah dua wanita itu. Ia sebenarnya melihat kejadian itu tapi tidak berani menolong. Ia sangat takut kalau sampai Benny juga memukul dirinya.
"Maafkan saya yang nggak bisa berbuat apapun, Non," ucap Erni dengan perasaan yang masih takut. Ia takut kalau Benny kembali lagi ke rumah.
"Nggak apa-apa, Erni. Kamu bantuin buat mengangkat orang itu! Kamu bisa minta bantuan ke siapa saja yang mau membantu angkat bocah itu ke sofa!" perintah Farisha pada Erni.
Erni mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Karena tidak berani keluar, ia pun menuju ke belakang. Ia takut kalau lewat depan akan kena pukul juga dari Benny yang tidak tahu sudah pergi dari rumah atau belum.
"Kamu kenapa selalu melawan ayahmu, Nak? Kasihan kan, anak itu yang sampai pingsan di tendang ayah kamu? Mungkin dia tidak terbiasa begitu." Azhari menggeleng pelan. Bagaimana ia bisa mengingatkan putrinya yang selalu melawan Benny, ia pun tidak bisa melakukannya.
Perlakuan Benny memang keterlaluan tapi tetap saja Azhari terlalu patuh pada suaminya. Tapi ia tidak mau mengabaikan keinginan anaknya. Ia akan menerima semua keputusan sang anak. Tapi ia tetap tidak setuju kalau harus melawan orang tua.
"Sudahlah, Bu. Lagian dia akan terbiasa. Aku yakin anak itu bisa menolong kita dari semua kejahatan Benny. Kalau tidak mati, setidaknya aku ingin melihat Benny menderita, Bu."
"Astaghfirullah, Nak. Kenapa kamu benci sampai segitunya pada ayahmu sendiri? Ingat, Nak. Kamu jangan punya pikiran buruk pada ayahmu. Mungkin ayahmu saat ini sedang tersesat. Kita harus bersabar dan doakan saja agar mendapatkan hidayah-Nya."
Tak seberapa lama kemudian Erni kembali dengan tukang kebun yang sedang istirahat di belakang. Ia membantu Erni yang mengangkat Usman. Ia juga sudah mengira apa yang telah terjadi.
Usman diangkat oleh dua orang yang bekerja di rumah itu. Mereka berdua saling diam dan membawa pemuda itu ke sofa panjang yang memang muat oleh Usman. Usman yang pendek itu tentu lebih ringan dari orang yang lebih tinggi. Karena itu, mereka berdua dengan cepat lalu sang tukang kebun itu kembali ke belakang.
"Ada yang bisa aku bantu lagi, Non?" tanya Erni yang masih berada di ruang itu. Ia memastikan sampai tidak ada lagi bantuan yang dibutuhkan.
"Biasa, Erni. Ambilkan air hangat untuk mengompres ibu. Kamu yang cepat, Erni!" perintah Farisha dengan suara bergetar.
Farisha memeluk ibunya yang lemah itu. Di tubuhnya sudah banyak luka yang didapatkan dari lelaki durjana yang kejam itu. Bahkan tanpa kesalahan yang diperbuat pun bisa saja terkena dampaknya. Siksaan itu tidak berhenti kalau Benny belum merasa kelelahan.
Farisha memperlakukan ibunya dengan baik. Walau dirinya juga terluka karena pukulan. Walaupun ia masih merasakan sakit luar biasa yang membuatnya tidak bisa lagi menahan getirnya kehidupan.
Melihat Usman yang sampai sekarang belum juga sadar. Farisha mendekati pemuda itu dan memeriksa denyut nadinya yang masih normal. Nafasnya berat dan seperti orang tertidur tapi wanita itu tidak berusaha membangunkannya.
Saat Erni kembali, ia membawa baskom berisi air hangat dan kain putih yang biasa digunakan untuk mengompres luka. Di rumah itu selalu disiapkan itu karena sering kalau ada Benny di rumah. Barang-barang seperti itu akan sangat berguna bagi mereka setelah mendapat pukulan itu.
***