"Maafkan ayah ya, Sayang? Ayah memang belum bisa menjadi ayah yang baik bagi kalian. Tapi, sungguh ayah sangat menyayangi kalian berdua, sungguh!" Tuan Rendi berujar, lembut. Ia masih memeluk dan menepuk punggung Qiran, pelan.
Qiran menarik diri dari rengkuhan ayahnya. Ia mundur beberapa langkah.
"Ayah ini apa-apaan? Tadi mengejekku karena membuat lelucon di usia setua ini, kenapa sekarang memperlakukanku seperti anak kecil, huh?" desis Qiran, tidak terima. Qiran yang mempunyai sifat pendendam itu, mana mau memaafkan ayahnya begitu saja.
"Ahahaha, jadi kamu masih kesal karena ayah menertawakanmu tadi, eum? Astaga, kamu mengatakan dirimu sudah dewasa tapi mengapa kamu masih sering merajuk seperti anak kecil, Qiran Sayang?" Tuan Rensi menepuk pucuk kepala putrinya berkali-kali. "Asal kamu tahu, Nak. Sedewasa apa pun seorang anak, ia akan selamanya menjadi anak kecil di mata orang tuanya, ingat?"