Ada senang dan ada sedihnya ketika aku menjadi tetangganya Maurasika.
Meski kucoba untuk tersenyum, tetapi hatiku tidak bisa didustai. Cemburu melanda hati ketika kulihat Maura dan suaminya bergandengan tangan memasuki kamar apartemen. Tak satupun dari mereka yang menyadari kehadiranku yang hatinya bagai dihantam benda paling keras se-jagad raya.
Cinta itu mengerikan, percayalah. Ia laksana penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka.
***
Malam kedua Maura berada di apartemen Grand Jati, aku baru pulang bersama Mira. Kami baru saja kembali menjalin cinta kembali setelah putus tiga tahun lalu. Aku menerimanya karena tak ada salahnya mencoba peruntungan lagi.
Hanya ada Mira dan aku di lift. Dia mabuk berat. Dalam keadaan mabuk, dia lebih agresif dari biasanya. Tak kenal tempat, ia sempat melakukan hal yang tak pantas jika kusebut di kisah sakral Maura-ku ini.
"Mira, tanganmu! Jauhkan dari sana!" desisku padanya.