Chereads / Kapan nikah? / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

Jissy terpaku mendapati bibir Viza yang tiba-tiba meraupnya. Sungguh keterlaluan memang. Tapi entahlah, Jissy seolah tak mampu berontak. Tubuhnya terlanjur kaku.

Perlahan Viza melepas ciumannya itu. Menatap wajah Jissy yang belum beralih dari kejutnya. "Sekarang sudah bisa diam?" sarkasnya.

"A-apa yang kau lakukan?" terbata.

"Menutup mulutmu. Ayo!" tanpa basa-basi Viza menarik begitu saja lengan Jissy menuju sebuah meja kosong diujung.

Viza tampak tak peduli dengan tatapan orang sekitar yang masih memperhatikan mereka dengan mimik tak percaya. Namun tidak dengan Jissy yang berusaha menutupi wajahnya denga tas yang ia bawa.

"Mau pesan apa?" tanya Viza sembari melihat daftar menu.

Jissy mendecih. Tidak percaya dengan tingkah pria didepannya ini. Bisa-bisanya dia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Minta maaf pun tidak. Padahal dia secara tidak sopan dan begitu berani menodai bibirnya. Kurang ajar sekali memang. Harga diri Jissy seolah lenyap seketika.

Jissy hanya diam menarik bibirnya datar. Membawa pandangannya menuju keluar jendela. Malas.

"Hei! Kamu tidak makan?"

Jissy sangat malas menyahut pertanyaan Viza. Hingga membuat pria itu menghela napas panjang lalu memanggil pelayan dengan melambaikan tangan. "Pelayan!"

Seorang wanita dengan clemek yang menempel pada tubuhnya mendatangi meja mereka.

"Berikan aku dua taeboki."

"Tak perlu memesankan aku. Aku tidak lapar," sahut Jissy dengan jutek. Pun tak memandang Viza sama sekali.

"Siapa yang memesankan untukmu?!" balas Viza sukses membuat kedua mata Jissy membola. "Bungkus yang satunya, ya!" pintanya pada sang pelayan.

"Baik tuan. Ada lagi?" tanya sang pelayan sembari menulis pada buku menu.

"Tidak," menatap Jissy remeh. "Cukup itu saja," lanjutnya.

Jissy tak habis pikir. Bibirnya menganga. Satu decihan ia ciptakan sembari memutar bola matanya. Lalu ia berdiri, "Aku mau pulang."

Tapi dengan cepat Viza menahan tangannya dan menariknya kuat hingga ia kembali duduk. "Tunggu sampai aku selesai."

"Apa maumu sebenarnya?"

"Aku ingin kau menemaniku makan. Apa susahnya?"

"Kau ini benar-benar... Aaisshh," Jissy benar-benar kehabisan kata-katanya.

Dan pada akhirnya Jissy hanya menjadi patung yang berpngku tangan menyaksikan Viza begitu lahap menyantap makanannya. Sesekali pria itu melirik ke arah Jissy yang terus memanyunkan bibirnya. Terkekeh dalam hati. Sangat menyenangkan sekali bisa mengerjai Jissy semacam ini.

Cuaca di luar begitu terik. Semakin membuat Jissy kepanasan saat harus menunggu Viza yang masih berdiri di meja kasir menunggu kembalian.

"Kenapa lama sekali?" protesnya saat pria yang ditunggu itu sudah keluar dari tempat makan.

"Minumlah dulu," menyodorkan sebotol minuman untuk Jissy.

Ingin rasanya Jissy menolak namun tampaknya tenggorokkannya tak mampu bertahan dan terus meronta-ronta sedari tadi. Lantas ia meraih botol itu kasar. Lalu meneguknya cepat.

Viza menatap leher jenjang Jissy yang begitu mempesona disertai tegukan yang juga peluh yang menetes membuatnya semakin seksi.

"Ah!! Ini!" menyodorkan minuman itu pada Viza.

"Kau cantik sekali saat minum."

Jissy terkejut dengan apa yang Viza ucapkan. Ia pun menatap Viza yang terlebih dulu menatapnya dengan tatapan tak terartikan. Membuat pribadi cantik itu jadi salah tingkah dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain sembari mengusap tengkuknya. Viza ini orangnya ceplas-ceplos sekali.

"Lalu kenapa kalau aku cantik?"

"Aku menyukaimu."

Lagi dan lagi seperti tak ada hentinya Viza memberinya kejutan. Ia menatap Viza. Tampak begitu serius tak ada guarauan di mimik wajahnya.

Jissy hanya mendecih dan terkekeh. "Hentikan omong kosongmu. Kau pikir aku akan melayang begitu. Ish, sudahlah ayo kita pulang!"

"Aku serius," ucap Viza lagi. Terdengar santai namun tidak bercanda.

Astaga, Viza ini to the point sekali. Jissy tidak tahu harus bagaimana menanggapi sikap Viza ini.

"Kita baru mengenal satu minggu terakhir ini. Dan kau sudah mengucapkan kata cinta. Aigyoyaa."

"Memang apa masalahnya?"

"Itu terdengar mustahil."

"Kau ingin aku melakukan apa agar percaya?"

Jissy menatap kedua mata Viza yang begitu serius. Sepertinya dia tidak sedang main-main sekarang. Jissy pun mengulum salivanya sendiri. "Tidak ada," sedikit gugup.

"Katakanlah!" sahut Viza cepat.

"Kenapa aku harus melakukannya?"

"Kalau begitu jadilah kekasihku!"

Jissy sukses menganga, "Apa maksudmu??"

"Aigyoo," memasukkan kedua tangannya pada kantong celana sembari menatap ke arah sekitar. Sedikit mencari udara segar sebelum pada akhirnya ia kembali menatap serius ke arah gadis didepannya itu. "Dengar! Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jika aku suka aku katakan suka, jika aku tidak suka maka aku juga tidak akan mengungkapkannya. Jadi, pikirkan semua ucapanku tadi. Aku beri waktu sampai besok. Dan satu hal lagi," memberi jeda pada ucapannya sembari sekilas membasahi bibirnya dengan lidah. "Kau tidak boleh menolak."

Jissy nyengir konyol. "Kenapa jadi memaksa begitu?"

"Ayo!" tanpa memperdulikan protes dari Jissy, Viza langsung saja memutar sepedanya. "Naiklah!"

Apa-apaan ini? Sungguh Jissy belum pernah menemui pria seperti Viza begini. Terlihat dingin. Dan saat berinteraksi pun dia to the point sekali. Bahkan bersikap tanpa dosa saat jelas-jelas telah melakukan kesalahan fatal—mencium tanpa permisi.

Tidak seperti sebelumnya dimana Jissy tidak bisa diam saat berada di perjalanan. Kali ini gadis itu benar-benar diam seribu bahasa. Canggung. Pikirannya juga terus melayang pada ucapan Viza barusan.

Sesekali ia melirik tangan kekar Viza yang berpacu pada stang sepeda. Kulit natural Viza yang kecoklatan terlihat semakin eksotis. Entah apa yang ada di pikiran Jissy. Tapi tanpa disadari senyuman terukir di bibirnya seketika.

Dibawah remang lampu tidurnya serta denting jam yang terus berputar, Jissy seolah terjaga malam ini. Matanya sama sekali tak bisa terpejam. Pikirnya terus melayang pada sosok Viza.

Jissy seakan tak mampu menafsirkan ungkapan Viza soal hatinya siang tadi. Apa ini gurauan? Tapi kenapa Jissy berharap ini bukan lelucon. Bahkan saat Jissy terpejam sosok Viza pun sekilas menghampirinya.

"Jissy!!" suara melengking dari sang ibu mengusik lelap Jissy yang memang baru bisa tidur tiga jam yang lalu. Lantas gadis itu meninggikan selimutnya lebih rapat menutup kepala.

Terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka kasar diikuti teriakan dari suara melengking itu tadi. "Yakk!! Ini sudah jam berapa? Anak gadis tidak bangun jam segini? Keterlaluan!" menarik paksa selimut Jissy. Hingga terpampang nyata tubuh mungil itu meringkuk malas di atas ranjang.

"Ibu, sebentar saja," rengek Jissy lemas sembari berusaha menarik selimutnya kembali.

"Cepatlah bangun! Ibu akan keluar sebentar. Jangan lupa antarkan makanan untuk Viza."

Mendengar nama itu sontak kedua matanya terbelalak dan tubuhnya bangkit seketika. "Ibu, hari ini aku tidak bisa mengantarkan makanan. Suruh kak Yuga saja. Aku masuk kerja pagi hari ini." Sebenarnya itu hanya alasan Jissy saja untuk menghindari Viza. Pasalnya swalayan tempatnya bekerja masih diliburkan sampai dua hari kedepan karena renovasi.

"Kakakmu sudah pergi sejak tadi."

"Kalau begitu Robin saja," melenguh.

"Dia ada ujian di sekolah hari ini. Bisa terlambat kalau disuruh mampir ke tempat Viza."

"Kalau begitu ibu sajalah yang mengantarnya sendiri!" kembali Jissy melempar tubuhnya pada ranjang.

Jissy kembali tertidur pulas setelah ibunya pergi. Aman sekali jika tidak ada penghuni lain di rumah.

Satu jam berlalu. Jissy merasakan sesuatu yang menggelitik di bawah hidungnya. Hingga hidung dan mulutnya berputar-putar merasakan gatal.

"Selamat pagi!" suara deep itu menembus rungu Jissy hingga alam mimpinya perlahan pudar.

"Mmpphh," Jissy terlihat menggeliatkan tubuhnya.

"Apa kamu mimpi indah?" tanya suara berat itu lagi.

Dengan anehnya Jissy hanya mengangguk. Menyadari ada yang ganjal perlahan matanya pun terbuka. Dan betapa terkejutnya saat ia mendapati Viza sudah berbaring miring menghadapnya. Kedua matanya membola diikuti sebuah teriakan dari mulutnya.

Dengan cepat jemari panjang Viza menutup mulut Jissy. Lantas mendekati wajah polos gadis itu. Sedang Jissy hanya mampu berdehem sembari menahan tangan kekar Viza memohon untuk dibebaskan.

"Hei, anak gadis kenapa jam segini belum bangun?" bisik Viza hingga Jissy dapat merasakan hembus napas pria itu. Bahkan ujung hidung mancung itu nyaris mengenai pipi bagian atasnya.

Jissy menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan dekapan Viza. Namun tampaknya tenaganya tak sekuat itu.

Hingga dering ponsel dari saku celana Viza menjadi titik akhir dekapan menyakitkan pada mulut Jissy tersebut.

Jissy merintih kesakitan sembari mengusap-usap bibirnya. Sedangkan Viza tampak fokus pada benda persegi itu.

"Hallo!" jawab Viza pada panggilannya.

Sesekali ia menatap pada Jissy yang memberinya tatapan jengkel.

"Aku masih di rumah, kenapa?" Viza masih berbicara dengan seseorang diseberang sana—Jimmy sahabatnya. Viza dengan tangannya yang panjang dengan sigap menarik lengan Jissy yang hendak kabur.

"Yakk!! Lepaskan!" teriak Jissy.

"Hei, kau sedang dengan siapa?" teriakan Jissy sontak membuat Jimmy bertanya-tanya.

"Aku?" menatap Jissy. "Aku masih di tempat tidur," mendekatkan wajahnya pada rungu Jissy. "Bersama kekasihku."

Perlakuan Viza sukses membuat Jissy menunjukkan wajah garangnya. Ingin rasanya ia menyumpal mulut Viza dangan jaket bulu domba milik Yuga. Tapi bukan Viza namanya jika tidak santai saat menghadapi gadis itu. Justru Viza malah semakin menggodanya. Mencolek dagu Jissy hingga berulang kali sambil tetap berbincang dengan panggilannya. Dan berulang kali pula Jissy seolah menghapus colekan itu dari dagunya. Padahal juga tidak ada bekas apapun.

Geram dengan ulah Viza lantas membuat Jissy mengambil ancang-ancang guna kabur dari tempat itu sebelum pria itu menangkapnya kembali.

Sungguh Jissy tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya setelah itu. Viza justru dengan santainya merebahkan tubuh mengambil posisi nyamannya di ranjang Jissy. Mimpi apa dia semalam sampai-sampai harus menyaksikan pertujukkan pria menjengkelkan dikamarnya sendiri.

Meninggalkan Viza sialan itu kini Jissy sudah berada di bilik mandinya. Mulutnya terus bergemim jengkel pada pria yang belun lama ia kenal itu. Lantas kejutan lain pun memekik diri Jissy seketika. Dimana ia mendapati pantulan dirinya di kaca kamar mandi.

"Astaga, wajahku berminyak sekali," menyeka pipinya dengan kedua jari dan menganga saat minyak itu menempel dijemarinya. Sudah seperti penggorengan ibu saja. Lantas pikirnya pun melayang pada saat Viza mendekat diwajahnya tadi. Wajah kusut bangun tidur. Berminyak, terlebih muncul satu jerawat kecil namun menyakitkan di jidatnya. Oh, astaga. Mendadak Jissy jadi malu.

Baiklah, sudah tidak tahan rasanya jika harus berlama-lama merasakan tubuh lengketnya. Ia pun dengan cepat membersihkan diri. Lumayan menguras waktu. Dua puluh menit hingga ia menyatakan tubuhnya bersih sempurna. Baru saja tangannya hendak meraih handuk pada gantungan yang tertempel di dinding. Namun gerakannya terhenti seketika.

"O-ow..!" syok tidak mendapati handuknya disana. Ketinggalan diluar. Dan sialnya lagi dirumah hanya ada dia dan.. Viza.