Pertemuan Jissy dan Viza tidak seperti kisah Romeo dan Juliet dengan pandangan pertama mereka. Atau Jack dan Rose dengan rasa saling nyamannya. Jissy dan Viza tidak melewati cinta pandangan pertama apalagi rasa nyaman. Keduanya hanyalah dua anak manusia dengan kepribadian masing-masing yang secara tidak sengaja melalui sepercik hidupnya di tempat yang sama.
Viza dengan sikap konsistennya pada iya dan tidak. Dan enggan membubuhkan kata bertele-tele dalam tiap ucapan maupun tindakannya. Sedangkan Jissy hanyalah gadis yang mengedepankan cuitan tanpa berpikir lebih dalam terlebih dahulu tentang suatu hal. Terutama mengenai cuitan orang lain tentang dirinya.
"Apa kau mencoba tebar pesona di hadapan mereka?"
Viza menghentikan langkahnya lalu memutar kepalanya menatap gadis di belakangnya yang sedari tadi ia gandeng.
"Tebar pesona?" memiringkan kepalanya sedikit tidak mengerti.
"Sengaja kan, dibuat tampan supaya gadis-gadis terpesona!" Jissy melempar pandangannya jauh ke sisi kiri enggan menatap wajah Viza.
Kekehan kecil Viza ciptakan begitu melihat manyunan bibir tipis Jissy. Memang dia tampan, mau bagaimana lagi.
"Kau cemburu?"
Sontak kedua manik Jissy membola. "Apa? Cemburu? Ch!" Jissy mendecih diikuti kekehan remehnya.
Viza tahu Jissy cemburu. Hanya saja gadis itu enggan mengakui.
Hingga mereka kini berada di jok sebuah bus kota yang membawa mereka menuju halte dekat rumah. Viza tak melepas tangan Jissy sama sekali.
"Kalau ujungnya hanya naik bus kenapa harus menjemputku?! Aku juga bisa naik bus sendiri," keluh Jissy.
"Niatnya ingin menjemputmu pakai pesawat, sayangnya aku tidak punya."
Jissy menatap Viza kesal sembari menarik kedua sudut bibirnya datar.
"Tidurlah!" menarik begitu saja kepala Jissy pada pundaknya. Membuat gadis itu mengeluh dan menarik kembali kepalanya.
"Tidak mau!"
"Memangnya tidak lelah?"
Jissy hanya diam tak menghiraukan pertanyaan Viza. Hingga pertanyaan lainnya kembali Viza lontarkan.
"Kenapa jarang membalas pesanku?"
"Kenapa aku harus?"
"Aku merindukanmu."
Sebuah ungkapan yang menggetarkan hati Jissy. Lantas ia menatap Viza yang sudah menatapnya begitu intens. Dan tak sampai sepuluh detik Jissy pun segera memalingkan wajahnya. Mengusap tengkuknya sembari menatap ke luar jendela. Salah tingkah.
"Apa kau tidak?" tanya Viza lagi.
"Ti-tidak," Jissy hanya menjawab singkat.
Tak ada respon lagi dari Viza mendengar ucapan Jissy barusan. Ia hanya terdiam. Jissy sedikit bertanya dalam hati kenapa Viza tak lagi merespon. Dibalik juteknya Jissy, dia akan kebingungan juga saat Viza tak menunjukkan responnya.
Cuaca mendadak mendung hari itu. Bus kota yang mereka tumpangi masih melaju dengan baik seperti biasa. Jissy menatap bangunan-bangunan yang ia lalui. Seolah tertinggal kala kendaraan roda empat itu membawanya melaju. Seperti masa lalunya yang perlahan mulai ia tinggalkan.
Terkadang Jissy berpikir tentang bagaimana caranya agar bisa menjalin kembali hubungan dengan seorang pria. Hatinya benar-benar terkunci. Tapi, mengingat bagaimana cara viza memperlakukannya membuat Jissy kembali menatap pria itu kini. Viza itu tampan dan rupawan. Jissy yakin banyak wanita yang mengantri untuk mendapatkan Viza. Tapi tidak dengan dirinya. Lantas ia kembali berpikir dua kali. Apa yang membuatnya tidak tertarik pada sosok Viza?
Suara decit roda bus kota itu terdengar nyaring. Tampilan halte di luar menandakan kini mereka sudah sampai di tempat tujuan. Viza meraih tangan Jissy. Menuntunnya keluar dari bus. Sedikit menarik Jissy hingga dekapannya saat seorang pria yang tampak tergesa-gesa hampir menabrak Jissy. Dapat dilihat dengan jelas betapa Viza sangat melindungi gadisnya itu.
Suasana hening antara keduanya saat mereka berjalan menyusuri jalanan menuju rumah. Bahkan Viza sama sekali tak melepas gandengannya. Dan entah mengapa Jissy merasakan suatu kenyamanan kala jemari panjng itu memenuhi jemari lentiknya. Sesekali kedua maniknya menatap pribadi tampan tersebut. Dan tubuh gagah itu seolah dapat memberinya perlindungan tersendiri.
Cara Viza memberinya perhatian serta mengungkapkan perasaannya memang terbilang unik. Awalnya Jissy merasa terganggu, namun nyatanya gadis itu seperti sudah terbiasa. Dan ketergangguannya kini berubah menjadi sebuah kenyamana secara perlahan.
"Sudah ya, kita berpisah disini saja," kata Jissy saat mereka sudah berada di sebuah gang dekat rumah Jissy.
"Kenapa? Aku antar sampai rumah, ya!"
"Tidak Tey, jangan!"
"Kenapa?"
"Aku tidak mau ada yang melihat kita jalan bersama." Jissy seolah belajar dari masa lalunya. Dimana hubungannya dengan Jeon selalu menjadi buah bibir orang sekitar. Itu karena mereka terlalu mengumbar kemesraan di khalayak umum. Dan saat mereka putus semua seolah bersorak ria. Bukankah itu artinya seolah mereka memang iri.
Baiklah kali ini Viza tidak akan memaksa. Dan mereka saling berjalan berlawan arah. Tapi baru beberapa langkah Jissy berhenti sejenak mendapati sebuah panggilan di ponselnya. Viza?! Jissy berbalik badan dan melihat pria itu berdiri di seberang jalan. Menatapnya sembari menempelkan ponsel dirungunya.
"Apa-apaan dia menelpon segala? Kurang kerjaan sekali," gumam Jissy. Namun pada akhirnya ia geser juga tombol angkat pada layar ponselnya. "Apa?" jutek.
Dan kini keduanya saling menatap diantara seberang jalan dengan ponsel yang saling mengaitkan keduanya.
"Aku masih rindu."
Apa sih Viza ini? Jissy benar-benar tak habis pikir. Kenapa lama-lama dia terlihat aneh begitu. Atau bisa dibilang unik juga. Jissy tidak membenci sepenuhnya diri Viza. Tapi sungguh terkadang ia lelah jika harus meladeni tingkahnya setiap hari.
"Ya terus kenapa?"
"Sebelum berpisah apa tidak mau memberiku pesangon dulu?"
"Pesangon? Seperti baru di PHK saja."
Suasana panggilan hening sesaat. Hanya deru kendaraan yang sesekali melintas namun tidak menggoyahkan atensi mereka yang saling bertaut.
"Jissy!"
"Apa?"
"Aku mencintaimu!" Viza terdengar tengah menggoda. Namun bukan itu, pada kenyataannya memang dia tengah mengungkapkan isi hatinya.
"Aku tahu," Jissy masih tak beralih dari juteknya.
"Kau juga?"
"J-juga apa?" sebenarnya Jissy tahu kemana arah pembicaraan itu.
"Mencintaiku?"
Jissy tak bergeming. Dan Viza sudah menebaknya.
"Aku kesitu, ya!"
"Kenapa? Em, maksudku untuk apa?" Jissy gugup seketika.
Viza tak memberikan penjelasan terlebih dahulu. Dia melangkahkan kakinya begitu saja menuju Jissy.
"K-kau kenapa kemari? Berhenti dan pulanglah!" jantung Jissy semakin berdegup kencang bersamaan dengan semakin dekatnya pribadi tampan itu.
Hembusan angin yang menerpa tubuh gagahnya bahkan tak membuatnya terhenti. Mendung yang menggantung serta guntur ringan tak berarti apapun bagi Viza. Yang menjadi fokusnya saat ini adalah seorang gadis berbalut sweater abu tua lengkap dengan tas selempang yang menyilang di pundaknya. Surai panjang itu tersapu tipis menutup sebagian wajah ayunya. Masih bisa membuat Viza menatap cukup jelas olesan lipstik berwarna peach di bibir mungilnya. Seolah menjadi magnet sendiri bagi Visa untuk menyentuhnya. Ya, tentu menyentuhnya dengan bibirnya pula. Sial memang, gejolak panas dalam dirinya justru semakin tak menentu.
"Jissy, tetap ditempatmu!"
Tbc.