Chereads / Berawal dari Satu Malam / Chapter 8 - 08 Kesal

Chapter 8 - 08 Kesal

"Rein?"

"Meri."

Tak ada sepatah katapun yang sanggup Rein ucapkan. Bertemu Meti di kantor orang yang menculik Rein?

Oh perempuan itu kehabisan kalimat. Tidak tahu harus bicara apa.

Dari awal kan aneh, Rein bagai bunga layu yang mekar kembali.

Rein pikir ia akan mengurus anak seorang diri, jikalau hamil. Eh ternyata 'dipungut.' sama Redis Sanjaya.

Ironis sih, tapi ya mau gimana?

Rein bagai semi princess.

"Ah..., kalian saling kenal. Oh baguslah, berarti aku bisa izin. Kau, tolong jaga orang ini, aku mudah dapat indentitasmu kalau terjadi sesuatu pada Nona manis Rein. Ingat, dia calon istri pak presdir. Oh shit, aku sudah tidak tahan. Permisi," kata Rey yang langsung meninggalkan tempat tersebut.

Sedari tadi ia kebelet buang air kecil. Rasanya sudah diujung. Kalau saja bukan karena ancaman Redis yang bilang akan memotong gaji sebanyak 60%, maka Rey pasti gak pernah mau nahan buang air kecil.

Menahan adalah sesuatu yang sangat Rey benci. Ya..., walaupun orang tersebut iya-iya aja sih, kan orang yang ditemani sarapan tersebut adalah gadis manis. Ups, wanita maksudnya.

Bagi Rey gak masalah lah buat cuci mata, walaupun tak bisa digodain.

Rey adalah orang yang santai!

Tak terpengaruh apapun. Kecuali soal gaji bulanan.

But, kalau terjadi sesuatu pada Rein, dapat menciptakan sakit sekujur tubuh Rey. Berani macam-macam pada Rein juga begitu kok. Dua hukuman dan ancaman telak.

Hadeh, nasib-nasib.

Sudahlah gaji dipotong, dipukulin, di ceramah pula.

"Kau..., aku mencarimu kemana-mana Rein. Sampai kurang tidur nih sebab mikirin kamu. Diculik gundrowo atau orang. Lihat." Meri menunjuk kantong matanya.

Setelah pulang kantor gadis itu berniat melaporkan kasus ghilangnya Rein. Peraturan melapor ke pihak berwajib kan harus 24 jam dulu. Nah sekarang masih kurang hitungan jam.

Alih-alih tak nyaman, Rein sontak memeluk lengan Meri yang ia anggap sebagai guardian angel.

"Hua..., Mer, aku tidak tahu kenapa malah begini," adu Rein.

Untung gak nangis.

"Oh ya, apa yang pak Rey bilang tadi bener... aku ketinggalan banyak hal!?"

Mau tak mau Rein pun hanya bisa menganggukan kepala, gadis itu kepikiran sesuatu yang lain saat perutnya berbunyi. Soal perut gak bisa ditolerir. Rein harus isi kalau gak mau jalan ngerangkak.

"Aku lapar, bisa tolong tunjukin tempat makannya. Disini pasti ada kantin kantor."

Meri sudah tahu kebiasaan Rein yang makan teratur. Semua yang ada dalam hidup orang itu teratur dan tersusun rapi, makanya sekarang kelaparan.

Aduh miris banget sih hidup Rein.

"Sudah, sini ikut aku," kata Meri akhirnya.

"Aku gak nyangka kamu berakhir sama pak presdir tempat aku kerja. Setahuku pak Redis gak pernah dekat perempuan manapun. Sampai-sampai aku berpikir beliau..."

"Gay," bisik Meri pada Rein.

Perempuan itu masih cukup waras untuk tak menggosipkan sang atasan. Lantas kalau sampai terdengar karyawan lain, pasti tamat sudah riwayatnya.

"Ih... kamu kok bicaranya ngeri gitu."

"Ya memang benar, pak Redis cuma cinta sama pekerjaan doang. Sekretaris pun laki-laki."

Rein manggut-manggut, kalau dipikir-pikir benar juga sih. Ya Tuhan, Rein harus sabar lahir batin kalau benar jadi nikah sama si presdir gila kerja itu.

"Sama kayak kita juga dong. Kita kan jomlo sejati," ujar Rein polos.

Hal yang buat Meri natap datar. Sambil sok cuek ia pun berucap.

"Benar, tapi kan kita masih imut, lah pak Redis udah bujangan. Walaupun hot sih."

Meri tersenyum aneh.

Rein sih ikut aja. Pembicaraan mereka random.

Bruk!

Sebuah tabrakan terjadi. Pada insiden tersebut Rein dan Meri hampir terjungkal ke belakang. Reinlah yang paling banyak mengalami dampak terburuk sebab posisinya yang berhadapan langsung dengan si penabrak.

Beruntung keduanya masih bisa jaga keseimbangan. Kalau terjungkal kan sakit.

"Bapak tidak apa-apa?"

Rein yang dengar suara tersebut mendongkrakkan wajah. Ingin lihat orang yang menabrak mereka.

Sebenarnya, siapa sih yang nabrak duluan!?

"Oh ternyata dua orang," gumam Rein dalam hati.

"Maafkan kami Tuan."

"Lain kali hati-hati, Nona."

Perihal diksi kalimat sih terdengar baik, namun jangan salah, nada bicara yang dipakai sangat menusuk.

Julid nih perempuan. Judes plus suka nyinyir.

"Ah iya maafkan kami Nona. Kalau begitu kami permisi dulu," ujar Meri.

Kasihan sama Rein. Untung sekarang belum pingsan. Harus cepat kasih dia orang itu makan.

"Tunggu."

Baik Rein maupun Meri menatap bingung. Lebih-lebih si sekretaris yang bicara tadi.

Kenapa sang atasan malah bilang 'tunggu...?'

Mereka tak saling kenal. Apa kepengen marah-marah?

"Siapa namamu, kau pasti bukan karyawan," ujar orang tersebut sambil mengulur tangan.

Ngajak kenalan nih ceritanya.

Sementara itu sang sekretaris sontak merengut. Atasannya itu pasti lagi keganjenan. Biasanya begitu.

Nama sekretaris perempuan tersebut nona Reni. Ia tahu persis bagaimana sifat yang dimiliki oleh sang atasan.

Playboy kelas kakap!

"Rein," jawab Rein pelan membalas uluran tangan orang yang mengajaknya kenalan.

Sejak dulu banyak orang menunjukkan ketertarikan ke Rein. Hanya saja oleh sebab sifat dan sistem pemikiran Rein, gadis itu tak terlalu peduli.

Lalu untuk yang berani macam-macam, Meri yang seorang anak atlet beladiri akan senantiasa melindungi Rein. Tameng yang sedia setiap saat. Jika pun tidak, Rein juga bisa melakukan beberapa teknik beladiri kok.

"Maaf Tuan, Nona, kami izin. Permisi."

Meri mengajak Rein. Aura si penabrak bahkan sudah terasa. Player maniak!

Meri cukup peka hanya dari cara orang itu melihat Rein.

"Hati-hati Rein, orang besar kebanyakan suka 'bermain'."

Si empu tersenyum. Ia paham maksud sahabatnya. Tangan senantiasa memegang perut. Cacing Rein udah berontak minta diisi.

"Aku tahu kok, tapi kalau niatnya baik, gak salah bersikap wajar. Aku fleksibel aja orangnya."

Meri mendengus sedangkan Rein terkekeh. Jalan pikiran kedua orang itu sering bertolak belakang.

"Terserah, ayo pergi makan."

"Oke."

Setelahnya, kedua orang tersebut menuju kantin kantor.

Yang menyisakan Radit tersenyum misterius. Orang yang bertabrakan dengan mereka adalah Radit Samira dan sekretaris pribadinya, nona Reni.

Oh tidak, kalau sang sekretaris sih tidak menabrak, melainkan menolong.

***

"Selamat pagi, sepupu."

Rasanya Redis sangat ingin berdecak nyaring, bahkan bila perlu tepat didepan wajah angkuh Radit. Enak saja bilang 'selamat pagi. Terlebih nada bicara santai.

Sekarang di kantor. Lagian mau dimanapun Redis tidak sudi bicara baik-baik ke Radit. Bawaannya, kalau tidak formal ya ngegas.

"Selamat pagi," balas Redis akhirnya.

"Bisa kita mulai rapat? Oh sorry, sekarang belum waktunya. Baiklah, kami izin bertamu."

Kepala Radit sekali-kali harus dipukul biar waras.

"Jangan mengada-ada tuan Samira, lebih baik kita bahas proyek kerjasama hotel."

"Hah..., padahal aku ingin kita meluangkan waktu sebentar. Bicara soal keluarga gak buruk lho."

Kita, Redis ingin muntah dengar perkataan tersebut. Radit sama sekali tak pantas. Family apa yang Radit maksud?

Dasar ular licik!

Tanpa harus memutar otak, Redis tahu benar sifat Radit yang suka bermain-main.

"Nanti sore, itu jadwalnya," ujar Redis singkat.

"Oh benar. Sayang sekali semua serba terjadwal." Radit tertawa renyah.

Sang adik sepupu sering 'tak terduga' dalam banyak kesempatan.

Begitulah, sedetik pun termasuk waktu berharga bagi Redis.

Sementaranya... mari kita beralih ke situasi yang terjadi terhadap Rey. Ia sudah selesai buang air kecil.

Tempat yang harus ia kunjungi adalah kantin kantor, biar gaji tetap aman.

Saat sibuk, Rey tak boleh buang-buang waktu.

Bagi Rey, antara pekerjaan dan hal kurang produktif memiliki geep besar. But, saat bertemu sesuatu yang ia suka, segala macam hal penting langsung minggat entah kemana. Go.

Seperti sekarang, saat diperjalanan orang itu bertemu karyawan cantik. Jadilah berhenti sebentar buat modus. Eitsz, si karyawan perempuan kok yang modus duluan. Jadi ya gitu deh.

Si gadis yang mulai duluan, Rey dengan senang hati meladeni.

Kalau sudah start alias dipancing, langsung sikat habislah.

***

"Rein, makan yang banyak. Cepat habisin, setelah ini kita langsung ke ruang pak Redis aja. Kalau pak Rey gak datang-datang lebih baik aku langsung nganterin kamu. Dasar gak bertanggung jawab."

Saat ceramah Meri sulit berhenti. Alhasil ya begitulah. Rein tak bisa makan tenang. Habis ada 'musik' terus.

"Gak mau, lebih baik aku pulang. Disini buat sakit kepala. Kalau kamu kan kerja, nah aku ngapain?"

Benar juga ya. Hajat Rein ke kantor buat pamer atau gimana sih?

Meri bingung.

Sambil tersenyum terpaksa Meri meyakinkan Rein ikut apapun yang ia bilang agar gak kena masalah. Pak Redis terkenal gak punya hati. Nah semisal Meri kena pecat mau makan apa?

Numpang di flat Rein?

"Siapa tahu ada keperluan Rein. Gak mungkin kan kamu diajak kesini tapi gak ada tujuan."

"Aku ragu sama tujuanku kemari. Sudah, aku minta tolong pinjam uangmu ya."

Eeh, gak boleh dibiarin!

Harus Meri cegah.

"Ti-dak. Kamu adalah tanggung jawabku. Bisa mati aku kalau kamu tiba-tiba hilang. Ya udah, kalau gak mau ke ruangan pak Redis, aku antar ke ruangan pak Rey. Biar aman."

"Dasar tega," ujar Rein lanjut makan.

Masa sih takut Meri di campur adukkan dengan ia yang dalam 'bahaya' begini?

Tidak mau menyelamatkan. Sedih. Dasar kawan lucknut.

"Hey, kamu itu berhutang cerita tahu. Tapi ya aku tahu tempat, situasi dan kondisi, makanya belum nagih. Aku harus bekerja."

Wuishhh!

Rein ngambil makanan biar gak kena rambut super panjang Meri. Tebar pesona ingat tempat dong!

Tahu tempat, situasi dan kondisi apanya!?

"Biasanya aku kerja bukan terjebak disini," ujar Rein pelan.

Benar, tempat orang itu bukanlah di kantor Sanjaya Corp. Rein tersesat, ia penulis dan editor lepas!

Mata Rein tertuju ke seseorang yang 'tak sengaja' mengalihkan perhatian kedua sahabat itu.

Siapa lagi kalau bukan..., tuan terhormat Redis?

Sepertinya presdir galak itu tak sabar nunggu Rein selesai. Padahal setahu Meri, Rein makannya belum terlalu lama kok.

Apa udah kerasa bagai seabad oleh Redis...?

Wajah orang itu terlihat kesal. Hulk ngamuk, nah itu dia.

Bagaikan air mendidih, suhu 100° Celcius. Habis kalau boleh pakai majas, aura panas sampai ke meja makan.

Niat Redis adalah buat Radit kesal, lalu setelahnya bilang jangan pernah usik orang yang jadi miliknya.

Lantas yang terjadi sekarang berbanding terbalik...?

Jelas Redis tak terima!!!

Salahkanlah ketidakstabilan emosi Redis dan kekereatifan Radit dalam membuat seseorang kesal.

*****