Mo Heng tergesa-gesa membawa Tangtang pergi ke rumah sakit terbaik di kota Yun.
Itu adalah kali pertama Tangtang datang ke rumah sakit. Begitu masuk, berbagai suara dan teriakan di sepanjang lorong jalan membuat gadis kecil itu ketakutan. Ditambah lagi, ia mencium bau disinfektan yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
Badan Tangtang gemetar ketakutan, ia bersandar di dada Mo Heng. 'Jangan-jangan, ini adalah tempat putri duyung akan dibedah?!'
'Kenapa Kakak Mo Heng membawaku ke sini?'
Tangtang memikirkan segala hal yang menakutkan. Ia takut kalau mungkin akan diserahkan ke lembaga penelitian sebagai bahan percobaan.
'Huhuhu… Tangtang sangat menyesal.'
Tantang berpikir bahwa semua semua ini karena ia diam-diam memuntahkan sayur yang dimakannya tadi siang. Mo Heng mengetahui hal itu dan sekarang marah sehingga tidak menginginkannya lagi!
Tangtang memeluk leher Mo Heng dengan erat, tangannya menunjuk ke arah pintu masuk rumah sakit. "Kelual..."
Gadis kecil itu bersikeras tidak ingin ikut masuk ke rumah sakit bersama Mo Heng. Sepertinya semua anak-anak memang takut dengan rumah sakit, putri duyung pun seperti itu.
Mo Heng ingat, saat masih kecil ia juga takut mau datang ke rumah sakit. Apalagi saat harus melakukan pemeriksaan, suntik, dan lain-lain. Pernah dulu saat Mo Heng dibawa ke dokter gigi, ia hampir menghancurkan ruang dokter itu.
Mengingat masa lalu membuat mimik wajah Mo Heng melembut, aura yang dingin pun memudar. Ia berjalan sambil menggendong Tangtang dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, bagaikan seorang ayah yang panik.
Namun Mo Heng membawa Tangtang ke rumah sakit bukan untuk memeriksakan tubuh gadis kecil itu, melainkan… ada masalah lain…
Mo Heng menggunakan telapak tangannya yang hangat untuk mengelus-elus punggung Tangtang. Ia bermaksud menenangkan emosi anak itu, "Tangtang tidak perlu takut. Kakak ke sini ada keperluan, kamu tenang dulu ya."
Mendengar Mo Heng berkata seperti itu, Tangtang pun menyadari kalau Mo Heng tidak membawanya ke rumah sakit untuk melakukan dibedah, tapi ia tetap merasa takut. Tangtang pun pura-pura tenang, menganggukkan kepalanya dengan canggung.
Mo Heng membantu Tangtang memperbaiki maskernya agar orang lain tidak mengenali mereka, kemudian berjalan lurus menuju UGD.
Dari luar UGD, sudah terdengar suara yang berteriak dengan kuat, dilanjutkan dengan suara barang yang dipecahkan.
Kemudian, suara seorang wanita pun mengikuti di belakangnya, "Maafkan kami dokter. Jangan khawatir, saya akan mengganti rugi semua barang yang rusak, semuanya aku ganti!"
Telinga Tangtang terasa sakit karena teriakan yang memekakkan itu. Ia pun mengulurkan kedua tangannya untuk menutup telinga.
Mo Heng mengambil napas dalam dengan tidak berdaya sebelum membuka pintu. Kemudian, ia membuka pintu dan masuk.
Ruang UGD kini terlihat berantakan, bagaikan tertiup angin tornado.
Dokumen-dokumen berisi data kasus pasien berserakan di lantai, stetoskop dokter yang patah juga jatuh di lantai...
Seorang anak kecil yang galak sedang membawa alat suntik, bersembunyi di pojok dinding. Ekspresi wajah anak itu seakan-akan akan membawa mati siapa saja yang berani mendekatinya.
Suster melihat Mo Heng masuk dan mengira artis itu adalah salah satu pasien yang menunggu antrian sehingga ia pun maju dan menyuruh Mo Heng menunggu sebentar.
Beberapa saat kemudian, ibu dari anak yang membuat keonaran itu melihat Mo Heng datang. Ia sudah seperti seseorang yang akan tenggelam, lalu tiba-tiba melihat kayu apung.
Ibu itu pun segera menjelaskannya, "Suster, dia adalah adikku!"
Mo Heng dengan enggan memanggilnya, "Kak, ada apa ini?"
Mo Yun menjelaskan, "Kaikai nakal, ia jatuh dari lantai. Aku takut kepalanya terbentur jadi aku pun cepat-cepat membawanya ke rumah sakit, bermaksud melakukan pemeriksaan, mengambil CT otaknya, siapa tahu anak ini..."
Melihat situasi ini, Mo Heng berpikir bahwa keponakannya itu bukan mau melakukan pemeriksaan, melainkan membuat keonaran!
Mo Heng sudah biasa dengan kelakuan keponakannya. Ia sama sekali tidak terkejut.
Mo Yun benar-benar tidak berdaya menghadapi anaknya yang masih lima tahun ini. Itulah mengapa ia meminta bantuan kepada Mo Heng, "Mo Heng, tolong bantu aku! Anak ini biasanya paling takut denganmu!"
'Selain aku, siapa lagi yang berani memarahi dan memukulnya?!' batin Mo Heng.
Anak itu dimanjakan hingga tidak tahu aturan. Ia bagaikan raja iblis yang membuat Mo Heng sakit kepala saat bertemu dengannya. Keponakannya itu juga membuat Mo Heng sama sekali tidak bisa suka kepadanya.