Namanya Alena Anastasya Harrison. Anak tunggal dari keluarga Harrison. Gadis manja dari keluarga terpandang. Sejak kecil hidupnya selalu bergelimang harta, ayahnya pengusaha begitupun ibunya. Saking manjanya, bahkan dia tidak tahu cara mengupas buah salak.
Alena terkenal di kampus karena kecantikan dan kecerdasannya, terutama kekayaannya. Bertubuh ramping, tinggi semampai, kakinya jenjang, rambutnya panjang lurus dia biarkan terurai lepas. Rambut tebal hitam, bola mata yang sedikit kecoklatan, dengan bulu mata yang lentik panjang. Menambah daya tarik dan pesona para pria yang melihatnya.
Prestasi yang ditorehkan juga sangat membanggakan, dia diterima kuliah di universitas luar negri dan lulus dengan predikat Cumlaude.
Dan itulah pertama kalinya dia bertemu dengan pria blasteran bernama Hamid. Mereka bertemu dan saling jatuh hati. Awal pertemuan mereka adalah saat Alea melakukan kunjungan bisnis ke salah satu perusahaan di luar negeri untuk kepentingan sekolahnya. Dan siapa yang menyangka kalau perusahaan itu milik orang Indonesia.
Mereka bertukar nomer ponsel, dan melanjutkan hubungannya via telepon. Sampai akhirnya, Hamid menyatakan perasaan sukanya kepada Alena.
Tempat pertama yang dijadikan lokasi kencan mereka adalah taman kota Cambridge, Massachusetts. Mereka saling menceritakan tentang warna favorit dan makanan kesukaan satu sama lain. Hubungan itu terus berlangsung walaupun sempat LDR selama satu tahun, Hamid kembali ke Indonesia sedangkan Alena masih menyelesaikan studinya di Amerika.
Mereka sudah merencanakan matang-matang tentang hubungannya. Kedua keluarga sudah saling menyetujui tentang hubungan itu. Mereka sudah membeli rumah baru untuk ditempati setelah mereka menikah.
Terbiasa hidup di luar negeri yang terkenal kebebasannya, namun tidak membuat mereka berbuat seperti yang sering layaknya terjadi pada pasangan kekasih. Hamid sangat menjaga Alena, bahkan sama sekali belum pernah mencium Alena. Terkadang memang terkesan aneh di era yang seperti sekarang ini. Namun Alea juga selalu berfikir positif bahwa Hamid menjaga dirinya dengan sangat baik. Mereka bertemu hanya untuk makan, ngobrol, jalan-jalan, belanja, dan nonton.
Pernah suatu hari Alena marah, bukan karena tidak dituruti kemauannya. Tetapi karena dia jenuh dengan sikap Hamid yang selalu mengalah. Bahkan Hamid pernah menyuruhnya untuk selingkuh dengan pria lain jika Alena sedang jenuh. Tetapi Alena tidak pernah tega untuk melakukannya. Dia begitu mencintai pria itu. Bahkan dengan sikapnya yang terkadang terkesan aneh.
Alena, gadis manja yang tidak mampu melepas ikat rambuntnya sendiri, bermetamorfosis menjadi seorang gadis keras, dingin, dan kehilangan rasa cintanya. Setelah kematian kekasihnya Hamid Cristopher.
Sudah satu tahun berlalu, namun kasus itu tidak terpecahkan, bahkan terkesan sengaja ditutup-tutupi dan tidak diteruskan. Hal itu membuat Alena bertekad akan menyelidiki sendiri siapa pembunuh sadis yang tega melenyapkan kekasihnya itu.
Dia dibantu oleh seorang detektif bernama Ronald Contempourner. Menurut pendapat Ronald, ada orang yang memiliki kekuasan cukup kuat, dengan sengaja menghentikan penyelidikan tentang kematian Hamid. Entah apa motifnya, tapi tidak mungkin kasus ini ditutup begitu saja tanpa ada ancaman atau uang, tanpa adanya seseorang di belakang layar.
Sedangkan Hamid termasuk orang yang cukup penting di negeri ini.
Beberapa kali Alena mencoba datang ke kantor polisi dan menanyakan kasus ini. Namun jawaban tetap sama. Mereka sudah menyelidiki kasus itu dan Hamid dinyatakan meninggal karena bunuh diri dan overdosis minuman keras. Sebuah alasan yang tidak masuk akal logika orang normal.
Alena meninggalkan rumah, pekerjaan, dan segala kemewahan yang dia miliki. Dia mencari dan mengumpulkan semua bukti-bukti yang mengarah tentang kematian Hamid.
Dengan berbekal ilmu yang didapatnya semasa kuliah di universitas Massachusetts Institute of Technology (MIT), dia bisa mencari sumber informasi dari dunia digital dan dunia maya. Dia bahkan bisa menyedap telepon, atau pesan yang dikirimkan seseorang yang tengah diselidikinya. Dan tidak hanya itu, dia juga punya cukup uang untuk modal penyelidikannya.
Dia hampir saja menemukan beberapa bukti yang cukup kuat, namun harus berakhir kegagalan.
Lalu bagaimana awal pertemuannya dengan dektektif Ronald? Itu dimulai saat Alena datang ke kantor polisi dan mencari tahu tentang perkembangan kasus kekasihnya. Namun ketika dia harus mendapati jawaban yang sama dari kepala polisi dan pihak rumah sakit, bahwa Hamid overdosis obat dan minuman keras lalu bunuh diri. Dia sempat bertindak anarkis. Dan membabi-buta secara gila dengan mengobrak-abrik ruangan itu.
"Kalian memang sudah gila! mana mungkin Hamid bunuh diri! frustasi? frustasi macam apa yang kalian bicarakan!" umpat Alena dengan nada keras kepada polisi dan petugas medis di sana. Bukan pertama kalinya dia marah seperti itu, mungkin sudah ke 259 kalinya dia datang untuk menanyakan perkembangan kasus Hamid. Dia yakin bahwa ada yang membunuh Hamid.
Saat itu seorang pria asing yang kira-kira sebaya dengan Hamid datang menghampiri dan menenangkannya, dia mengajak Alena keluar dari ruangan itu dan membeli dua botol air mineral.
"Minumlah, kau cukup lelah setelah berteriak sekencang itu," ujar pria itu enteng.
Alena sama sekali tidak perduli dengan tawaran pria di sampingnya.
"Siapa kau!" gertak Alena, lalu melirikkan ekor matanya dengan tajam ke arah pria itu.
Pria itu tidak menunjukan ekspresi apapun, dia tetap santai dan tenang dengan gertakan Alena. Lalu menyodorkan tangannya.
"Aku Ronald Nona, dan kau?"
Uluran tangan kekar itu tidak disambut hangat oleh Alena.
"Jangan gunakan emosimu untuk melawan sebuah kelicikan, tetapi manfaatkan kecerdasan dan kecantikanmu," ucap Ronald lalu menenggak air mineral yang dipegangnya, beberapa air sempat tercecer di samping bibir seksinya, mengalir ke bawah mengikuti liku otot kekar menuju dada yang rata dan bidang.
"Maksudmu?" tanya Alena penasaran.
"Kamu masih terlalu polos," jawab Ronald, masih menyisakan beribu teka-teki di dalam otak Alena.
"Jangan berbelit-belit, katakan saja tentang apa yang kau maksud!" tukas Alena tidak sabar.
"Itulah kelemahanmu, bahkan kau tidak punya kesabaran untuk menunggu jawabanku,"
"Baiklah, katakan," Alena sudah mulai mengendalikan emosinya.
"Kau sedang berhadapan dengan orang yang sangat licik. Butuh waktu, kesabaran, dan juga kecerdikan untuk mengalahkannya. Kalau kau tidak keberatan, berilah ijin padaku untuk membantumu," ucap pria itu. "Itupun jika kau percaya padaku," lanjutnya.
Alena berpikir sejenak, bagaimana dia akan percaya pada orang yang baru saja dikenalnya. Kenapa dia ingin membatu Alena?
"Kau tidak harus menjawabnya sekarang. Ini kartu namaku, kau boleh menemuiku jika sudah mengambil keputusan." ucap pria itu, lalu ngeloyor pergi meninggalkan Alena sendirian.
Alena masih dirundung kebingungan, tetapi keinginan terkuatnya adalah mengungkap pembunuh kekasihnya.
***
Beberapa hari kemudian dia telah kehabisan akal dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia menelpon nomer yang tertera di atas kartu nama itu. Dan membuat janji untuk bertemu di sebuah cafe.