Pagi itu hujan turun dengan sangat deras, membasahi hati Alena yang kering kerontang akibat ditinggalkan kekasihnya, Hamid. Payung hitam menangkis setiap bulir air yang menetes pada tubuhnya. Setengah berlari dia menuju arah halte. Menunggu bus yang lewat ke arah taman kota.
Gadis itu ingat betul, hari ini tepat dimana Hamid melamarnya. Di dekat pancuran air di taman kota A. Hari ini Hamid berikrar akan menjadikan Alena yang terakhir dalam hidupnya, menjadikannya permaisuri yang akan duduk di samping singgasananya. Dan cincin berlian yang kini melingkar di jari manisnya, sebuah bukti keseriusan Hamid
Dia teringat akan janji pertemuannya dengan pria yang datang tiba-tiba dan mengulurkan tangannya untuk membantu memecahkan masalah ini.
Ponselnya berdering.
"Papa," ucapnya setelah melihat ke layar monitor ponselnya.
"Hallo, pa,"
"Kamu di mana Allen?"
"Em, mau ke cafe deket taman pa. Sebentar saja,"
"Baiklah, segeralah pulang jika urusanmu sudah selesai." ucap papanya , Harrison. Lalu menutup telepon. Dia sangat takut dengan keadaan mental Alena semenjak ditinggalkan Hamid, beberapa kali Alena harus diantar pihak kepolisian untuk pulang kerumahnya karena membuat keributan.
Lampu lalu lintas untuk pejalan kaki telah berubah berwarna hijau, dia mempercepat langkahnya menuju cafe yang terletak di sebrang jalan. Dia melipat payungnya dan masuk ke dalam cafe. Matanya menyapu seluruh isi cafe, mencari keberadaan pria superhero yang menawarkan kerjasama tanpa imbalan itu.
Ronald melambaikan tangannya, dan langsung ditangkap oleh kedua mata Alena.
"Bagaimana keadaanmu sekarang nona?" tanya pria itu setelah Alena duduk tepat di hadapannya.
"Tidak lebih baik dari kemarin," jawab gadis itu datar.
Pria itu mengeriyitkan keningnya lalu terkekeh.
"Kau memang masih terlalu polos nona,"
"Maksudmu?!" tanya Alena sedikit membentak, dia merasa pria itu terlalu bertele-tele.
"Tunggu! sabarlah, aku akan membantumu memecahkan misteri ini,"
"Cepat katakan! apa yang harus aku lakukan!" dia sudah semakin tidak sabar.
"Baiklah. Pertama, kendalikan emosimu dulu, lalu kau harus datang ke kantor polisi lagi dan minta lah baik-baik, atau jika perlu merengeklah, memelas hingga mereka tidak tahan dengan kesedihanmu. Ambil simpati salah satu orang di sana, ajak dia bergabung di tim kita. Jadi kau bisa mendapatkan infomasi yang kita butuhkan, dan ya, aku akan menunggumu di luar."
"Baiklah, aku akan mencoba saranmu."
Mereka segera menuju ke arah kantor polisi dan menjalankan misi pertama.
Alena masuk ke dalam kantor polisi, sedangkan Ronald menunggu di luar tapi sebenarnya tidak benar-benar di luar, dia mengikuti Alena tanpa sepengetahuan gadis itu. Ronald membaca gerak-gerik dan ekspresi wajah para petugas di sana, bagaimana reaksi mereka ketika melihat Alena.
Ronald membawa buku catatan kecil untuk mencatat setiap keganjilan yang ada.
Alena mulai merajuk, dia menangis sesedih sedihnya, kali ini dia tidak bertindak anarkis. Dia menuruti setiap yang dikatakan Ronald. Alena memanfaatkan kecantikannya untuk mencuri simpati para petugas. Hingga akhirnya seorang pria berkumis, bertubuh agak pendek, dan perutnya buncit, datang menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam ruangannya.
Ronald tidak bisa mengikuti mereka, karena pintunya dijaga oleh dua orang petugas.
"Sial!" umpat Ronald.
Di dalam ruangan.
"Alena, kamu gadis yang cantik. Untuk apa menangisi Hamid. Sudahlah lanjutkan hidupmu dan cari penggantinya," ucap salah seorang polisi yang memiliki jabatan tertinggi di tempat itu.
Alena masih menahan emosinya.
"Saya hanya ingin keadilan ditegakkan, dan pembunuh Hamid ditangkap,"
"Bukankah sudah jelas, Hamid tewas karena bunuh diri?"
"Tidak!" pekiknya. "Saya yakin Hamid dibunuh, berikan saya surat ijin untuk menyelidiki kematian Hamid,"
"Surat izin?"
"Ya, surat izin yang menyatakan saya bisa menyelidiki kematian Hamid," tukas Alena.
"Baiklah," ucap Polisi yang bernama Adiguna itu. Lalu memerintahkan salah satu petugas untuk menulis dan mencetaknya. Setelah itu dia membubuhkan tanda tangannya di atas surat itu, sebagai tanda surat itu sah dan bisa dipertanggung jawab-kan secara hukum.
Alena sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia sudah berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi. Namun tangan Adiguna tiba-tiba meraih lengannya, membuatnya secara spontan harus menoleh ke arah pria itu.
"Ada apa lagi Pak?" tanya Alena penasaran.
"Catatlah nomer ponselku, mungkin kau akan membutuhkan bantuanku, dan sebenarnya aku juga tidak percaya bahwa Hamid bunuh diri," ucapnya lalu memberikan kartu nama pada Alena. Dari gelagatnya dia seperti pria hidung belang yang sedang haus belaian.
Alena bergidik membayangkan pria itu.
"Menjijikan!" pekiknya dalam hati. Tapi dia harus menjaga sikapnya untuk mengeruk informasi dari pria bertubuh gempal ini.
Ronald masih menunggunya di luar, saat Alena keluar dari ruangan Komisaris polisi.
"Bagaimana?" tanya pria itu.
"Ayo segera kita mulai penyelidikan," tukas gadis itu lalu melangkah pergi.
"Oke siap! kita mulai dari rumah Hamid."
Alena tidak menjawab sepatah katapun. Satu-satunya keinginannya adalah segera mengungkap kematian kekasihnya.
Beberpa menit kemudian. Mereka telah sampai di halaman rumah Hamid yang sangat luas. Rumah itu nampak sepi, tak ada lagi nafas kehidupan di sana, pembantu sudah mengundurkan diri masing-masing, bahkan kini nampak sangat seram karena rumput dan taman bunga yang tidak lagi ter-urus, menjalar hampir ke tembok megah itu.
Alena dan Ronald melangkah pasti masuk ke dalam. Mereka langsung menuju ke tempat di mana jasad Hamid ditemukan.
Darah berceceran di dinding ruangan kamar yang super megah itu. Semua masih nampak sama, bahkan bentuk bantal dan selimut masih dalam posisi berantakan, persis saat Hamid ditemukan tak bernyawa.
Ronald mengeluarkan buku catatan kecil miliknya dan kamera. Dia menulis dan memotret setiap sudut ruangan.
Alena hampir menyentuh bekas darah Hamid di atas bantal, namun dengan segera langsung dihentikan Ronald. Matanya mulai berkaca-kaca, menahan segala kepedihan dan kenangan masa lalu bersama Hamid.
"Jangan sentuh apapun! gunakan ini!" Ronald memberikan sarung tangan kepada Alena. "Dan ya! jangan cengeng! jangan lemah!" tukasnya.
Alena hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa kau menemukan sesuatu yang mencurigakan?" tanya Ronald.
"Tidak!" jawab Alena pendek. "Aku belum menemukan tanda-tanda apapun, semua masih nampak sama seperti saat terakhir Hamid ditemukan," jelas Alena.
"Kalau begitu, kita harus mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk bukti yang kuat."
Lagi-lagi Alena hanya menganggukkan kepalanya, tanda setuju.
"Hey lihat! kemarilah!" pekik Alena.
"Ada apa?" tanya Ronald.
"Bukankah ini sebuah gambar telapak tangan?" ucap Alena.
"Iya kau benar, aku juga melihatnya samar di tembok. Apakah mungkin ini telapak tangan yang sama?" gumam Ronald.
Dengan sigap dia mengambil gambar bukti pertama yang mereka dapatkan.
"Aku harus melaporkannya kepada komisaris, mungkin dia bisa membantu kita mengungkap sidik jari ini." Saat mengatakan itu Alena sudah memencet ponselnya, menelpon komisaris polisi.
"Tunggu dulu!" pekik Ronald, namun tidak dihiraukan Alena.
Percakapan Alena dan Adiguna.
"Selamat siang Pak," sapa Alena.
"Iya selamat siang, dengan siapa saya bicara?"
"Alena!"
"Owh Alena? iya ada apa? apa kau membutuhkan bantuanku? katakanlah manis!" ucapnya mulai berani menggoda Alena.
Next...