RUMAH SAKIT
Di tangan Deny sudah menempuk uang sebesar enam juta, tidak kurang satu lembarpun. Utuh! Deny masih belum percaya bahwa Dini mengembalikannya. Deny masih ingat betul, dia telah menyangka dan mengecap Dini telah mengambil uang miliknya.
"Dia bukanlah wanita mata duitan seperti wanita kebanyakan, bahkan dia juga berusaha untuk tetap bersikap sopan meski aku terus berusaha untuk mendekatinya. Tapi ... untuk apa aku terus ada di sini? Semua ini bukanlah tanggunganku. Aku telah membawanya ke sini, seharusnya itu sudah cukup. Dan sekarang biarlah Hendra yang menunggui istrinya di sini."
Deny merapa seluruh saku celana dan saku kemejanya. Tidak ditemukan adanya ponsel miliknya.
"Ck ... ponselku pakai acara ketinggalan segala," keluh Deny.
Kriet ...
Pandangan mata Deny beserta Agus dan Udin menyasar ke arah datangnya suara tersebut.
Dokter!
Dengan cepat Deny berdiri dan menghambur tempat berdirinya dokter yang menangani Dini itu.
"Dok ... Dok, bagaimana dengan keadaannya? A-apa dia baik-baik saja, Dok?" tanya Deny. Deny sempatkan untuk melirik bet nama doker yang berada di hadapannya kini. Jasmine, dr. Jasmine!
Dokter itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari Deny. dr. Jasmine menangkap ada kekhawatiran dari Deny namun dr. Jasmine juga menilai bahwa Deny terlalu dingin.
"Alhamdulillah, Bapak tenang ya. Istri Bapak sudah melewati masa kritisnya namun istri Bapak belum sadarkan diri. Perlu saya informasikan bahwa istri Bapak harus dirawat untuk beberapa hari ke depan untuk itu Bapak bisa membereskan administrasinya sekarang karena pihak rumah sakit juga harus melakukan tindakan selanjunya. Kalau begitu saya tinggal dulu, Pak. Jika ada pertanyaan, silahkan hubungi Suster atau Bapak bisa datang langsung menemui saya di ruangan. Permisi," jelas dr. Jasmine lalu pergi meninggalkan Deny yang masih terpaku di tempatnya.
"Apa? Apa aku yang harus bayar administrasi di rumah sakit ini? Dan dokter itu telah mengira bahwa Dini itu istriku. Ini sudah salah terlalu jauh. Hendra ... Hendra yang seharusnya ada di tempat ini, bukan aku! Tapi ... apa mungkin Hendra punya uang untuk membayar biaya istrinya di rumah sakit? Kasihan juga jika istrinya harus kutelantarkan, bukankah semua ini terjadi karena aku yang tidak mau mengalah barang sebentar saja padanya? Aku yang terlalu merasa memiliki hak penuh untuk menjamah tubuhnya walaupun tanpa mendapakan izin dari pemiliknya. Sebaiknya aku mengeluarkan uang untuk Dini, lihat saja nanti aku akan kasih pelajaran buat Hendra. Karena dia, aku jadi dalam masalah," batin Deny.
"Agus ... Udin ..." panggil Deny.
"Iya, Boss. Ada yang perlu kami kerjakan?" tanya Udin. Udin dan Agus mendekati Deny.
"Aku mau kalian berdua pulang dan ambil dompetku di atas nakas. Sama satu lagi, kalian ambil ponselku di dapur. Aku menaruhnya di atas meja," perintah Deny.
"Kapan ambilnya, Boss?" tanya Udin. Deny dengan terpaksa harus memandang ke arah Udin setelah sepasang telinganya mendengar pertanyaan anak buahnya itu.
"Ya sekarang, masa tahun depan!" sahut Deny penuh penekanan.
"Iya-iya. Siap, Bos," ucap Udin lalu menebuk bagi Agus, dia mengerakkan matanya sebagai tanda bahwa Udin mengajaknya agar segera pergi.
"Kalau begitu kami pamit, Boss," sambung Agus.
"Hmmm ..." balas Deny.
Seorang suster keluar dari ruangan tempat Dini di rawat. Deny masih ingat, suster itu merupakan suster yang ditemuinya saat proses pengambilan darah tadi.
"Sus, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Deny mengulangi pertanyaannya yang Deny lontarkan kepada Dokter tadi, kini Deny lontarkan pada suster di depannya itu.
"Pasien masih belum sadarkan diri, Bapak bantu dengan doa ya. Semoga pasien segera bangun," sahut suster.
"Iya, Sus. Apa boleh saya melihatnya ke dalam?" lanjut Deny.
"Bisa, Pak. Jika Bapak mau menjenguk pasien, saya permisi," terang suster sekaligus berpamitan.
Deny mengangguk pelan. Setelah kepergian suster, dengan ragu Deny memegang handle pintu ruang UGD.
"Aku harus lihat keadaan dia sekarang dengan mata mepalaku sendiri sebelum aku benar-benar memutuskan untuk pulang dan menyuruh Hendra ke sini."
Didorongnya pintu kaca itu, lantas menutupnya kembali. Tertangkap oleh netra Deny, sosok Dini yang tengah terbaring lemah dan tak berdaya. Hati-hati Deny melangkahkan kakinya, seolah-olah Deny tidak ingin Dini mengetahui kehadirannya.
"Kamu ... kamu cepet sadar ya. Aku tau, aku sudah salah dalam bersikap. Membuatmu harus memilih untuk melakukan semua ini. Kamu konyol ..." ucap Deny lirih. Pandangan Deny beralih pada sebuah kursi, tangannya menarik kursi itu dan kemudian didudukinya.
Kepala Deny terasa berdenyut, pening. Entah karena alkohol atau karena volume darah dalam tubuh Deny yang berkurang. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Deny memilih duduk manis.
"Oh ya, aku minta maaf. Aku telah salah menilaimu, aku tidak akan pernah melibatkanmu lagi dengan urusan hutang suamimu, Hendra," sambungnya. Deny meneliti wajah Deny. Dahinya berkerut. Dia teringat sesuatu setelah Deny menatap wajah Diny secara gamblang dan penuh.
(Flash back lima tahun lalu)
Brugh ...
Seorang pria mengalami kecelakaan, dia menjadi korban tabrak akibat seorang pengendara mobil tengah melintas di sebuah jalanan yang tidak memperhatikan ke arah jalanan. Mobil mewah itu berhenti seketika setelah menyadari bahwa dirinya bersama mobilnya baru saja menabrak sesuatu. Ponsel yang dipegangnya pun sudah loncat entah kemana.
Dengan rasa penasaran dia menengok ke arah spion. Pria itupun merasa gugup.
"Astaga ternyata aku menabrak orang," gumamnya begitu kaget. Dilihatnya dari arah lain seorang wanita berlarian dan menghampiri pria yang sudah berlumuran darah.
"Mas ... Bangun, Mas. Mas, tolong kamu bertahan aku mohon. A-aku akan ..."
Mata wanita itu terpaku pada mobil yang berhenti, lantas wanita itu berdiri dan berjalan cepat ke arah mobil mewah itu.
"Gawat ... sepertinya urusan ini bakalan terlalu rumit. Sebaiknya aku kabur saja," ucapnya lirih. Mobil itu kembali melaju dengan cepat, meninggalkan tempat berhentinya tadi. Si pengendara berharap, wanita itu tidak dapat mengejarnya ataupun mengenali mobilnya. Sepintas sang pengendara mendengar wanita itu memanggilnya, meminta mobil itu untuk berhenti. Seperti tidak ada pilihan lain, pengendara memilih untuk tetap melanjutkan perjalanannya.
Beberapa hari setelahnya, pengendara mobil itu yang tak lain dan tak bukan adalah Deny, mendengar bahwa korban tabrak lari itu meninggal dan meregang nyawa di tempat akibat terlambat mendapatkan pertolongan maupun penanganan medis.
Dddrrrzzz ...
Kursi yang diduduki oleh Deny bergerak ke belakang setelah Deny berdiri dengan cepat, dia sudah mengingat siapa wanita yang berada di hadapannya sekarang. Dia adalah istri dari orang yang telah ditabraknya hingga tewas dulu.
Mendadak keringat dingin keluar dengan secara tiba-tiba pada sela pori-pori dahi Deny.
Deny merasa kali ini bukan hanya kepalanya saja yang pening, akan tetapi pandangannya ikut kabur.
Brugh ...
Deny terkapar tak sadarkan diri!