Chereads / Ratapan Istri / Chapter 6 - Pendonor Darah Untuk Dini

Chapter 6 - Pendonor Darah Untuk Dini

RUMAH SAKIT

Dengan tergesa-gesa, Deny turun dari mobil. Dengan tak sabar Deny membuka pintu belakang tempat dimana Dini dan salah satu dari anak buahnya duduk untuk menemani Dini.

"Woi ... cepat kau turun! Kenapa kau malah bengong!" seru Deny pada Agus yang masih duduk di jok depan.

"I-iya, Boss." Agus buru-buru mencopot sabuk pengaman yang melilit tubuhnya sejak tadi. Agus tampak masih terbawa suasana akibat Deny yang menolak Agus menyetir mobil. Dan justru Deny sendirilah yang menyetirnya, bagaikan seseorang yang kesetanan Deny merajai jalanan untuk beberapa menit yang lalu. Bahkan Deny sudah dua kali menerobos lampu merah tadi, telinga Agus masih terngiang suara beberapa klakson mobil dan makian dari mulut-mulut yang melemparkannya kata-kata sumpah serapah.

Ketika Agus sudah turun dan berniat membantu Bossnya yang telah bersiap di belakang, kini Agus harus rela kena semprot sang Boss lagi.

"Hei! Kamu kenapa ikut-ikutan urusin urusan di sini? Ini kan udah sama Udin, mendingan sekarang kamu ke dalam dan panggil suster. Cepat!" kata Deny dengan lantang.

"Iya siap, Boss," sahut Agus. Dengan kikuk, Agus pun langsung berlari ke dalam hendak mencari pertolongan dari petugas rumah sakit.

"Benar-benar lamban," gumam Deny. Menurutnya, seharusnya Rumah sakit mengetahui jika ada pasien yang baru saja turun dari mobil dan mereka wajib menolong tanpa harus dimintainya dari keluarga sang pasien. Tetapi terlepas dari itu, tentu saja tidak akan ada yang peduli dengan kedatangan mobil Deny yang membawa Dini di dalamnya. Apalagi mobil Deny berhenti di pintu utama bukan pintu UGD. Jadi wajar saja bila Deny merasa Rumah sakit sebesar itu mengacuhkan calon pasien, begitupun sebaliknya.

Deny sudah tidak peduli dengan kemejanya yang penuh dengan bercak darah, yang bersumber dari tangan Dini. Meskipun pergelangan tangannya telah diikat dengan sapu tangan akan tetapi darahnya terus saja keluar. Deny merasa keadaannya Dini terlihat sangat memprihatikan, apalagi saat menyimak wajah pucat Dini. Dini memang sudah tidak sadarkan diri sejak berada di rumah Deny tadi.

Deny menerima dan menyambut tubuh Dini dengan bantuan Udin lalu membopongnya keluar dari dalam mobil, sedangkan Udin ikut keluar dan saat ini sudah berada di luar bersama Deny.

"Kunci masih ada di dalam. Aku akan bawa dia ke dalam sekarang dan kau parkir mobil ini dengan benar," perintah Deny.

Udin mengangguk.

"Baik, Boss."

Deny langsung berjalan menuju pintu rumah sakit, ketika langkahnya baru beberapa meter dari pintu rumah sakit kedatangannya pun disambut brankar yang didorong oleh 3 suster bersama dengan Agus di belakangnya.

"Ayo mari, Pak." Suster itu mengarahkan agar Deny membaringkan Dini di atas brankar yang telah dibawakannya. Setelahnya, brankar itu didorong dengan cepat.

"Kita ke arah sini, Pak." Suster itu memberi petunjuk pada Agus maupun Deny yang mengikuti Dini. Salah satu suster mengambil note kecil berikut dengan bolpoin dari saku bajunya.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada pasien hingga pasien mengalami hal ini, Pak?" Salah satu suster melontarkan pertanyaan pada Deny dan bersiap untuk mencatatnya. Nampaknya Suster itu memang bertugas untuk menanyai setiap pasien yang baru saja masuk dalam keadaan emergency seperti yang dialami Dini sekarang ini, mungkin juga itu akan membuat tindakan apa yang harus dilakukan pertama kali pada pasien. Jadi keterangan itu sangatlah penting.

"Pergelangan tangannya terluka, baru saja dia mencoba untuk bunuh diri," kata Deny tanpa menutupi apa yang telah terjadi pada Dini.

"Baiklah, Pak," sahut Suster tersebut. Suster itu tidak berniat untuk menanyai lebih jauh tentang apa yang membuat sang pasien mencoba untuk bunuh diri. Takut menyinggung dan itu juga berkaitan dengan masalah privasi. Kecuali memang jika pertanyaan itu dibutuhkan, bukanlah Suster yang seharusnya menanyainya.

"Baiklah, biar pasien Dokter dan kami yang menangani. Mohon Bapak tunggu diluar," pesan Suster itu dan langsung masuk sebuah ruangan bertuliskan UGD.

Deny terdiam, tidak ada gairah untuk dia berbicara. Lidahnya terasa kelu.

Begitu juga dengan Udin, dia tidak memiliki nyali untuk menegur Bossnya yang terlihat bingung. Hingga akhirnya Agus datang dan bergabung pada Udin yang berdiri tidak jauh dari tempat Deny berdiri.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Agus pada Udin. Udin tampak melirik kearah Deny yang kini berdiri dengan wajah gelisah.

"Dokter masih menanganinya di dalam," terang Udin pada rekan kerjanya, Agus.

"Semoga dia tidak kenapa-kenapa," harap Agus. Udin pun tidak berniat untuk merespon harapan Agus itu, dia hanya memberi kode agar Agus ikut dengannya untuk meninggalkan Deny dengan cara berjaga jarak.

Deny berniat meminjam ponsel pada Agus atau Udin. Semula Deny ingin Hendra tahu tentang istrinya yang kini berada di rumah sakit, akan tetapi hal itu dia urungkan karena Deny sendiri belum tahu bagaimana keadaan Dini sesungguhnya yang kini sedang terbaring di dalam ruang UGD.

Mau di sangkal bagaimanapun semua ini terjadi gara-gara Deny. Deny adalah penyebab Dini melakukan tindakan bodoh itu. Deny merasa dia harus tahu dulu tentang bagaimana keadaan Dini, baru kemudian Deny memiliki berita untuk mengabarkannya pada Hendra. Bisa saja didetik ini menghubungi Hendra lalu menyuruh Hendra datang untuk mengurus istrinya, kemudian Deny pulang.

Tapi Deny tidak ingin menjadi seorang pengecut kembali, cukup sekali dia menjadi orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Deny melarikan diri dari perbuatannya lima tahun silam, saat itu dirinya dengan tidak sengaja telah menjadi pelaku penabrakan. Karena shock, Deny kabur begitu saja dan membiarkan korban kejang. Menurut kabar yang Deny peroleh, korban itu meninggal dunia di tempat kejadian.

"Kenapa semuanya jadi begini, membuatku membuang waktuku terlalu banyak. Aku seperti dipermainkan oleh Hendra. Dan istrinya itu membuatku benar-benar kerepotan. Tetapi kenapa aku seperti nampak tidak asing dengan istri Hendra, aku seperti pernah melihatnya tapi dimana? Ketika aku melihatnya dari dekat tadi, tidak terasa seperti ketika aku melihatnya sekilas bersama Hendra beberapa hari yang lalu. Sebenarnya siapa dia?" batin Deny.

Deny menghembuskan nafas dengan berat, langkahnya pun membawa dirinya menuju kursi tunggu. Dia duduk dengan penuh pikiran yang tak pasti.

Tidak lama setelahnya ada seorang suster keluar dari ruang UGD yang membuat Deny beserta dua anak buahnya menghambur ke arah Suster tersebut. Mereka berharap Dini tidak mengalami luka yang serius dan bisa pulang hari ini juga.

"Maaf siapa keluarga pasien?" tanya Suster.

"Iya sa-saya, Suster. Bagaimana keadaannya sekarang?" sambut Deny segera.

"Begini, Pak. Pasien mengalami banyak kehilangan darahnya dan perlu kami informasikan bahwa rumah sakit saat ini sedang kosong. Tidak ada stok darah yang cocok untuk pasien, sebaiknya bapak segera mencarikan pendonor darah untuk pasien dengan segera. Pasien membutuhkan golongan darah AB secepatnya," terang Suster tersebut dengan berat. Suster itu merasakan sedih juga saat dirinya teringat bahwa penyebab pasien terbaring di dalam adalah karena percobaan bunuh diri yang dilakukan pasien, entah apa yang menjadi penyebab pasien melakukan hal itu tetapi itu pasti masalah problem rumah tangga. Apalagi saat Suster menilai penampilan Deny yang masih acak-acakan seperti baru bangun tidur, pastilah pasien sebagai istrinya merasa stres. Begitu pikir Suster.

Deny berfikir sebentar entah apa yang membuat Deny tergugah hatinya untuk menolong Dini.

"Biar saya, Sus. Biar saya yang menjadi pendonor untuknya. Saya memiliki golongan darah yang sama, golongan darah saya AB juga. Suster bisa ambil darah saya untuk dia," kata Deny akhirnya.

Agus dan Udin saling berpandangan. Dia tidak percaya bahwa Bosnya itu kini menjadi seorang Hero bagi Dini. Bossnya yang dikenal cuek itu ternyata bisa memiliki jiwa penolong.

"Baiklah kalau begitu. Mari ikut saya, kita akan segera mengambil darah Bapak," jelas Suster tersebut. Suster itu pun pergi meninggalkan depan pintu ruang UGD bersama dengan Deny.