Chereads / Ratapan Istri / Chapter 4 - Tamparan Keras Untuk Deny

Chapter 4 - Tamparan Keras Untuk Deny

Sejak tadi Deny duduk di ruang tengah. Seperti orang bodoh, Deny tidak lekas menghampiri Dini yang ternyata memang istri dari Hendra. Justru Deny malah sibuk menyalakan televisi dan memilih untuk tidak menontonnya.

Televisi itu dicuekinnya! Mungkin jika televisi bisa protes, pastilah dia akan memaki Deny.

Deny tidak habis pikir, istri Hendra mau mengambil uang 6 juta itu lantas menyimpannya dalam tasnya yang dia letakkan tidak jauh dari tempatnya bekerja.

"Apa dia wanita yang seperti itu? Ternyata tidak ada bedanya pasangan suami istri itu."

Uang 6 juta itu adalah uang sisa dari dirinya minum di club semalam. Begitu pulang dari judi, berbekal uang saku kurang lebih 15 juta Deny menghamburkan uang-uang itu untuk minum. Dan tentu saja memberikan uang-uang miliknya kepada ketiga wanita seksi yang menemaninya minum semalam.

"Kenapa waktu dia mengambil uang, aku tadi tidak menegurnya ya?" tanya Deny pada dirinya sendiri.

***

"Pak, pekerjaan saya sudah selesai. Besok akan saya setrika, hari ini biarlah kering dulu," lapor Dini pada Udin dan Agus.

"Selesai?" ulang Udin bingung. Udin bertanya-tanya dalam hati, apa Bossnya tadi sudah melihat Dini dan nyatanya Dini yang sedang di hadapannya sekarang ini memang bukanlah istri dari Hendra?

"Iya, Pak. Ohh ya ..." Dini membuka resleting tas kecilnya lantas mengeluarkan uang sebanyak 6 juta yang dia temukan di dalam saku jaket tadi.

"Ini, Pak. Tadi saya menemukan uang ini dalam jaket. Untung saja belum basah," kata Dini sambil menyerahkan uang itu ke arah Udin.

Udin menerimanya.

"Ini pasti punya, Boss," ucap Udin.

"Terus ... sekarang kau mau kemana?" tanya Udin sambil menghitung uang yang ada ditangannya.

"Pulang, Pak," sahut Dini. Udin langsung mengalihkan pandangannya ke arah Dini.

Tiba-tiba ponsel milik Udin berdering.

"Kamu bawa uang ini." Agus pun mengambil alih uang milik Bossnya.

"Dari, Boss," kata Udin pada Agus.

"Buruan angkat!" respon Agus.

"Ekh ... kamu tunggu sini, jangan pulang dulu," pesan Udin pada Dini kemudian pergi meninggalkan Agus dan Dini agar percakapannya tidak terdengar oleh Dini.

Klik ...

Udin: Iya, Boss.

Deny: Kemana wanita itu pergi?

Udin: Dia sekarang ada di depan, Boss. Dia mau pulang.

Deny: Tahan dia, jangan sampai dia pulang dulu. Kamu suruh dia masuk menemuiku.

Udin: Apa dia ...

Deny: Ya.

Tuuut ...

Udin menimbang-nimbang ponselnya, Udin masih berdiri ditempatnya. Dia bingung mengapa tadi Bossnya tidak menahannya sendiri di dalam. Dilihatnya Agus dan Dini yang berbalik melihatnya.

Udin berjalan ke arah Dini.

"Kamu masuk dulu ke dalam, Boss memintamu. Kau juga bisa bicarakan tentang upahmu dengannya."

Meskipun ragu, Dini pun mengangguk dan pergi menuju rumah yang diantar oleh Agus.

"Itu, Boss," bisik Agus menunjuk ke arah Deny.

Dini melihat ke arah seorang pria dewasa yang tengah duduk di sofa menghadap televisi. Membelakanginya.

"Permisi, Boss. Saya antar ..."

Deny buru-buru mengipas ujung jari-jari tangannya beberapa kali, tanda agar Agus lekas pergi meninggalkan Dini dan Bossnya.

"Saya permisi ..." Agus segera pergi meninggalkan ruang tengah dan bergabung dengan Udin lagi.

"Maaf, seharusnya Anda tidak perlu memanggil saya karena besok saya akan kesini untuk menyeterika," ucap Dini. Deny berdiri, lalu berjalan pelan menghampiri Dini.

Dini kini dapat melihat dan menyimak wajah dari pemilik rumah itu. Begitu dingin dan beku. Wajahnya yang tampan tidak mampu menetralisir sorot tatapannya yang tajam. Deny menarik rahangnya, seakan Dini menyambut kedatangan Deny yang hendak menelannya.

Deny berhenti di hadapan Dini.

"Apa kau tau? Kau telah membuat berbagai kesalahan di rumahku," ucap Deny membuka percakapan.

"Ma-maksud, Anda?" tany Dini tergagap karena harus menghadapi orang yang dingin, sedingin suasana di kutub Utara. Apalagi Deny yang berdiri terlalu dekat dengannya, membuat jantungnya berdesir kuat.

Deny menarik salah satu bibirnya, dia tersenyum sinis.

"Kau telah salah alamat! Aku tidak pernah menyuruhmu untuk mencuci pakaianku. Sama sekali tidak pernah!"

"Ta-tapi kata, Mas ..."

"Hendra!" sela Deny cepat.

"Iya, Mas Hendra bilang saya di suruh kesini untuk mencu ... Oemmm ..."

Deny mengecup bibir merah sensual milik Dini. Dia mencoba menerobos dan memasukkan lidahnya ke dalam mulut orang yang saat ini hendak Deny kencani.

Bibir dan lidah Dini telah dikuasai oleh Deny yang berada di depannya. Kedua bahu Dini dicengkeram kuat, sehingga Dini tak mampu melawannya.

"Oemmm ... lepas, emmm ..." Nafas Dini sedikit tersengal, dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seburuk itu di tempatnya bekerja saat ini.

Padahal harapan awal Dini adalah ingin jasanya agar bisa diterima dan terus menjadi langganan di rumah Deny, tapi kini tujuannya berubah. Sungguh Dini tidak ingin kembali lagi besok setelah dirinya mendapatkan perlakuan dari sang Tuan rumah.

Deny menghentikan aksinya. Nafsunya mendadak bergejolak hebat. Padahal di mata Deny, Dini bukanlah wanita yang istimewa. Penampilan dan makeup pun tidak terurus.

"Kita main di kamarku saja ya," bisik Deny sambil melepaskan cengkeramannya. Deny menggandeng pergelangan tangan Dini dan menariknya pelan. Lantas Deny berbalik kemudian berjalan, Deny bermaksud untuk menuntun Dini naik ke atas tangga.

"Cukup!" berang Dini sambil menepis tangan Deny, hingga pergelangan tangannya lepas dari tangan Deny.

Deny menengok ke belakang.

Plak ...

Sebuah tamparan keras mendarat pada pipi kiri Deny.

Terasa panas dan berkedut!

Deny mendekap pipinya sendiri, dia merasa terhina. Seumur-umur dirinya belum pernah sekalipun ditampar oleh siapapun, kedua orang tuanya pun juga tidak pernah.

Tapi kali ini, Deny benar-benar harus menerima kenyataan bahwa ada seorang wanita yang berani melakukan semua itu dihadapan saat ini.

"Apa Anda tidak pernah tau bagaimana cara menghormati seorang wanita?" hembus Dini. Dini mencoba berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya yang sudah hampir jatuh.

Tangan Deny diturunkannya dari pipinya.

Deny mencengkeram bahu Dini kembali.

"Apa yang kau lakukan, hah? Kau jangan berani untuk menyentuhku!" seru Deny, dengan amarahnya dia pun mendorong Dini hingga Dini terpelanting di lantai.

"Akh ..." Dini mengaduh kesakitan. Deny acuh saat Dini tampak memegang perutnya. Dini merasa sakit akibat jatuh tadi, begitu cepat rasa sakit itu menjalar ke perutnya.

"Saya semakin yakin bahwa Anda adalah pria yang kasar dan tidak bisa menghargai wanita!" desah Dini. Dia teringat beberapa kemeja milik Deny yang dicucinya, banyak dan hampir semua kemejanya ternoda bekas lipstik. Pastilah itu bekas bibir milik wanita-wanita yang berada disampingnya dan selalu menghiasi hari-harinya.

Berlahan Deny berjalan mendekati Dini, Dini merayap dan tertatih mundur. Dini khawatir, jika Deny akan berbuat kasar lagi padanya.

"Jangan ... jangan dekati saya, pergi-pergi!"

Deny tertawa terbahak-bahak.

"Apa kau sudah lupa, dimana kamu sekarang berada? Bisa-bisanya kamu mengaturku."