Jen berdiri di samping Jacob. Pandangannya lurus ke arah ranjang Jacob. Memperhatikan gadis yang tengah duduk di sana. Dari ujung kaki hingga ujung rambut. Begitu pun gadis itu.
Senyum yang tampak canggung, diperlihatkan oleh gadis itu.
"Jacob." Jen menarik lengan kemeja putra ke duanya agar sedikit menunduk. Menurunkan tubuhnya yang tinggi.
"Apakah kau memakai baju milik wanita tua ini, untuk gadis itu?" bisik Jen, di telinga Jacob.
Jen, tentu saja mengenali pakaiannya semasa muda dahulu. Pakaian terusan berbahan katun yang dingin, putih gading, dengan motif flora kecil di bagian atas pakaiannya. Lengan pendek.
Pakaian favorit Jen, semasa muda. Dan karena pakaian itu pula, ayah Jacob terpikat padanya. Kemudian melamarnya.
Pakaian yang terlihat pas di tubuh gadis itu.
Jacob berdeham sekali. Merasa bersalah, karena tidak meminta ijin kepada ibunya terlebih dahulu. Sebelum pakaian itu digunakan oleh gadis misterius di hadapan mereka.
Lagi pula, yang memilihkan pakaian itu adalah para pelayan di rumahnya. Bukan Jacob sendiri. Jacob bahkan tidak memahami pakaian yang pantas atau tidak untuk gadis itu.
Semua Jacob serahkan kepada Luna dan teman-temannya sesama pelayan.
"Iya, Mom. Maafkan aku ...," Jacob berbicara terburu-buru.
"Cocok sekali!" Jen memotong ucapan Jacob dengan penuh semangat. Wajahnya tampak cerah.
Jen perlahan mendekati ranjang Jacob, kemudian duduk di samping gadis itu. Menatapnya dengan seksama. Meneliti setiap bagian pada tubuh gadis itu.
"Cantik sekali!" Jen tersenyum, menatap wajah gadis itu yang juga ikut tersenyum. Meski masih terlihat canggung.
"Kau menemukannya di mana, Sayang?" Jen mengalihkan pandangannya kepada putra ke duanya yang masih berdiri di ambang pintu.
Nada bicara ibunya yang terdengar riang, membuat perasaan Jacob semakin tidak karuan.
"Bisa kita bicara di luar, Mom?" Jacob memberi isyarat tangan kepada ibunya.
Jen beranjak dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam kamar Jacob. Mengikuti putra ke duanya menuju ruang santai.
Wajah Jacob yang tiba-tiba serius, membuat Jen penasaran.
"Apa yang mau kau bicarakan padaku?" Jen tersenyum manis.
Senyum yang selalu ditampakkan Jen, jika menginginkan sesuatu, dan sangat berharap keinginannya dipenuhi.
Jacob menghela napas sesaat, sebelum akhirnya memulai percakapan. "Aku menemukannya di perkebunan bunga milik Mandel Hills, Mom."
Jen mengangkat kedua alisnya. Seolah mengatakan, bahwa Jacob, putra kesayangannya tengah membual. Sesuatu yang memang kadang kala Jacob lakukan untuk menggoda atau menyenangkan hati Jen.
"Aku serius, Mom. Gadis itu sedang mencuri bunga-bunga yang ada di perkebunan."
"Omong kosong!" Jen mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Kau pasti salah melihat."
Jacob menghela napas. Yeah, memang seperti itulah ibunya. Wanita yang baik, dan selalu menganggap orang lain pun sebaik dirinya. Jarang sekali berburuk sangka terhadap orang lain.
Selama Jen memperlakukan orang lain dengan baik, maka Jen pun akan berprasangka orang lain pun akan bersikap baik terhadapnya.
Dan itu yang telah Jen rasakan selama bertahun-tahun hidup di Karakas. Lebih dari lima puluh tahun di dunia. Semua orang, memperlakukannya dengan baik.
"Gadis itu terlihat baik dan begitu polos, Jac. Tidak mungkin dia mencuri bunga-bungamu." Jen menghentakan tongkatnya ke lantai, yang menghasilkan suara yang keras. Membuat Jacob terkejut.
Tidak biasanya, Jen bersikap demikian. Sebegitu marahnyakah Jen kepada Jacob? Putranya sendiri. Bahkan tidak percaya pada ucapan jujurnya kali ini.
"Percayalah, Mom. Gadis itu, tidak sepolos kelihatannya." Jacob masih bersikeras dengan argumennya.
"Omong kosong!" Lagi, Jen menghentakan tongkatnya ke lantai.
Jacob menarik napas, hendak berkata sesuatu lagi, namun Jen mendahuluinya.
"Kau juga mengatakan hal yang sama tentang Shasa. Di kencan pertama kalian." Jen mulai mengungkit masalah itu lagi.
Jacob tercengang. Hal yang sama?
Jacob mengerutkan dahinya. Berpikir keras. Mengingat-ingat ucapannya tentang Shasa, salah satu anak gadis dari karyawan kepercayaannya, Hansen.
Sepanjang ingatan Jacob, ia tidak pernah mengatakan hal yang buruk tentang Shasa, apalagi mengatakan bahwa 'Shasa tidak sepolos yang ibunya kira.' Seperti ucapan Jacob terhadap gadis pencuri bunganya itu.
Jacob hanya beralasan, dirinya tidak menyukai Shasa. Itu saja. Tidak ada alasan lain. Sehingga akhirnya Jen melupakan peristiwa lima tahun lalu itu. Namun sekarang, ibunya kembali mengungkit masalah itu.
Jacob akui, memang telah membuat Shasa menangis sepulang dari kencan pertama mereka. Dan membuat Shasa enggan bertemu muka dengan Jacob, di hari-hari setelah kencan mereka.
Bahkan selalu menghindar atau membuang muka, apabila tanpa sengaja mereka berpapasan jalan di peternakannya.
Mau tidak mau mereka akan sering bertemu. Shasa bekerja di peternakannya, sebagai pemerah susu. Dan, Shasa termasuk karyawan yang rajin. Disukai semua orang, termasuk Jen, ibunya.
Untuk alasan itulah Jen berniat menjodohkan Shasa dengan Jacob. Dan, Hansen pun setuju dengan permintaan Jen, saat meminta Shasa untuk dikenalkan lebih dekat dengan putra ke duanya.
Mereka berdua bahkan mengatur waktu kencan bagi anak-anak mereka dengan begitu detail, di tempat yang terkenal romantis. Dan berharap, Jacob dan Shasa pulang dari kencan pertama mereka dengan kabar baik.
"Apa yang kurang pada Shasa?" Jacob ingat, Jen pernah menuntut klarifikasi darinya.
Sungguh, Jacob tidak melihat kekurangan apa pun pada diri Shasa. Gadis itu memiliki wajah yang cantik.
Tubuhnya langsing dan berisi di tempat yang tepat. Putih mulus. Rambutnya bergelombang kecokelatan. Tinggi badannya pun bisa mengimbangi tinggi Jacob yang tinggi besar.
Suaranya pun merdu. Tidak pernah terdengar, Shasa meninggikan suaranya jika berbicara dengan orang lain. Bahkan, ketika Shasa marah atau pun kecewa dengan Jacob. Shasa tetap dengan kepribadiannya yang sopan.
Hingga sebutan 'kembang desa' di Karaskas, memang cocok disematkan untuknya. Shasa adalah sosok gadis idaman para pria di Karaskas, yeah, kecuali Jacob, tentu saja.
Jacob tidak memiliki ketertarikan akan pesona kecantikan yang dimiliki Shasa, yang konon telah terpancar sejak kelahirannya.
Baginya, Shasa terlalu sempurna untuk Jacob. Terlalu bersinar. Entahlah. Yang jelas, Jacob tidak berniat melanjutkan hubungan dengan Shasa sejak kencan pertama mereka.
Dan hanya Jacob yang tahu alasannya. Ia menutup rapat-rapat alasan sebenarnya dari siapa pun, termasuk Jen.
Bagi Jacob, Shasa berhak mendapatkan pria yang lebih baik dari Jacob. Pria yang memang betul-betul mencintainya, dan bisa menjadi pendamping hidup yang baik bagi Shasa.
"Hal apa, Mom?" tanya Jacob pada akhirnya.
"Shasa memiliki kekurangan."
Oh, ternyata itu. Bukan ucapan soal kepolosan Shasa. Batin Jacob.
"Aku tidak pernah mengatakan hal itu, Mom." Jacob perlu membela diri. Karena memang Jacob tidak pernah menyebutkan penilaiannya tentang Shasa.
"Shasa gadis yang sempurna. Wanita yang ideal untuk menjadi istri yang baik," lanjut Jacob.
Pujian yang dilontarkan Jacob, pernah ia dengar dari para pekerjanya di Mandel Hills. Setidaknya menurut mereka, Shasa tipe wanita yang seperti itu. Dan, Jacob setuju saja.
"Omong kosong apalagi, Jac?" Jen terdengar kesal.
"Maksud, Mom?" Jacob, sungguh tidak mengerti.
"Shasa tidak cukup sempurna untukmu. Bahkan, tidak cukup ideal untuk kau pinang menjadi menantuku!"
"Katakan padaku, apakah kau menyukai sesama jenis, Jac?" Tuduhan Jen, membuat Jacob tercengang.