Waktu terus berjalan. Dan tanpa terasa, jam pulang sekolah tiba. Raymond yang ada jadwal bimbel berniat segera pergi ke parkiran. Buru-buru dia memacu motornya dan menunggu di SMA 52. Di sana, tampak para siswa dari SMA 52 tengah berhamburan keluar. Ketika tengah menuggu, Uji yang melihatnya medekatinya.
"Eh, Ray. Lagi nungguin Chika ya?" tanyanya sambil tersenyum manis.
Raymond terkejut. "Eh! I—Iya, Jik. Uhm, lo belum siap ke tempat bimbel?"
Uji tertawa renyah. "Ya bentar, Bro. Gue nih masih mau beli buku dulu."
Ketika itulah, Rita yang melihat Raymond mendekatinya. Dia tersenyum manis.
"Ray, gimana nih hasil terjemahan gue?" tanya Rita.
"Oh, keren lho. Lo beneran bakat jadi penerjemah. Gue jadi bisa ikuti tuh cerita avenger kegemaran gue," kata Raymond dengan tawa renyah.
Namun, tanpa sepengetahuan Raymond, Chika kembali di bakar cemburu ketika melihat keakraban Rita dan Raymond. Windy yeng bersamanya tersenyum memandanginya.
"Chika! Lo kenapa? Kok mendadak jutek sih?" tanya Windy dengan senyum manis.
Sejenak, Chika terkejut. dia berusaha menutupi peraasannya.
"Uhm … Ng—Nggak kok. Gue gak apa-apa," kata Chika dengan nada gugup.
Windy mengernyitkan dahinya sambil tersenyum keheranan.
"Beneran? Udah, yuk temui dia," ajak Windy sembil menggandeng tangan Chika.
Wajah Chika memerah menahan malu. Dia berusaha melepaskan pegangan Windy.
"Win, please. Gue malu," kata Chika dengan nada khawatir.
"Yaelah, Chika. Udah deh, juju raja ama gue. emang kenapa wajah lo memerah?" tanya Windy.
Sejenak, Chika diam. Dia melihat sebuah bangku di depan sekolahnya. Dia beerjalan kea rah bangku itu dan duduk sambil memegang erat bukunya. Dia tampak diam memandangi Uji dan Rita yang tengah bercakap-cakap dengan Raymond. Windy mendekatinya, dan duduk di sebelahnya.
"Chika, jujur aja deh ama gue. Emang, tadi lo kenapa? Gue lihat lo seperti gimana gitu kalau lihat Raymond begitu akrab ama Rita," kata Windy.
Chika hanya diam dan menunduk sambil memegangi buku itu erat-erat. Wajahnya memerah. Dan, ternyata matanya mulai berkaca. Windy yang melihatnya merasa iba. Dia sentuh opundak sahabatnya itu.
"Chika. Lo jangan terus pendam perasaan lo. Udah deh, Jujur aja ama gue. Gue lihat lo sekarang mirip waktu di bembel itu," kata Windy.
Sejenak, Chika menghela nafasnya. Dia kembali memandangi Raymond yang tengah bercanda bersama Rita dan Uji. Setelah beberapa saat, Chika akhirnya mulai bicara.
"Win, please. Jangan sebarin rahasia gue ke siapa-siapa ya. Please …," pintanya dengan wajah memelas.
Windy tersenyum manis. Dia mengangguk. "Iya, gue janji akan rahasiain ini."
"Win, sejujurnya gue jealous ngeliat Raymond akrab ama perempuan lain. Dan, entah kenapa dia begitu menarik buat gue?" kata Chika dengan suara lirih.
Windy tersenyum manis. Dia memegang erat tangan Chika. "Oke, Chik. gue janji rahasia ini hanya untuk kita."
Chika diam sejenak. Dia pandangi Windy dengan wajah memelas,
"Jujur, gue gak nyangka akhirnya malah takluk sama orang seperti Raymond. Gue heran. Lo tahu gimana Raymond kan? Sebenarnya, dia jauh dari kebanyakan cowok yang ngejar-ngejar gue. Kalau hanya keren, tentu banyak dan kesemuanya jauh di atas Raymond. Namun, ternyata hanya dia yang berhasil mengetuk kalbuku," lanjutnya.
Chika tersenyum heran sambil menatap jauh ke depan. Dilihatnya cowok tajir yang pernah mengejarnya.
"Tuh, lo lihat Yudha. Dia udah keren, tajir dan juga bintang kelas. Dulu, dia pernah ngejar-ngejar gue, tapi entah kenapa kok gue gak terketuk juga. Apa yang salah sama gue?" tananya sambil menggelengkan kepalanya.
Windy menghela nafasnya. "Chika, cinta itu tak memandangi harta atau kepintaran. Raymond memang pemuda yang jauh dari Yudha, tapi sisi menarik di dalam dirinya ada. Sudahlah, temui dia. Yuk, gue antar."
Chika mengangguk. dengan bujukan Windy, akhirnya Chika menemui Raymond.
"Eh, Ray. Gue cabut dulu ya," kata Rita berpamitan.
Raymond mengangguk. Rita berpamitan pada Chika sebelum akhirnya dia pergi. Chika yang wajahnya memerah hanya menunduk.
"Chika, gue cabut dulu ya. Sampai ketemu nanti sore," kata Uji sambil mengajak Windy.
"Uhm, Oke. Gue duluan ya," kata Chika sambil naik ke boncengan motor Raymond.
Raymond berpamitan pada Windy dan Uji, lalu mereka beranjak ke lokasi bimbel. Di tengah jalan, Chika mencoba membuka percakapan.
"Ray, tadi gue sempat mendengar lo ngomongin komik ke Rita ya?" tanya Chika ingin tahu.
"Uhm, Iya sih. Gue tempo hari kan minta tolong ke Rita buat nerjemahin komik gue. Dia tanya gimana hasilnya. Jujur, gue seneng banget. Akhirnya gue ngerti isi komik gue," kata Raymond sambil fokus memegang kemudi motornya.
Sejenak, Chika tercekat. Dia berusaha menahan rasa cemburunya.
"Syukurlah kalau begitu, Ray," katanya dengan perasaan cemburu.
Setelah itu, Chika hanya diam sambil memandangi jalanan yang dia lalui. Dan, tak berapa lama kemudian sampailah mereka di lokasi bimbel. Rupanya, secara tak sengaja, Mayang dan Ferry lewat di depan lokasi bimbel itu dan berpapasan dengan Raymond.
"Lho, Chika?" sapa Mayang sambil tersenyum menggoda.
"Nah lho. Kok kamu gak belajar?" tanya Chika.
"Nah, ini gue lagi mau belajar ama mentor tersayang gue," kata Mayang sambil memandangi Ferry.
"Iya, Chik. sebenarnya sih maunya gue ketemu di rumah, tapi karena gue pulang lebih awal, gue putusin jemput Mayang di sekolahnya," kata Ferry sambil merangkul mesra Mayang.
Mayang tersenyum manis pada Raymond. "Ray, jagain sohib gue ya. Dan, sebisa mungkin jangan lo buat ngambek. Bahaya tuh sohib gue."
Raymond hanya tersenyum simpul. "Ya elah, May. Gue akan jagain dia."
Chika yang merasa malu pada perkataan Mayang langsung mencubit lengannya tanpa bicara. Mayang hanya tersenyum sambil pura-pura meringis. Tak lama mereka bercakap-cakap sebelum mereka akhirnya berpisah. Sepeninggal Mayang dan Ferry, sejenak Chika melamun. Raymond menepuk lembut pundaknya.
"Chika, kita masuk yuk. Jangan melamun di jalan, nanti di ketawain ama semut yang berbaris," kata Raymond menggoda.
Chika tertawa renyah sambil mencubit lengan Raymond. "Biarin kalau semutnya kamu."
Raymond mencibirnya. "Ciye elah! Gue dikatain semut lagi. Lo ini tega deh."
"Hahaha …, maaf deh. Becanda kali," balas Chika dengan senyum manisnya.
Mereka berdua berjalan masuk ke ruangan bimbel. Seperti biasanya, Raymond yang mengantuk tidur di dalam kelas, sementara Chika duduk di sebelahnya sambil membaca buku. Sementara di tempat lain, Mayang dan Ferry tengah berada di toko buku. Mereka tengah membeli buku sejenak, dan makan siang di sebuah café. Di café itu, Ferry dan Mayang tengah terlibat percakapan ringan.
"Eh, May. Gue lihat kok kayaknya Chika lengket bener ama … uhm … siapa dia?" kata Ferry sambil tersenyum dan mengernyitkan dahinya.
"Ooh, itu. Raymond. Lo mungkin salah lihat kali," kata Mayang.
"Uhm, iya kali. Tapi, selama gue kenal ama tuh anak, belum pernah lho gue lihat dia seceria itu. gue sih mencium aroma-aroma … cinta," kata Ferry.
"Ih, Kak Ferry ini ada-ada aja. Seperti anjing pelacak aja," kata Mayang dengan nada bercanda.
Ferry tersenyum renyah. "Yah, gue sih hanya feeling aja kok/"
Mereka kembali tertawa renyah sambil menikmati makan siangnya. Dan, setelah makan siangnya habis, Ferry mengajak Mayang untuk pulang.
Waktu terus berjalan, dan sore pun tiba. Chika segera membangunkan Raymond yang masih terlelap. Dengan lembut, dia goyangkan tubuh Raymond.
"Ray, bangun. Semua siswa datang," katanya dengan nada lembut.
Raymond perlahan membuka matanya. Dilihatnya, semua siswa telah datang. Dia segera duduk dan sejenak menggeliat.
"Oaaahm! Lega rasanya," kata Raymond sambil sesekali menguap.
Sejenak, dia meggeliat, lalu beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka. Dan, beberapa saat kemudian dia kembali ke kelas. Tak lama kemudian, pelajaran pun dimulai.