Ketika hari telah petang, Chika terdiam memandangi Raymond yang duduk di depannya. Dia berusaha menahan rasa sakit hatinya.
"Oke, lo mau bicara apa sekarang?" kata Chika dengan nada tergas.
"Chik, kenapa sih tadi lo seolah ngindar dari gue? Emang salah gue apa?" tanya Raymond dengan nada heran.
Chika terdiam sejenak. dia menghela nafasnya untuk menahan emosinya.
"Gak. Gak ada yang salah kok. Lagian, kita kan hanya temenan. Gue juga butuh waktu sendiri," kata Chika menutupi kecemburuannya.
"Tapi, Chik. Lo kelihatan marah ama gue. Emang kenapa sih dengan lo?" tanya Raymond dengan nada sengit.
Chika terdiam. Dia tampak berfikir sejenak, dan kembali tertunduk.
"Ray, gue heran. Lo gak ngerasa kalau gue cemburu? Selugu itukah lo pada cinta?" gumamnya dalam hati.
Raymond yang melihat Chika tertunduk kembali menanyainya.
"Chika. Please, lo jangan hanya diam. Emang apa sih yang lo mau dari gue? lo tahu, apapun yang lo mau udah gue turutin. Lo pingin gue anter jemput udah gue ikutin. Terus, kenapa lo begini? Emang apa lagi mau lo? Please, deh. Jangan buat bingung," kata Raymod dengan nada tinggi.
Chika tetap terdiam. Karena tak ingin memulai pertengkaran, Raymond menghela nafasnya.
"Chika. Maaf kalau gue emosi. Mungkin, memang lo butuh waktu sendiri. Sebaiknya, gue pulang sekarang," kata Raymond sambil berdiri dari duduknya.
Dia hendak beranjak, namun kembali dia di kejutkan ketika Chika tiba-tiba memegangi tangannya. Raymond memandangi Chika dengan wajah keheranan.
"Chika? Bukannya lo butuh waktu sendiri? Kenapa lo halangin gue?" tanya Raymond keheranan.
"Ray, please. Tunggu dulu. Duduklah sebentar. Gue masih pingin dekat sama lo," kata Chika dengan wajah memelas.
Raymond mengalah. Dia kembali duduk di depan Chika. Chika tampak kikuk. Dia mempermainkan jari-jarinya sebelum bicara.
"Uhm, Oke Ray. Gue minta maaf kalau buat lo bingung. Jujur aja, uhm … selama ini, kita selalu dekat. Dan, kedekatan kita ini makin lama makin buat gue nyaman sama lo," kata Chika dengan nada gugup.
Chika menatap jauh ke depan. Dia diam sejenak sambil memandangi tanaman hias di depannya.
"Ray, terkadang gue ingin hal yang diluar hubungan kita selama ini. Jujur, kadang gue iri melihat keakraban lo dengan Rita. Lo seperti begitu nyaman dekat denganya. Gue ingin lo juga nyaman dekat gue seperti lo dekat dengan Rita," kata Chika berusaha menutupi perasaannya.
Raymond terkejut mendengar jawaban Chika. Dia menatap Chika dengan wajah keheranan, namun senyumnya kembali muncul.
"Owh, karena aku akrab dengan Rita terus kamu merasa aku ngelupain kamu gitu? Ya elah, Chika. Nggaklah. Aku sama Rita itu begitu karena lama gak ketemu. Lagian, tiap ke tempat bimbel kita barengan kan?" kata Raymond.
"Tapi, Ray. Aku ngerasa kamu kelihatan lebih akrab ke Rita. Jujur aku ngerasa iri," kata Chika.
"Chika, kamu gak perlu begitu. Kita tetap teman kok. Lagian, lo banyak ngebantu gue nyelesaikan tugas sekolah. Mana mungkin gue ngelupain teman sebaik lo? Lo tetap tepam gue yang gue ingat, Chik. Walau …." Kata Raymond menahan tawa.
"Walau? Walau apa?" tanya Chika keheranan.
"Uhm, walau … lo ternyata juga bawel tujuh planet," kata Raymond mulai menggoda Chika.
Chika tersenyum menahan malu. Tanpa bicara, dia menjewer telinga Raymond dengan wajah gemas.
"Apa? Lo bilang gue bawel? Ayo, coba bilang lagi," kata Chika sambil mencubit tangan Raymond.
Raymond mengaduh kesakitan. "Aduh! Ampun! Iiih, lo sadis amat sih?"
"Biarin! Hayo bilang lagi!" kata Chika sambil tertawa renyah.
"Iya-iya. Gue nyerah. Aduh, Chik. sakit," kata Raymond sambil meringis menahan perih.
Chika kembali tersenyum manis. Dia pegangn lembut tangan Raymond.
"Ya sudah, Ray. Makasih ya lo udah kemari," kata Chika dengan senyum ramah.
Raymond mengangguk. Dia langsung pamit untuk pulang. Di teras rumahnya, Chika memandangi Raymond yang tengah memacu motornya.
"Ray, jujur, terkadang gue pingin akhiri sandiwara ini. Tapi, perasaan gue masih berkecamuk. Apakah mungkin gue akhiri permainan ini? Jujur, gue mulai terbawa permainan yang gue mulai," katanya dalam hati.
Setelah Raymond menghilang, Chika langsung masuk ke dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, dia mulai membuka buku pelajarannya.
Sementara itu di kamarnya, Raymond mulai membaca komik yang telah di terjemahkan Rita. Dia tersenyum simpul. namun, setelah membaca komik itu, dia kembali termenung.
"Heran gue sama tuh cewek. Emang, apa yang salah dengan hubungan gue dengan Rita? Kok segitunya dia?" gumamnya dalam hati.
Dan, di tengah lamunannya mendadak ada pesan masuk di whats appnya. Raymond membukanya. Dan, ternyata dari Mayang.
"Eh, Ray. Gimana pertemanan lo sama Chika?" Isi pesan dari Mayang.
Raymond sejenak tersenyum. Dengan senyum simpul, dia membalas pesan itu.
"Ya, tetap jalan aja. Seperti biasa," berikut isi pesan balasan dari Raymond.
Sejenak muncul keterangan bahwa Mayang mengetikkan pesan. Dan, tak lama kemudian pesan itu muncul.
"Owh, begitu. Tapi gue lihat kayaknya Chika mulai ada rasa lebih ke lo, Ray." Berikut isi pesan dari Mayang.
Raymond sedikit keheranan.
"Ah, Mayang ini. Ada-ada aja deh dia. Wong kita temenan aja kok," katanya dalam hati sambil mengetikkan pesan itu.
Dan, balasan Mayang pun kembali muncul. "Ya udah, Ray. Baik-baik sama Chika. Good night."
Raymond tersenyum membaca pesan Mayang. Dia membalas pesan itu dan langsung memutar music hingga terlelap malam itu. Sejak kejadian itulah, hubungan Chika dan Raymond makin dekat. Dan tanpa terasa, UTS telah tiba. Di sekolah. Raymond tampak berusaha mengerjakan soal-soal itu.
"Waduh, ini gimana ya? Mana gue lupa lagi rumusnya?" katanya dalam hati.
Ketika tengah berfikir keras, Dion yang berada di sebelah Raymond berusaha memanggilnya.
"Psst! Psst!" terdegar suara Dion.
Raymond menoleh ke arahnya. Dia memasang wajah ingin tahu. Dion memberikan isyarat meminta contekan. Raymond hanya menggelengkan kepalanya.
"Yah, masak lo kagak tahu?" kata Dion dengan suara lirih.
"beneran, On. Mana gue paham. Nih gue juga pusing," balas Raymond dengan suara lirih.
Tanpa di ketahui mereka berdua, guru pengawas mendatanginya. Dengan santai, guru itu mengambil lembar ujian Raymond dan Dion. Mereka berdua terperanjat.
"Yah, nasib," keluh Raymond.
"Kalian silahkan lanjutkan ujian di ruang guru," kata guru pengawas itu.
Raymond dan Dion saling pandang. Guru itu kembali menegaskan perkataanya.
"Kalian berdua, silahkan ke ruang guru untuk melanjutkan ujian ini. Cepat!" kata guru pengawas itu dengan nada tegas.
Raymond dan Dion tak bisa berkutik. Mereka berdua mengambil alat tulisnya dan berjalan mengikuti guru pengawas itu. sambil berjalan ke ruang guru, Raymond mengungkapkan kekecewaannya pada Dion.
"Yah, lo sih. Udah gue bilang gua juga pusing ama soal ujian ini, lo malah ngotot," kata Raymond dengan nada lirih.
"Elo kan ikut bimbel. Masak kagak tahu soal matematika itu?" kata Dion setengah menyesali perbuatanya.
"Yah emang nyatanya gitu. Emang lo kira gue ikut bimbel lantas langsung pinter kayak professor gitu? Lo udah tahu gue paling ngeri ama matematika," balas Raymond dengan suara lirih.
"Eh! Sudah! Kalian berdua ini, udah salah masih berdebat. Ayo, kerjakan ujian kalian disana," kata guru pengawas sambil menunjukkan suatu tempat di ruang guru.
Mereka terdiam, dan dengan terpaksa akhirnya mereka kerjakan soal ujian itu sambil sesekali di ceramahi guru yang ada di sana.
"Kalian berdua ini sering sekali buat ulah. Ck … ck …, mau jadi apa kalian ini?" kata seorang guru BK.
Mereka hanya diam sambil mengerjakan soal ujian itu. waktu terus berjalan, dan akhirnya jam ujian pun selesai. Di sana, mereka menerima hukuman.
"Sekarang kalian berdua hormat bendera sampai istirahat selesai. Kerjakan sekarang!" perintah guru BK.
Dengan langkahlesu, Dion dan Raymond berjalan ke tengah lapangan. Mereka berdua menghormat bendera di tengah lapangan.
"Nih, gara-gara lo minta contekan, kita akhirnya begini," gumam Raymond dengan nada marah.
"Iya, iya. Gue salah. Maafin gue, Ray," balas Dion dengan nada menyesal.
"Iya, gue maafin. Tapi lo lihat gak, kita jadi lelucon sekarang," kata Dion sambil melihat sekelilingnya.
Dan benar saja, semua siswa yang beristirahat tertawa melihat mereka berdua di hukum. Beberapa siswi menyoraki mereka.
"Calon penunggu tiang bendera nih," kata seorang siswi.
"Bukan, tapi mereka lagi jatuh cinta pada tiang bendera," kata seorang siswi yang lain.
Terdengar tawa cekikikan para siswi yang melihat mereka di hukum. Namun, Shely yang memandangi Raymond di hukum hanya diam. Dia merasa sedih. dan, setelah jam istirahat berakhir, Shely memberikan raymond dan Dion minuman dingin.
"Udah, nih minuman buat kalian. Jangan sampai kena kakek cangkul lagi ya," kata Shely memberi semangat mereka berdua.
"I—Iya, Shel. Makasih lo masih baik am ague," balas Raymond.
Shely hanya tersenyum. Mereka bertiga jalan ke kelas masing-masing untuk kembali mengikuti Ujian Tengah Semester.