Hari yang ditunggu dan dicemaskan Theo pun tiba. Anak itu merasa gugup, terlebih setelah Dava mengatakan kalau Theo bisa ikut ke perlombaan.
"Apa daddy ikut lomba ya? Tapi kan itu untuk anak dan ibu, bukan anak dan ayah." Theo duduk di bangku taman, ia dapat melihat dengan acara perlombaan sedang disiapkan. Para guru dan panitia sedang sibuk wara-wiri, ke sana-kemari.
"Theo kenapa duduk sendiri di sini?" tanya seorang guru Theo yang berjenis kelamin wanita.
"Theo sedang menunggu daddy, Bu Guru. Katanya, daddy akan datang," jawab Theo.
"Ohh. Kalau gitu, bu guru duluan ya."
Sedangkan di dekat gerbang, Dava baru saja sampai. Pria itu tidak sendiri, ia membawa Adel bersamanya. Dava berencana membuat Adel memgikuti perlombaan.
Sebenarnya ia merasa tidak enak karena terus merepotkan Adel, tapi semua ini ia lakukan demi senyuman Theo. Theo meminta hal kecil seperti ini harusnya Dava bisa memberikannya.
Adel terkejut mendengar permintaan Dava tadi. Pria itu datang ke rumahnya Pagi-pagi dan mengatakan langsung maksudnya. Adel awalnya tampak ragu, tapi Dava menjelaskan bagaimana Theo ingin mengikuti perlombaan ini.
Adel belum mempersiapkan apa pun, tapi semua sudah ditangani oleh Dava. Ia meminta sopir membawa bahan-bahan untuk memasak. Ya, perlombaan kali ini adalah lomba memasak.
Dava tahu kalau Adel bisa memasak. Adel melihat ke sekeliling. Ada banyak wanita yang berpakaian bak sosialita kelas atas. Sedangkan dirinya memakai pakaian biasa.
Rasanya Adel seperti tersesat di antara orang-orang kaya. "Mereka seperti dari keluarga kerajaan, tapi aku seperti gembel," batin Adel yang khawatir jika ada yang mengejeknya. Bukan hanya ia saja yang malu, tapi Theo dan Dava akan terkena imbasnya.
"Tenang, Del. Semua pasti akan baik-baik saja. Mereka tidak akan mengolok-olokmu. Mereka akan berpikir dua kali untuk melakukannya."
Kebanyakan orang tua anak-anak di sekolah tersebut merupakan karyawan atau kolega Dava Jabatan yang diemban pun bukan hanya karyawan biasa.
Dava juga merupakan partner bisnis penting yang bisa mempengaruhi perusahaan. Jadi, mereka tidak akan macam-macam di depan.
Adel menghela napasnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Kedua orang itu pun menuju lokasi yang sudah ditentukan.
Theo langsung melihat Dava dan Adel. Senyum ceria pun terpancar. Bocah tersebut segera berlari menghampiri keduanya. "Daddy, Kakak Cantik."
"Maaf, Theo menunggu daddy lama."
Theo menggelengkan kepalanya. Ia tak masalah menunggu lebih lama, asalkan Dava datang. "Daddy beneran bisa membuat Theo ikut perlombaan?"
"Bisa dong," jawab Dava dengan percaya diri. "Nanti Kak Adel yang bantuin Theo."
Theo membulatkan matanya. Ia senang bukan main. Theo tersenyum lebar. "Beneran Kakak Cantik mau bantuin Theo lomba?"
Sudut bibir Adel tersungging. Ia mengangguk. "Iya. Kakak akan bantu Theo. Nanti, kita masak sama-sama ya."
"Horeeee." Theo melompat kegirangan. "Tapi emang boleh ya kalau Kakak Cantik ikut lomba? Kakak cantik kan bukan mommy Theo."
Adel tertegun mendengarnya. Ia juga baru sadar. Adel menatap wajah Dava begitu pun juga Theo. Keduanya sedang menunggu jawaban dari pria tersebut.
Sedangkan Dava memasang muka tenang, biasa saja. Beda halnya dengan Adel, dan Theo. Theo sudah merasa cemas jika tidak dibolehkan ikut.
"Daddy sudah bicara pada guru Theo kalau Kak Adel boleh ikut." Dava tersenyum.
Semalam, setelah selesai dari kamar Theo, Dava langsung menghubungi guru yang menjadi panitia lomba. Guru itu tentu memperbolehkan. Sang guru tahu kalau Theo sangat ingin ikut.
Hati gundah gulana Theo menjadi secerah mentari. Ia menggandeng tangan Adel. "Ayo Kakak Cantik kita ke sana."
Theo terus menarik tangan Adel. Hingga mau tak mau wanita itu mengikuti langkah Theo. Adel menjadi lebih gugup.
Pasalnya, ia berada di antara para peserta. Beberapa dari mereka terang-terangan menatapnya. Adel meneliti penampilannya.
"Semoga tidak ada yang salah dengan penampilanku," batinnya.
"Wah, Theo ikut lomba ya?" tanya salah-satu orang tua siswa.
Theo mengangguk dengan semangat. "Iya, Tante. Hari ini Theo mau masak sama Kakak Cantik." Adel merasa malu saat Theo memanggilnya dengan sebutan 'kakak cantik', ia bisa melihat wanita yang bertanya tadi mengerutkan kening.
"Nama saya Adel. Kebetulan saya mengenal Theo dan Theo meminta saya untuk ikut lomba."
Wanita tadi terlihat tidak percaya. Ia malah meneliti penampilan dan wajah Adel dengan saksama. Kemudian, wanita itu tersenyum. Ia menyenggol lengan Adel. "Benarkah? Hanya teman? Teman atau calon ibu baru bagi Theo?" Ia menaik turunkan alisnya, menjahili Adel.
Adel segera menggeleng. "Bb-bukan begitu, aku hanya teman, itu saja."
Adel sendiri pun tak yakin hubungannya dengan Dava bisa disebut teman atau tidak. Pasalnya, Adel merasa tak sedekat itu untuk bisa menjadi teman Dava. Namun, kalau Adel mengatakan ia dan Dava hanya orang asing yang baru kenal, akan aneh jadinya.
Senyum jahil masih terpasang di wajah wanita tadi. "Kalau lebih sekedar teman tidak apa-apa kok. Theo terlihat nyaman denganmu."
"Mohon perhatian para peserta, lomba akan segera di mulai. Jadi, bagi para peserta harap untuk segera berada di tempatnya masing-masing," ujar panitia lomba.
"Semoha berhasil," ujar wanita tadi pada Adel.
"Terima kasih. Kau juga."
Beberapa menit kemudian, sang panitia kembali berujar, "Lomba kali ini adalah membuat dessert. Waktu memasak dimulai dari sekarang."
Para peserta segera mempersiapkan bahan dan alat yang akan digunakan. Theo mengambilkan bahan dan alat yang diperlukan.
Kebetulan ia hafal dengan bahan serta benda yang ada di sini. Ia sering melihat Anita memasak dessert. Adel hendak memasak pudding pie ungu dan kebetulan sekali Theo sangat menyukainya.
Bocah itu melakukan intruksi yang diberikan Adel dengan sangat baik. Ia sama sekali tidak kerepotan atau mengeluh. Berbeda dengan kebanyakan peserta yang masih bingung dengan perintah ibu mereka.
Dava yang melihat dari kejauhan pun tersenyum samar. Di balik kacamata hitam yang dipakai, kedua matanya tampak memandang haru sang anak.
Theo terlihat begitu bersemangat. Anak itu bahkan selalu tersenyum begitu pun juga Adel.
"Mereka terlihat sangat serasi," batin Dava.
*****
Akhirnya makanan yanh dibuat Theo dan Adel pun sudah jadi. Mereka pun telah menaruh makanan itu ke dalam lemari pendingin yang ada di sana.
Ada beberapa peserta yang belum menyelesaikan masakannya. Terlihat mereka sedang terburu-buru. "Waktu tinggal tiga puluh detik lagi."
Tiga puluh detik kemudian.
Panitia meniup peluitnya. "Waktu sudah habis. Kami akan mencicipi hidangan kalian."
"Theo, ambilkan pudingnya."
"Siap Kakak Cantik." Theo segera pergi. Ia mengambil pelan-pelan puding buatannya dan Adel. Netra Theo menangkap sosok Angga yang berdiri bersama guru lain. Angga terlihat sedih. "Angga tidak ikut lomba?" tanyanya pada diri sendiri. The mengedikkan bahunya. Ia segera menuju ke tempatnya berada. "Ini Kakak Cantik."
Tak lama kemudian para panitia menghampiri tempat mereka. Mereka bertiga mencicipi makanan tersebut.
Salah seorang guru berkata, "Saya tidak melihat Anda sebelumnya."
"Saya diminta untuk ikut lomba agar Theo juga bisa mengikutinya."
"Ohh." Guru itu menganggukkan kepalanya.
Meski rasa ingin bertanya tentang siapa wanita di depannya ini begitu besar, tetap ia urungkan. Itu termasuk ranah privasi.