Theo, Adel, Dava, serta peserta lainnya tak sabar menunggu siapa pemenangnya. Adel lah yang paling waswas di antara Dava dan juga Theo. Pasalnya, ia akan merasa bersalah dan tak enak hati jika mereka tidak menang. Theo sudah berharap banyak tentang perlombaan tersebut.
"Semoga hasilnya tidak mengecewakan," batin Adel menyemangati diri sendiri.
"Perhatian untuk semua peserta lomba. Kami sudah mencicipi hidangan kalian semua. Makanan yang kalian buat sangat lezat. Kami bingung harus menentukan siapa juara satu, dua, dan tiganya. Kalau bisa, semua menjadi juaranya. Namun, ini adalah sebuah perlombaan. Ada yang berhasil ada yang tidak. Bagi yang tidak mendapat juara, jangan berkecil hati," ujar si panitia lomba tersebut. "Juara pertama dimenangkan oleh ... Mika." Mereka pun bertepuk tangan, tak terkecuali Adel dan Theo.
Ada rasa tak enak hati saat mereka dinyatakan tidak mendapat juara pertama. Adel menatap Theo. Anak itu sama sekali tak menampilkan raut wajah sedih.
Justru Theo tersenyum sembari bertepuk tangan dengan meriah. Adel yang melihatnya pun merasa bingung.
"Theo memang benar bahagia atau sedang menyembunyikan kesedihannya, ya?" tanya Adel dalam hati.
Mika dan ibunya pun naik ke atas panggung. Mereka menerima hadiah. Sebelum pergi, mereka sempat berfoto.
"Selamat sekali lagi untuk Mika dan ibunya dan sekarang untuk juara kedua dan ketiga. Juara kedua jatuh kepadaaaaaa ... Ika."
Adel bertepuk tangan dengan tanpa tenaga. Ia semakin merasa tak enak. Adel menatap Theo lagi. Theo benar-benar tidak sedih.
"Apa Theo tidak sedih?" batinnya lagi, bertanya-tanya.
"Untuk juara terakhir jatuh kepada ... Viko."
Untuk kali ini, Adel tak bisa bertepuk tangan. Ia sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. Adel menghela napas kasar. Helaan napas Adel didengar oleh Dava yang berdiri di samping Adel.
Dava melihat dengan jelas raut kekecewaan yang ditampilkan Adel. Dava kembali memfokuskan perhatiannya ke depan.
Para juara kedua dan ketiga sedang menaiki panggung. Wajah mereka tampak berseri-seri.
"Selamat untuk para pemenang. Bagi yang belum berhasil, jangan berkecil hati. Masakan kalian lezat." Sang panitia pun kembali ke tempatnya.
Adel menatap ketiga juara itu. Mereka sedang berfoto bersama. Banyak peserta yang memberi selamat pada ketiganya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Del. Ini hanya lomba. Menang kalah sudah hal baisa. Dibawa santai saja." Daav berusaha memberian sugesti positifnya. "Kau lihat wajah Theo, anak itu sama sekali tidak sedih atau pun kecewa. Lalu kenapa kau malah yang murung?"
Adel melihat sekali lagi pada Theo. Anak itu tersenyum menatap teman-temannya yang menang tadi. "Bagaimana kau tahu kalau Theo tidak sedih? Siapa tahu Theo menyembunyikan kesedihannya."
Kalimat Adel terdengar lucu di telinga Dava. "Theo adalah anakku, Del. Tentu aku tahu bagaimana putraku itu. Selain itu, Theo hanyalah anak kecil. Kebanyakan anak kecil tak bisa menyembuyikan kesedihan mereka, begitu pun dengan Theo. Jangan samakan anak kecil dengan orang dewasa seperti kita ini."
Theo menatap ke arah Adel. Anak itu menebak kalau Adel sedang sedih. Theo berkata, "Jangan sedih Kakak Cantik. Kata daddy, kalah itu hal biasa dalam perlombaan. Benar kan, Daddy?"
Dava mengangguk. "Benar," jawabnya. "Nah, sekarang kau bisa melihat dan mendengarkan apa yang baru saja Theo katakan? Dia sama sekali tidak sedih." Dava mengelus kepala Theo. Ia merasa bangga dengan kelapangan dada Theo. Anak itu benar-benar menyerap apa yang dikatakannya.
Meski apa yang dikatakan oleh Theo ada benarnya, tapi tetap saja rasa bersalah itu masih ada. "Theo beneran tidak sedih? Maksud Kakak, kita kalah. Kita bahkan tidak mendapat juara ketiga."
"Apa Kakak Cantik sedih karena kita kalah? Maaf ya Kakak Cantik, karena Theo kita tak menang." Melihat raut kesedihan yang tergambar jelas di wajah Adel, membuat Theo berpikir karena dialah keduanya kalah.
"Kenapa Theo menyalahkan diri Theo sendiri? Ini bukan kesalahan Theo. Ini kesalahan kakak. Seharusnya kakak memasak yang lebih baik lagi. Maaf, ya membuat Theo tidak mendapatkan hadiahnya. Kakak yakin Theo pasti menginginkannya."
"Theo memang ingin hadiah itu Kakak Cantik, tapi kalau Theo kalah, Theo tidak apa-apa kok. Theo masih merasa bahagia." Bocah itu tersenyum dengan tulusnya.
Sedangkan Adel sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Theo barusan. "Maksud Theo? Theo senang kalau kita kalah?"
Theo menggeleng. "Bukan karena itu Kakak Cantik. Theo senang karena bisa ikut lomba tahun ini. Tahun lalu, Theo tidak bisa ikut karena tidak punya mommy." Wajah anak itu kembali sedih. Namun, sedetik kemudian wajah Theo kembali berseri. Ia berkata, "Tapi tidak masalah kalau tahun lalu Theo tidak bisa ikut. Tahun ini Theo seneng banget bisa ikut." Theo lebih mendekat pada Adel. Anak itu memeluk Adel. "Terima kasih Kakak Cantik mau lomba bareng Theo."
Adel merasa bahagia saat Theo memeluknya. Adel berjongkok. "Sama-sama. Maaf kita tidak bisa menang."
Dava hampir saja meneteskan air mata melihat pemandangan di depannya. Namun, sebisa mungkin ia tahan air matanya.
Malu lah kalau ia ketahuan menangis. Untung saja Dava memakai kacamata hitam, jadi kedua netranya yang berkaca-kaca tidak terlihat.
"Ada gunanya juga aku memakai kacamata ini," batin Dava.
"Kalau sudah pelukannya, ayo kita pergi dari sini."
Para peserta dan guru lain telah meninggalkan area peelombaan. Hanya ada ketiganya dan juga beberapa orang ssja.
Theo melepas pelukannya. "Ke mana?"
"Daddy akan membelikan es krim, sebagai bentuk apresiasi karena telah berusaha dalam lomba tadi."
Menang atau pun tidak menang, Dava tetap akan memberikan hadiah pada Theo. Dava tak peduli apakah Theo menang atau tidak. Yang penting baginya adalah putranya tersebut telah berusaha sebisa mungkin dan Dava melihat kesungguhan itu tadi.
Theo mengangguk dengan semangatnya. "Ayo Daddy, Kakak Cantik, kita pergi. Hari ini di kantin, ada es krim varian baru. Theo ingin membelinya."
"Ok, kita ke sana. Let's go." Dava menggandeng tangan Theo.
Tubuh Dava berada di antara Theo dan Adel. Adel berjalan beriringan. Ia diam-diam tersenyum melihat keceriaan ayah dan anak tersebut.
*****
Kantin tersebut cukup ramai. Banyak orang tua dan anak mereka sedang bersama. Adel merasa aneh berada di situasi seperti ini, seakan dirinya sedang makan siang dengan suami dan anaknya.
"Apa yang kupikirkan? Dasar!" Adel berkata dalam hati.
"Daddy, di sini ramai."
"Memang."
"Daddy, carikan kita tempat duduk, ya. Nanti kita tidak kebagian tempat." Wajah Theo melihat ke sekitar. Ia melihat tempat duduk mulai terisi. Orang-orang semakin bertambah banyak. "Theo dan Kakak Cantik aja yang membelinya."
Dava juga melihat ke sekitar. Ia mengangguk. "Baiklah, daddy tunggu di sini saja." Kebetulan mereka bertiga berada di samping tempat duduk yang masih kosong.