Anita menatap Dava dengan padangan penuh selidik. Pasalnya, bukan lah hal yang biasa jika Dava datang ke rumahnya. Anita menatap dengan bersedekap dada.
Sedangkan Dava berusaha bersikap biasa saja. Ia yakin di dalam pikiran Anita penuh dengan pertanyaan dan Dava tak ingin mengatakan kebenarannya sekarang. Bisa-bisa ia disuruh memperkenalkan siapa Adel.
Hei, keduanya bahkan baru bertemu beberapa kali danitu pun karena Theo.
"Mommy terkejut melihatmu datang. Tidak biasanya anak mommy datang ke sini."
Dava menatap mata Anita sejenak. "Ayolah Mom, aku hanya ingin berkunjung. Itu saja. Apa salah seorang anak mengunjungi ibunya sendiri? Tidak ada kan?"
Tatapan Anita menyiratkan keraguan akan jawaban Dava. Ia tahu betul karakter Dava. Dava jarang berkunjung, justru ia yang harus berkunjung ke rumah putranya itu.
"Jangan coba berbohong Dava! Aku ini adalah ibumu. Aku tahu pasti ada sesuatu kan? Benar kan?"
Dengan cepat Dava menggeleng. "Tidak Mom. Aku sungguh ingin berkunjung. Aku mencoba menjadi anak yang baik." Ditatap penuh selidik membuat Dava mengalihkan pandangannya pada teh di depannya. Ia menyesap teh itu.
"Ya, baiklah, mommy percaya. Awas kalau ada udang di balik bakwan!" Anita juga ikut meminum tehnya. "Oiya, bagaimana kedaan cucuku? Apa dia sehat?"
"Dia sehat, Mom."
Anita meminum kembali teh itu hingga tandas. "Aku menyarankan untuk membawa Theo tinggal di sini. Maksud mommy, Theo bisa mendapat kasih sayang. Lagi pula, jarak sekolah ke sini tidak jauh."
Anita memang sangat ingin agar Theo tinggal di kediamannya. Ia merasa kesepian terlebih setelah suaminya meninggal. Rumah besar yang ditempati seakan sunyi walau banyak pelayan yang dipekerjakan.
Selain itu, Anita ingin Theo mendapat kasih sayang. Ya, meskipun bukan dari seorang ibu, tapi Anita juga seorang ibu, bukan? Tapi Dava tidak setuju.
"Mom, dari awal kita sudah membahasnya kalau Theo akan tinggal di rumahku. Aku ingin dekat dengan anakku."
Anita tak bisa membantah lebih lama lagi. Ia kemudian menemukan sebuah ide. "Bagaimana kalau mommy ikut tinggal bersamamu dan Theo? Saat kau ke kantor, Theo akan bermain bersamaku."
Dava yang sedang minum pun tersedak. Ia menatap Anita. "Ti---"
Ting tong.
Bunyi bel pintu terbuka. Baik Anita dsn Dava sama-sama melihat ke sumber suara. Anita mengernyitkan kening, memikirkan sispa yang bertamu.
Sedangkan Dava berpikir hal yang disetujui dengan pikiran dan hati. "Biar aku saja yang buka, Mom." Dava menebak pelaku pengetuk pintu ialah Adel. Ia sedikit merapikan rambut sebelum membuka pintu.
Namun, tebakannya salah, yang datang justru Maya. Harapannya pupus. Senyum tak sama seperti tadi.
Sedangkan Maya masih merasa grogi bertemu Dava. Bukan karena ia menyukai Dava, tapi bagi Maya, berhadapan dengan cogan merupakan hal sulit.
"Saya mengantarkan pesanan Anda." Ia menyerahkan buket bunga tersebut." Dava mengambilnya. Ia meneliti rangkaian bunga itu. Maya yang melihatnya lantas berkata, "Adel yang merangkainya. Dia tidak bisa datang karena ada urusan."
"Urusan? Urusan apa? Sepenting apa urusan itu?" Pertanyaan-pertanyaan Dava hanya bisa ia lontarkan di dalam hatinya. "Aku harap apa pun urusan itu, jangan sampai ia kencan atau jalan-jalan dengan pris lain. Meskipun itu temannya. Aku tidak rela!" ujarnya lagi dalam hati.
"Bunganya indah. Terina kasih karena telah mengantarkannya."
Maya mengangguk pelan. "Kalau begitu, saya permisi."
Dava menutup kembali pintu rumah. Ia menyerahkan benda itu pada Anita. Anita merasa bingung, pasalnya hari ini bukan lah hari spesial apa pun.
"Untuk mommy?"
"Iya. Terima lah. Aku memesan ini kemarin. Aku tak sengaja melihat bunga mawar merah. Pikiranku tertuju pada Mommy dan aku memutuskan untuk memesannya untuk Mommy."
Anita menerimanya dengan Gembira. "Ada apa ini Dav? Kenapa tiba-tiba kau bersikap seperti ini?"
"Tidak ada alasan. Aku hanya ingin memberikannya karena teringat Mommy."
*****
"Kakak Cantik."
Theo masuk ke dalam rumah Adel yang tidak terkunci. Anak itu mendengar sesuatu di depan sana. Ia mengikuti asal suara dan sampailah ia di dapur Adel.
Theo melihat Adel berkutat dengan peralatan yang ada di sana. "Kakak Cantik sedang apa?" tanyanya yang kian mendekat.
Adel sekarang tahu bahwa suara yang di dengarnya tadi bukan lah halusinasi atau semacamnya. Ia mematikan kompor. Setelah mencuci tangan, Adel menghampiri Theo. Adel mendudukkan Theo di kursi.
"Sedang apa Theo ke sini? Bersama siapa?"
"Theo datang dengan sopir Kakak Cantik."
"Sopir? Maksudnya, Theo tidak ditemani daddy Theo atau anggota keluarga lainnya?"
Theo mengangguk. "Iya. Theo tadi diantar pak sopir. Theo ingin bertemu dengan Kakak Cantik."
Adel terkejut kalau Theo hanya datang dengan diantar sopir. Ia khawatir terjadi apa-apa pada bocah itu di jalan. "Aduh, nih anak kenapa hobi sekali pergi tanpa ijin? Entar kalau aku disalahin bagaimana? Bisa gawat itu," ujarnya dalam hati.
"Kakak kan sudah bilang, jangan pergi diam-diam. Nanti kalau daddy Theo kebingungan, bagaimana?"
Mata Theo menatap pada netra Adel. Kedua netra bocah laki-laki itu berkaca-kaca. "Maaf, Theo salah Kakak Cantik." Satu air mata dan satu isakan pun keluar. "Tapi daddy tahu kalau Theo ingin ke sini, tt-tapi Theo belum bilang mau ke sini sekarang."
Ekspresi kesedihan yang ditampilkan Theo membuat Adel tak tega untuk memarahi anak itu lagi. Adel menghela napasya.
"Ayo ikut kakak. Kita ke depan." Adel menurunkan Theo dan menggandengnya hingga ke depan pintu. Namun, ia tak menemukan mobil di depan rumahnya. "Di mana sopirnya, Theo?"
Theo menggeleng. "Mungkin sudah pergi, Kakak Cantik."
Adel harus memutar otaknya. Ia ingin Theo segera pulang. Bukan apa-apa, hanya saja ia tak ingin jika Dava atau anggota keluarga lainnya mencari Theo. Adel berinisiatif untuk mengantar Theo, tapi ....
"Ayo kakak antar pulang Theo."
"Tapi Theo masih ingin di sini Kakak Cantik."
"Nanti Theo bisa ke sini lagi kok. Cuma daddy Theo harus tahu. Kasihan loh daddy Theo. Nanti dia sedih. Dia kira Theo hilang seperti waktu kita pertama kali bertemu." Adel mencoba membujuk Theo secepat yang ia bisa lakukan. "Besok kan Theo bisa datang ke tempat kakak. Tapi sekarang, kakak anter Theo pulang dulu. Mau kan?"
Theo terdiam. Ia sedang berpikir. Ia menatap Adel. "Theo mau pulang."
*****
Sekali lagi, Adel kagum dengan kediaman Dava yang besar nan mewah tersebut. Pagarnya saja seperti dirancang sedemikian rupa elegannya, apalagi rumah Dava.
Adel dan Theo tutun dari mobil. Tidak seperti pertama kali ia datang, kali ini ada satpam yang menjaga di depan gerbang.
"Theo masuk ya. Kakak pulang dulu."
Theo dengan cepat menggeleng dan segera memegang tangan Adel erat. "Kakak Cantik jangan pergi. Ayo masuk ke dalam. Theo takut daddy marah karena pergi tidak bilang. Kakak Cnatik ikut masuk ya, Theo mohon."
Dengan mengandalkan puppy eyes serta wajah imut, ia berhasil membuat Adel mengangguk. Adel merasa heran saat satpam yang menjaga itu langsung memperbolehkannya masuk tanya ditanya terlebih dahulu.
Biasanya, satpam akan bertanya ada keperluan apa lalu menghubungi majikannya. Setelah itu baru bisa diputuskan apakah Adel bisa masuk atau tidak.
Ada apa ini?