Dava benar-benar kehabisan ide untuk bisa mencari alasan bertemu dengan Adel. Sudah dua hari sejak ia melihat wanita itu di restoran, tapi sampai sekarang niat ingin berjumpa belum terlaksana.
Nasib-nasib.
"Bagaimana caranya supaya aku bisa ketemu sama Adel ya? Maksunya, kesannya natural. Biar dia tidak curiga kalau memang mau niat bertemu. Ayo berpikir Dav. Ayo berpikir!" Ia memerintah otaknya untuk segera berpikir.
Namun, belum ada jalan keluar. Memang Dava sangat pintar dalam hal mengurus bisnis, tapi soal wanita .... ya begitu lah.
"Otak ayolah berpikir, ayo berpikir."
Hingga beberapa menit pun berlalu, ia pun belum ada ide sama sekali. Dava mondar-mandir dari tadi tidak membantu. Akhirnya Dava duduk sembri menyenderkan kepalanya di kursi sambil memejamkan mata.
Tok tok tok.
Pintu ruangannya diketuk. Dava membuka mata. "Masuk." Sang sekeretaris masuk membawa sesuatu yang membuat dahi Dava mengeryit dan otaknya seketika berpikir keras. "Apa itu?" tanyanya.
Si sekretaris melihat ke arah sebuket bunga yang ia bawa. "Ada yang mengirimi Anda ini, Pak."
"Untukku?" tanya Dava sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Benar, Pak." Sang sekretaris menyodorkan benda itu pada Dava. Ya meski Dava masih bingung, tapi pria itu tetap menerimanya. "Kalau begitu, saya undur diri, Pak." Setelah kepergian orang tadi, Dava melihat buket bunga yang kini berpindah tangan padanya. Ia memutar benda itu. Di depan, ada secarik kertas.
Bukan kertas, semacan amplop kecil berwarna merah muda. Tangan Dava terulur untuk mengambilnya. Ia membalikkan benda itu.
"Tidak ada nama pengirimnya. Aneh sekali."
Meski tak jelas bunga itu, Dava tetap penasaran dan akhirnya membuka amplop itu. Ia mulai membaca isinya.
"Hai Dava. Aku mengirimkan bunga ini untukmu. Bagaimana? Apa kau suka? Aku harap kau suka karena aku yakin seleramu tinggi. Ya, bunga ini kupesan dari toko bunga langgananku yang tentunya sudah menembus pasar internasional. Aku memberikan bunga ini sebagai rasa sukaku padamu. Aku harap kita dapat berkencan lagi. See you soon, Dava."
Dava bukannya merasa tersanjung karena telah disukai wanita seperti Siska, ia justru merasa risi. Dava tipikal pria yang tak begitu suka dengan seorang wanita yang terlalu agresif seperti ini. Jatuhnya tidak tahu malu---menurut Dava.
"Kenapa wanita itu masih mengejar-ngejarku? Perasaan waktu itu aku bersikap biasa saja, bahkan cenderung cuek dan tidak peduli. Kenapa malah dia menyukaiku? Ini bagaimana ceritanya?"
Seketika Dava teringat perkataan Evan yang mengatakan kalau ada wanita-wanita yang menyukai tipe pria dingin dan cuek. Menurut Dava aneh, karena sebagian besar wanita pasti ingin diperhatikan dan diperlakukan manis oleh pasangannya.
Namun, setelah melihat tindakan Siska, ia berpikir kalau perkataan Evan memang benar adanya.
"Mengerikan." Dava langsung membuang bunga itu ke tempat sampah. Ia melihat ke arah benda yang baru saja dibuangnya.
*****
Dava berada tak jauh dari toko bunga Adel. Ia sengaja memarkirkan mobilnya di minimarket. Jujur saja, ia merasa aneh jika harus melakukan apa yang ada di otaknya sekarang.
Untuk melancarkan aksinya, ia pura-pura membeli beberapa barang di dalam mini market. Kan tak mungkin kalau Dava sekedar numpang parkir. Apalagi di sana ada tukang parkir. Pasti tukang parkir itu berpikir Dava hanya mencari tempat untuk parkir, ya walaupun itu memang benar.
Dava membuka pintu mobil---ia baru saja masuk mobil tadi setelah ke dalam mini market. Dava berjalan beberapa puluh meter sampai akhirnya ia sampai di toko bunga tersebut. Dava membuka pintu toko itu.
Maya yang melihat pelanggan masuk segera menghampiri. Wanita itu sempat terkejut begitu melihat pria yang masuk. Mulutnya bahkan sempat terbuka saking kagetnya.
Untung saja Maya segera menutup kembali. Hei, memang siapa yang tak lupa dengan wajah tampan nan rupawan pria di depannya ini.
Meski Maya melihat Dava di club yang penerangannya agak remang-remang, Maya tetap bisa mendeteksi wajah dan kadar tampan seseorang, termasuk Dava.
"Silakan masuk, Mas."
"Apa kau tahu di mana wanita yang bernama Adel?"
"Tunggu sebentar." Maya pergi ke arah belakang. Ia menepuk pundak Adel. "Del, ada cogan yang nyariin lo tuh."
Adel yang sedang menggunting pun tetap melanjutkan kegiatannya. "Siapa memangnya yang mencariku? Rangga? Suruh aja dia menemuiku nanti sore." Jawaban Adel terkesan tak peduli. Adel sedang bekerja dan ia harus fokus bukan?
"Bukan si Rangga."
"Terus, siapa?"
"Si hot daddy."
Gunting yang dipegang Adel terlepas dan jatuh ke meja. Mendengar kata 'hot daddy' pikirannya langsung tertuju pada sosok Dava.
Tanpa mengatakan apa pun pada Maya, Adel pun ke depan menemui Dava. Di depan pria itu, otak Adel seakan tidak bekerja. Ia diam sembari memandang manik mata tajam Dava.
Begitu pula Dava, ia telah menyusun serangkaian kata. Namun, saat berhadapan langsung, lidahnya terasa kelu.
"Ada yang bisa aku bantu?"
"Tidak ada," jawab Dava begitu saja. Dava langsung menyadari jawabannya. "Maksudku, aku ingin memesan bunga untuk ibuku."
"Ibumu suka bunga yang seperti apa?"
"Mawar. Terutama mawar merah. Dia sangat suka."
"Ikuti aku. Akan aku tunjukkan bunganya."
Dava mengikuti ke mana langkah kaki Adel. Ia melihat ke sekitar. Tak banyak pengunjung yang datang. Mereka menatap Dava untuk beberapa saat.
Ya, mereka terpesona hingga mengabaikan bunga-bunga cantik itu. Dava melihat berbagai warna bunga mawar. "Bunga di sini sangat indah dan terlihat segar."
Adel mengangguk. Ia tak heran jika pembeli memuji bunga-bunga itu dan Adel bersyukur karenanya. "Kami berkomitmen untuk selalu menitik beratkan pada kualitas, bukan kuantitas. Apa kau jadi membeli bunga? Maksudku, bunga yang berukuran apa?"
"Yang itu," tunjuk Dava pada bunga mawar merah yang berukuran sedang. "Aku mau yang itu, tapi bisa kau antarkan bunganya ke rumah ibuku?"
Adel mengeryitkan kening. Meski ada banyak pelanggan yang ingin diantar langsung ke rumah, tapi kalau Dava yang memintanya itu jadi hal yang berbeda.
"Yy-ya bisa. Kami akan mengantarkannya. Kirimkan saja alamatnya. Jika kau ingin request karangan bunganya seperti apa, bisa. Kau bisa kirimkan gambarnya pada kami."
"Akan aku kirimkan."
*****
"Payah, payah, payah." Dava memukul kepalanya pelan. Ia menyesal hanya bicara tentang karangan bunga pada Adel. Hatinya ingin mengajak wanita itu untuk makan bersama, tapi apa daya ... lidahnya kelu untuk mengatakannya. "Harusnya aku mengajaknya. Ah, dasar!" Dava kembali memukul kepalanya pelan.
"Daddy kenapa memukul kepala?" tanya Theo yang entah datang dari mana.
Dava menoleh. "Theo. Sejak kapan ada di sini?"
"Barusan. Aku melihat Daddy memukul kepala. Kata bu guru, itu tidak baik Daddy."
Dava tersenyum. Ia memangku Theo. "Anak daddy semakin pintar saja setiap harinya ya."
Theo mengangguk antusias. "Daddy belum menjawab pertanyaanku. Kenapa Daddy memukul kepala seperti tadi?" tanyanya. Theo jenis anak kecil yang tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya dijawab.
Dava cukup kesulitan menjawabnya. Ia sama sekali belum menyiapkan jawaban. "Oh, itu, kepala daddy gatal. Iya, gatal." Dava menggaruk dan memukul pelan kepalanya, berusaha meyakinkan Theo.
Theo menatap rambut Dava kemudian berkata, "Daddy punya kutu rambut, ya?"