•note: aku nggak akan pernah maksa kamu untuk akui aku, kalau kamu nggak mau, tapi tolong. Hargai keberadaan aku yang lagi berjuang dapatin kamu.
Hati Caca benar-benar hancur, gadis itu tak tahu harus bagaimana lagi bisa membuat Anka agar menyadari keberadaannya.
"Iya, Wen. Aku tahu, aku tolol dan bodoh memperjuangkan seseorang yang sama sekali nggak menginginkan aku," kekehnya kecil.
Galih, dan Kelvin dapat merasakan apa yang Caca rasakan. Tapi Anka? Pernahkah laki-laki itu berfikir untuk tidak melukai Caca terus-menerus.
"Rasa suka nggak bisa dipaksa bodoh!" ujar Anka ketus, kalimatnya sangat tajam dan menyakitkan hati.
Galih menyenggol cowok itu dengan siku tangannya, "jangan asal ngelantur babi! Lo kalau nggak suka bilang sama nyokap bokap atau nyokap bokap dia, supaya hubungan kalian berakhir!" tegurnya.
Anka mendengus lalu tertawa sinis, "gue udah berapa kali bilang, tapi dia!" tunjuknya pada Caca.
"Dia nggak mau memutuskan hubungan konyol ini, salah siapa?" lanjutnya kemudian bertanya.
Galih terdiam, matanya menatap Caca yang menunduk merasa bersalah. Sementara Wendy mendengus kesal, ditariknya tangan Caca untuk membawa sahabatnya itu pergi dari kantin.
"Gak Wen," gelengnya, dia masih menepis tangan Wendy yang terus berusaha menariknya.
"Keras kepala! Lo kenapa sih, Ca?! Dia tuh nggak banget! Ganteng iya tapi hati gak punya!" tunjuknya pada wajah tampan Anka yang datar melihatnya.
"Lo menarik banget sumpah, pokoknya Lo punya gue," ucap Anka tanpa disangka. Untuk kedua kalinya mereka kaget.
"Lo nggak usah gila anjing! Lo pikir Lo wah gitu di mata gue?! KAGAK!" balas Wendy sarkas dan tajam. Sementara Anka yang mendapat respon ketus seperti itu malah tertawa.
"Lo cantik, dan Lo juga menarik," pujinya.
Sakit hati, Caca sangat-sangat sakit hati mendengarnya. Caca tidak menyalahkan Wendy, sama sekali tidak. Tapi dia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi atau membuat Anka tertarik padanya.
"An, jangan ngelunjak, dan untuk Lo, Ca. Mending pergi aja dari pada Lo makin sakit hati sama Anka," ujar Kelvin menengahi.
Caca pasrah, gadis itu mengangguk menurut kemudian beranjak bersama Wendy dari kantin meninggalkan tiga laki-laki tersebut.
"Lo bodoh tau nggak, An! Lo nggak mikir gimana perasaannya dia?!" bentak Galih, dari tadi dia ingin tempeleng wajah Anka lalu mencabik-cabiknya sampai puas.
"Bodoh? Gue nggak bodoh!" kata Anka tidak terima.
"Terus apa? Tolol?" sambung Kelvin yang ternyata berpihak pada Caca.
"Lo itu suka sama Caca, tapi Lo nggak pernah sadarin!" lanjutnya.
Anka tertawa, seisi kantin yang mulai sepi itu membuatnya leluasa untuk berbicara.
"Suka? Lo pikir gue suka sama cewek kayak dia?" tanyanya sambil terkekeh, nampak sekali raut wajahnya yang menyindir serta meremehkan.
"Gue tahu dia memang bukan tipe Lo, tapi gue tahu rasa tertarik Lo sama dia mulai tumbuh!" tambah Galih, menjadi teman dekat selama bertahun-tahun sudah membuat Galih dan Kelvin peka akan apa yang di rasakan satu sama lain, jadi jangan heran atau jangan mengira jika mereka asal nebak dan bicara saja.
"Gue suka Wendy, temennya,"
Galih tak tahu harus bagaimana lagi, cowok itu menepuk jidatnya lalu mendengus kesal.
"Terserah Lo, dah An. Gue nggak mau lagi kasih tau lo, apapun yang Lo lakuin dan terjadi sama Lo, jangan minta pendapat lagi sama gue, gue muak!" katanya kemudian beranjak juga dari kursinya lalu pergi dari kantin itu.
Kini hanya ada Anka dan Kelvin saja, dua cowok itu hanya diam, tidak ada pembicaraan diantara mereka.
Sementara Caca yang di seret paksa oleh Wendy sampai ke belakang sekolah hanya bisa pasrah dan hampir saja terjatuh saat Wendy menyentakkan tangannya dan sedikit mendorongnya.
"Bodoh! Tolol! Bego! Lo kapan paham nya sih, Ca? Dia nggak suka sama Lo! Dia nggak mau Lo perjuangkan! Astaga Ya Tuhan..." Wendy mengacak-acak sedikit rambutnya.
"GUE HARUS GIMANA LAGI KASIH TAU LO?!" lanjutnya membentak Caca yang kenunduk di depannya itu.
Caca tersenyum tipis kemudian mendongak, "iya aku tahu, Wen. Tapi aku nggak bisa berhenti gitu aja,"
Terdiam, terbungkam dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Wendy memilih berbalik badan kemudian pergi meninggalkan Caca sendiri di belakang sekolah.
Caca memperhatikan punggung Wendy yang mulai menjauh dari pandangannya.
"Anka suka kamu, Wen. Apa aku harus mundur?" Caca tidak menyangka, ternyata orang yang dia sukai menyukai sahabatnya. Terkadang hidup memang rumit, di beri pilihan antara maju dan terus berjuang atau memilih mundur karena merasa tak ada lagi harapan.
Sampai pulang sekolah, Wendy masih belum menegur Caca. Gadis itu marah pada sahabatnya itu. Bagaimana tidak, pasalnya Caca tidak pernah mau mendengar sarannya.
Remaja berseragam SMA itu berjalan melewati setiap kelas di koridor. Dia membawa tas di punggungnya dengan bahu yang turun serta wajah yang cemberut. Tak ada lagi titik semangat sedikitpun untuk dirinya bisa ceria seperti tadi pagi.
"Woe jamet!" panggil seseorang dari arah belakang.
Dan saat Caca berbalik badan, dia melihat Doni yang tersenyum jahil padanya.
"Mau apa?" tanya Caca malas.
"Pulang lah, emang Lo doang yang mau pulang? Btw kok Lo nyaut sih gue panggil jamet?" kekehnya sengaja mengejek.
Caca menghela nafas, "aku lagi malas ribut, mending kamu pulang aja,"
Doni menggeleng cepat, "gue nggak mau pulang sebelum gangguin Lo!"
Ingin sekali Caca mengumpat kasar, tapi moodnya sedang tidak bagus. Jadi dia memilih diam saja dan mengabaikan laki-laki itu.
"Si anjing, WOE CA! TUNGGUIN ELAH!" teriak laki-laki tampan itu berlari mengejar Caca yang berjalan cepat di depannya.
"Gue tahu Lo habis di caci maki sama Anka, kan? Makanya jangan mengejar! Mending Lo jomblo aja udah!" cibirnya seraya merangkul Caca yang bodo amat dengan keberadaan laki-laki itu.
"Udah jelek, bodo plus tolol lagi Lo. Mana ada yang suka sama Lo," sungguh pujian yang sangat-sangat mengagumkan serta menyemangati untuk Caca menampol mulut cowok bermulut lemas di sampingnya itu.
"Bisa nggak kamu diam aja Doni? Aku malas denger bacotan kamu!"
Doni tertawa, "elah baperan amat, Lo? Kan gue cuma bercanda,"
Caca menepis tangan Doni yang merangkulnya lalu mendorong tubuh laki-laki itu menjauh.
"BERCANDA LO NGGAK LUCU!" bentaknya murka.
Bukannya merasa bersalah, Doni malah tertawa, "dih, bisa marah juga Lo?"
Sabar Ca, sabar... Orang seperti Doni ini orang gila. Dia bakal terus memancing amarah sampai benar-benar kita murka.
"Kamu pikir aku apa, nggak bisa marah?"
"Lo kan jelek, jadi nggak usah marah lah, marah cuma berlaku buat cewek cantik!" balas Doni, kurang ajar dan perlu di seleding memang otak dan mulutnya itu. Gender boleh LAKIK, tapi mulut LEMES!
Caca sudah tak sanggup, cewek itu menghela nafas kemudian mengabaikan lagi laki-laki yang tak tau diri itu.