•note: jangan sebut kawan atau teman kalau candaan di bawa perasaan.
"Kita di suruh kumpul ada apa ya bang?" tanya Galih, pasalnya laki-laki itu mau pulang cepat karena ada urusan keluarga nanti malam.
"Gak, cuma mau sampaikan ini aja sama kalian. Besok malam ada balapan yang giliran turun siapa?" tanyanya.
Anka mengangkat tangannya, "gue bang,"
"Gue kira yang turun besok malam Kelvin," kekeh Putra.
"Lo udah berapa kali balapan?" tanyanya lagi, masalahnya besok malam PASJI harus menang karena sangat-sangat mempertaruhkan harga diri geng.
Balapan besok malam adalah balapan bukan balapan iseng-iseng, balapan tersebut harus ada sesuatu yang di taruhkan, motor si pembalap lah yang akan jadi korbannya.
"5," jawab Anka singkat, tidak suka basa basi memang ya.
"Selama Lo balapan pernah kalah?"
Anka menggeleng.
"Orang kayak Anka mana pernah ngerasain kalah bang, kayak nggak pernah suruh dia balapan aja Lo bang, bang," sahut Galih menatap ketua nya itu malas, segitu tidak percaya nya kah dengan skill Anka balapan?
"Bukan gitu, gue takutnya Anka grogi, masalahnya ini balapan mempertaruhkan motor pembalap masing-masing,"
Apakah Anka keberatan? Oh tentu tidak, cowok berseragam SMA itu tidak pernah ada takut atau grogi jika berhadapan dengan musuhnya apalagi ini cuma sekedar balapan, kecil baginya.
"Tenang aja," jawabnya santai lalu mengeluarkan ponselnya yang berdering.
Galih mengintip dan ketika berhasil melihat siapa yang menelpon sahabatnya itu ia tersenyum menggoda.
"Ada yang nelpon tapi kok di lihatin aja ya?" sindir Galih sengaja.
Anka berdecak kemudian mematikan ponselnya kemudian menyimpannya kembali di saku.
"Segitu nggak pentingnya ya? Hadeh kalau gue jadi dia mah udah akit ati adek bang!" mungkin jika ada perlombaan drama dan akting tingkat kompleks, pasti Galih yang memang.
"Siapa Gal?" tanya Kevin cukup penasaran.
"Biasa lah," katanya sembari mengangkat kedua alisnya.
Kelvin yang paham mangut-mangut, "oh,"
"Oke! Besok malam sebelum jam 7 malam harus udah kumpul ke jalan biasa buat balap, sisanya yang udah gue tugaskan tadi jaga-jaga siapa tau ada polisi," jelas Putra sebagai ketua geng yang sangat bertanggungjawab dan menjunjung solidaritas setiap anggota geng nya.
Cukup lama ketiga cowok itu di sana, Galih bermain kartu dengan anak PASJI yang lain, sedangkan Kelvin merokok duduk menyendiri di sofa pojok dan sementara Anka bermain game di ponselnya.
Melihat hari sudah gelap, Anka beranjak dari duduknya dan memanggil kedua sahabatnya untuk segera pulang.
"Bang, kami pulang dulu, gass besok malam sebelum jam 7 kami udah stand by di sana," kata Galih dan diangguki oleh Putra yang masih asik bermain catur bersama sahabatnya, Rizky.
Ketiganya pulang menggunakan motor besar mereka, namun sebelum memakai helm, Kelvin memanggil Anka.
"Tadi Lo lihat Caca pulang jalan kaki kan?" tanyanya.
Anka menggeleng, kalaupun dia melihatnya, dia tidak akan pernah mau mengakuinya.
"Ck! Yakin gue Lo ada lihat!" decaknya.
"Nggak ada," Anka terus berbohong dan tidak mengakui hal itu, ya Anka akui dia melihat Caca pulang tadi tapi dia juga tidak akan pernah mau peduli.
"Terserah Lo deh, gue tahu Lo bohong," pasrah Kelvin kemudian memakai helmnya dan pergi menyusul Galih yang sudah duluan pulang karena harus buru-buru.
Anka melihat kepergian sahabatnya itu datar, apa yang penting dari pertanyaan cowok itu? Caca? Bahkan dalam hidupnya Caca tidak pernah masuk ke dalam list.
Tidak ingin berlama-lama, Anka memakai helmnya dan menghidupkan mesin motornya kemudian pergi dengan kuda besi itu dengan kecepatan tinggi.
Sementara seorang gadis duduk di pinggir trotoar jalan yang jalan rayanya sepi pengendara motor dan mobil. Gadis tersebut bingung dia berada di daerah mana dan dia juga masih menggunakan seragam sekolah lengkap berserta tas di punggungnya.
Helaan nafas kecil dia keluarkan, dari sore berjalan kaki tidak sampai-sampai juga di rumahnya.
Caca memeluk lututnya dan menunduk menatap sepatu yang dia kenakan.
"Aku mau pulang, tapi aku nggak tahu jalan pulang, bukan nggak tau sih, aku lupa," gumamnya merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya lupa jalan pulang padahal hampir tiap hari kesekolah.
Lupa itu manusiawi, tapi ini lupanya Caca kebangetan banget, jalan pulang ke rumah sendiri pun lupa, hadeh...
"Minta jemput papa aku takut ganggu karena papa ada meeting penting hari ini. Minta jemput mama juga sama, minta jemput pak supir nggak ada nomornya, kalaupun nomornya ada kuota aku habis setelah telpon Anka berkali-kali tadi. Mau isi uang jajan habis," malang sekali bukan nasib Caca, gadis itu tidak tahu harus berbuat apa selain duduk sendiri di sana dengan di temani oleh lampu jalanan yang redup.
"Susah banget ya An minta bantu kamu, aku lagi dalam keadaan susah An, aku bukan iseng atau jahil nelpon kamu tadi," cicitnya memandang aspal jalan yang hitam pekat serta kerikil yang cukup banyak di depannya.
"Aku kecil banget dan nggak penting banget ya buat kamu? Iya sih, kan yang penting buat kamu itu Nabila, aku mah apa daya atuh,"
Gadis itu terkekeh kecil, "bodoh banget aku, udah tahu hati kamu cuma buat Nabila bisa-bisanya aku paksa mama sama papa aku buat minta aku dijodohin sama kamu,"
Mentertawakan diri sendiri adalah keahlian Caca, ketika dia sendiri, dia akan merenungi setiap perbuatan yang telah dia lakukan. Dari segala semua perbuatan nekadnya, hanya satu yang dia sesali sampai saat ini. Yaitu meminta Anka dan dirinya di jodohkan, awalnya ia senang, tapi kelama-lamaan dia sadar jika perbuatan itu sangat-sangat menganggu Anka hingga membuat laki-laki itu tidak nyaman berada di dekatnya.
"Aku bingung, di satu sisi aku sayang banget sama kamu, aku mau kamu jadi milik aku satu-satunya. Iya aku tahu itu egois banget, tapi aku bakal nggak pernah rela kamu sama yang lain An,"
Apakah salah Caca menuntut cinta? Apakah salah dirinya mencoba berjuang ingin mendapatkan cintanya? Iya Caca memang salah, tapi tidak ada cara lain yang lebih efektif dari itu.
"Maaf An, maaf..." cicitnya.
Menyukai dan mencintai seseorang bukanlah sebuah kesalahan, itu hak setiap masing-masing manusia. Yang salah adalah melakukan sebuah dosa, jadi jangan pernah takut untuk jatuh cinta. Cinta nggak rumit, cuma dianya aja yang rumit dan sulit untuk di gapai.
Seorang laki-laki berseragam SMA baru saja sampai di rumahnya, setelah memarkirkan motornya di dalam garasi, dia melepaskan helmnya dan menyimpannya di atas tangki motornya lalu turun dan berlari cepat untuk segera masuk kedalam rumahnya yang sepertinya sepi tidak ada orang.
Saat baru ingin membuka pintu, pintu tersebut sudah di buka dari dalam terlebih dahulu oleh seseorang dan itu Saputra, papa dari Anka.
"Dari mana aja?" tanyanya seperti mengintrogasi.
"Kumpul," jawab Anka lalu masuk begitu saja melewati papanya itu.
"Papa nggak pernah ngajarin kamu tidak sopan terhadap orang tua Anka!"
Langkah cowok tinggi itu terhenti lalu dia berbalik badan. Senyuman miring dia sungging kan, "apa papa mengajarkan hal itu?" tanyanya kembali.