Chereads / My Older Secretary / Chapter 2 - Prolog

Chapter 2 - Prolog

"Selamat datang di Betamart." 

Suara sambutan menyapa begitu seorang wanita masuk ke dalam mini market tersebut. 

Tanpa basa-basi apalagi membalas ucapan selamat datang dari kasir Betamart, ia pun segera menuju ke rak tisu. Wanita itu mengambil satu pack besar tisu kering dan dua pak tisu basah.

Dia bersiap untuk membayar belanjaan menuju kasir.

"Ini mesinnya EDC-nya rusak ya, Mas?" Seorang pria terdengar sedang berdebat dengan kasir.

"Maaf. Tapi mesin EDC ini baik-baik saja. Sepertinya Mas yang salah memasukkan pin." Kasir tersebut menjelaskan sambil menunjuk pada mesin gesek untuk ATM.

"Ini tidak mungkin! Kenapa tidak kalian perbaiki mesin kalian? Pinku tidak mungkin salah!" gerutu pria itu.

Sang wanita pembeli tisu telah berdiri di belakang pria yang sedang berdebat dengan kasir. Ia pun melirik pada jam tangannya. "Gawat!" serunya. Dia melirik pada belanjaan pria itu yang tidak terlalu banyak, hanya beberapa botol kopi dingin dan segelas mini espresso dari mesin pembuat minuman.

"Biar saya yang bayar," ujar sang wanita sambil mengeluarkan kartu debit berwarna silver. "Berapa belanjaannya, Mas? Coba disatukan dengan milik saya!" ujar wanita itu sambil menyimpan tisu-tisu miliknya di meja kasir.

"Eh, eh, nggak usah!" Si pria merasa tak enak. 

"Sudah tak apa-apa, Dek! Makanya lain kali kalau mengambil kartu milik orang tua harus bilang dulu, biar tau kalau pin-nya tiba-tiba diganti," jawab wanita itu sambil tersenyum.

Si pria tersenyum kecut sambil melotot. Memang sih, dilihat dari sebelah manapun dia ini terlalu imut dan sangat muda dibanding si Mbak yang berpenampilan layaknya wanita eksekutif dewasa dan matang. Wajar jika si wanita memanggilnya adek.

Setelah menyelesaikan pembayaran, keduanya pun keluar minimarket. Wanita itu sudah tidak memedulikan lagi pria yang baru saja ditolongnya. Mereka melanjutkan perjalanan masing-masing.

"Eh, Ratu! Belum berangkat kerja?" Seorang ibu-ibu bertubuh agak bongsor tiba di minimarket begitu wanita itu baru saja keluar.

"Belum, Bu. Habis beli beberapa perlengkapan."

"Nggak ada yang jemput, nih?" Nada julid mulai terdengar.

"Aaa ... Eeem ...!" Wanita bernama Ratu itu bingung menjawabnya.

"Yah, kamu sih. Nggak dari dulu cari pacar. Jadi sekarang para laki-laki pada takut sama kamu," ujar bibir berpoles gincu merah milik ibu-ibu bongsor tanpa berdosa. "Kuliah udah tinggi, sampe pasca sarjana pula! Karir cemerlang, makin banyak yang minder laki-laki sama kamu!"

"Saya bukan tidak ada yang menjemput, Bu. Ta-tapi ...!" Ratu merasa kehabisan kata-kata. Ini bukan yang pertama kali dia mendapat nyinyiran dari para ibu-ibu bigos (Biang Gosip).

"Hai sayang, lagi ngobrol sama siapa?" Sebuah suara bas yang terhalang oleh helm mendekat pada kedua wanita itu.

"Sa-sa-sayang?" Ratu menengok pada pria berhelm merah tua itu dan malah semakin bingung, pria ini adalah anak muda yang ia tolong saat di depan kasir tadi.

"Ayo pulang!" Sang pria menarik tangan Ratu. "Mari, Bu!" pamit pria dengan kaus oblong itu sopan.

Si ibu-ibu melongo karena nyinyirannya gagal memanasi Ratu. Tapi otak kecilnya sepertinya menyimpan informasi lain untuk bahan bergunjing. 'Ratu sudah punya pacar' begitu kurang lebih isinya.

Saat tiba di parkiran, mereka menghampiri sebuah motor gede berwarna merah dengan jok 'nungging' yang kekinian. Kemudian pria itu memberikan helm satu lagi untuk Ratu dan tanpa banyak bertanya dia segera membonceng Ratu keluar minimarket.

"Kamu ... namanya Ratu ya?" tanya pria yang membonceng Ratu tiba-tiba saat dalam perjalanan. 

"Iya, kok tau, Dek?" 

"Kan, tadi denger dari si ibu-ibu yang ngobrol sama kamu!"

"Kamu nguping ya, Dek?" 

"Sedikit makanya bisa nolong, kamu. Hehe. Kamu mau ke mana? Aku mau ke kampus!" tanya pria itu berteriak agar suaranya tidak kalah dengan kebisingan jalan raya.

"Ke kampus? Udah kuliah emangnya?" Ratu nampak terkejut.

"Iya! Emangnya aku keliatan kayak masih seperti anak SMP?" gurau pria itu sambil melirik Ratu melalui pantulan kaca spion.

"Wah, maaf. Tapi memang badan kamu tinggi banget sih! Saya kira kamu masih SMA."

"Aku sudah sembilan belas tahun, jangan panggil adek makanya!" protes pria muda itu.

"Memangnya kamu mau dipanggil apa? Nggak salah kok saya panggil kamu adek, umur saya jelas lebih tua lima tahun dari kamu," ujar Ratu merasa bangga karena dirinya lebih dewasa dari pria yang memboncengnya.

"Panggil aja Harry!" 

"Harry! Ok, Dek Harry! Hahaha!" Ratu tertawa-tawa.

"Kamu sudah kutolong tapi ngelunjak, ya!"

"Haha, maaf! By the way, thanks ya! Udah mau boncengin aku!"

"Never mind! Oh ya, kamu mau ke mana, nih?"

"Saya mau ke Global Chem, kamu tau? Tapi kalau kamu mau ke kampus, turunkan saja saya di sini, biar saya mencari taksi!" 

"Global Chem? Perusahaan Kimia itu?"

"Iya."

"Kamu kerja di sana?"

"Iya, saya bersyukur bisa diterima di sana."

"Aku akan antar kamu ke sana."

"Nggak papa, nih?"

"Nggak masalah!"

Motor ninja berwarna merah itu pun melaju dengan gesit membelah jalanan.

"Susah nggak masuk ke Global Chem? Memangnya posisi kamu di sana apa?"

"Emm cukup susah. Tapi saya bersyukur karena saya baru saja diangkat menjadi sekretaris direktur pemasaran." Ratu merasa bangga akan posisi barunya yang baru saja ia jabat hari ini.

"Wah, posisi penting itu. Pasti direktur itu sangat beruntung punya sekretaris sebaik kamu."

"Haha, justru saya yang beruntung karena bos yang sekarang itu sahabat saya sendiri. Oh, ya! Kamu kuliahnya jurusan apa?"

"Aku kuliah di jurusan kimia analis!"

"Wah, nanti kamu daftar jadi praktisi analis di Global Chem aja! Cocok tuh! Saya pasti do'akan agar kamu diterima pokoknya, Dek!" 

"Hahaha, pasti itu! Aku nggak akan kerja di tempat lain kok, cuma Global Chem yang sanggup menggajiku!"

"Hahah, ada-ada saja! Nah, saya turun di depan saja!"

Tak terasa perjalanan mereka sudah sampai di perusahaan yang mereka tuju. Pria itu memarkirkan motornya di gerbang depan perusahaan.

"Maaf ya! Nggak bisa nganter ke dalam, malu, nih! Cuma pakai kaos." Harry terkekeh sambil mengangat sedikit kausnya.

"Nggak apa-apa, terima kasih sudah antar saya ya, Dek. Nih, saya bayar." Ratu hendak mengeluarkan selembar lima puluh ribu. 

"Aduh, nggak usah! Kan kamu tadi udah bantuin aku, anggap aja impas. Dan ... jangan panggil aku adek lagi dong!"

"Lho, kok gitu?" Ratu masih menyodorkan uangnya. "Terus memangnya kamu mau saya panggil Pak? Sudah simpan saja uang ini!"

"Kan aku udah bilang, yang sanggup menggaji aku cuma Global Chem. Jadi simpan aja ya uangnya, Ratu yang cantik!"

Ratu sedikit tersipu mendapat sebutan seperti itu. "Ya, udah kalo gitu. Makasi, ya!" Ratu berbalik dan hendak beranjak pergi.

"Hey!" panggil pria itu lagi. 

Ratu pun menoleh.

"Semoga betah kerja di Global Chem!" 

"Ok!" jawab Ratu.

Pria itu masih ada di tempatnya, memperhatikan kepergian Ratu yang semakin menjauh dari posisinya.

"Inget-inget namaku, Harry!" teriak pria itu lagi yang sudah tak terdengar oleh Ratu.  "Tunggu aku delapan tahun lagi, saat itu kau akan panggil aku dengan sebutan Pak Harry," ujarnya lirih sambil tersenyum dalam helm full face-nya.