Orang-orang berlalu-lalang dengan tergesa. Ekspresi penuh kekhawatiran tercetak jelas di wajah mereka. Lorong rumah sakit yang cukup ramai mereka lewati. Sebuah brankar yang berisi seorang pasien diiringi orang-orang tersebut. Bahkan ada yang hampir menangis melihatnya terbaring lemah di atas brankar menuju ruang rawat intensif.
Lorong dengan bau khas dan dominan berwana putih jadi terlihat asing meski sudah sering didatangi. Tetapi selalu terasa mencekam dan mendebarkan di sana. 5 remaja yang bersama seseorang dalam ruang khusus di ujung lorong rumah sakit, dengan pintu besi besar berwarna abu-abu dengan palang nama di atasnya yang bertuliskan "ICU" itu hanya dapat mendampingi hingga pintu masuk ruangan. Mereka menunggu kabar selama beberapa waktu dengan amat gelisah.
Seorang gadis diantara mereka bahkan menangis takut. Ia tidak yakin akan seperti apa penderitaan temannya tadi, tapi ia tahu betapa menakutkannya hal ini.
Melihat tangisan yang tak kunjung henti, seorang pemuda tinggi di sampingnya memeluk dengan erat. Berharap dekapan itu membuat sang gadis merasa lebih tenang.
Dadanya sesak sulit bernapas. Membayangkan kejadian yang menimpa temannya sekarang tidak bisa membuatnya mengatur ketenangan.
Pemuda dengan kulit kecoklatan menggigit bibir. Memilih terdiam mendengarkan semua rancauan penuh pilu si gadis. Sembari membisikkan, "Semua akan baik-baik saja. Kita ada bersamanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Berulang kali.
Dua pemuda dengan gadis lain di bangku tunggu dekatnya ikut menatap penuh iba. Laki-laki yang satu dengan rambut hitam dan sebuah anting di telinga kanannya—lagak seorang anak berandalan—mendecih.
"Kemana kekasih bodohnya itu sekarang? Bahkan di saat genting seperti ini dia tidak bersama kita!"
"Tidak perlu memikirkannya. Mungkin memberitahu kabar ini pun tidak perlu. Dia yang menyebabkan semuanya jadi seperti ini! Aish, benar-benar...!" Pemuda berkulit coklat yang memeluk seorang gadis tadi menyaut marah.
Gadis dengan wajah pucat dengan keseluruhan pakaian abu-abu mengangguk kecil. "Aku akan memberitahu keluarganya saja. Mereka pasti akan khawatir."
"Lalu, bukannya bocah itu juga akan khawatir? Apa tidak masalah tidak kita beritahu?" Pria bersurai pirang cat yang sejak tadi tampak tenang mulai bersuara.
Yang berambut hitam mendengus. Tangannya terlipat di depan dada dan tubuhnya disandarkan di belakang bangku tunggu dengan gaya angkuh. "Untuk apa merasa kasihan? Biar saja ia--,"
Belum sempat ucapannya selesai, seseorang yang datang mendekat dengan berlari kecil menarik perhatian mereka. Napasnya terengah karena lelah menempuh jalan yang jauh dari lokasi awal. Tapi bukan sambutan hangat, cacian dingin menghujaminya.
"Cih, kau baru datang sekarang? Sadar diri juga rupanya. Tapi tetap saja ini terlambat!" Ucap pemuda dengan gel rambut itu kesal.
"Untuk apa kamu datang? Bukankah selama ini pekerjaanmu lebih penting dari hal lain?" Gadis pendek dengan surai sedikit bergelombang panjang itu menatapnya dingin. Air matanya berhenti seketika saat melihat pemuda tampan di depannya. Tatapan dingin dan kesal menusuk dada.
"Seminggu kau menghilang tak ada kabar. Kupikir kau mati." Kata yang memeluknya.
"Aku..." Ia tidak tahu bagaimana untuk menjawab.
Sebenarnya ia ingin membantah. Pekerjaannya tidak amat penting dibanding sang gadis yang tengah dalam masa perawatan di dalam ruang perawatan itu. Ini bukan masalah pekerjaan. Ini bisa menjadi masalah besar atau hal sepele, tergantung sudut pandang temannya. Ia ingin sekali mengutarakan alasan sebenarnya agar tidak terjadi kesalah pahaman lagi.
Tetapi apa daya, lidahnya keluh. Suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat yang ingin diucapkan menguap seketika melayang di udara. Tak ada yang bisa ia sampaikan lagi. Pandangannya menunduk penuh sesal dengan dada yang tercubit sakit. Sangat payah.
Dalam ketegangan itu, pintu besi yang di dalamnya sedang melakukan perawatan teman mereka terbuka. Seorang dokter keluar dari ruangan ICU. Tampak seperti wanita paruh baya yang berwajah penuh bijaksana dan kecerdasan. Ekspresinya hangat dan serius di saat yang sama.
Wanita dewasa itu memanggil seorang yang berada cukup dekat dengannya.
"Kerabat atau teman Pasien?"
Dengan cepat gadis dengan hoodie abu-abu yang di dekatnya berdiri dan mengangguk. Tangannya tak sadar masih bertautan dengan milik pemuda bersurai pirang di belakangnya, gugup. "Ya, saya temannya."
Dokter spesialis itu mengangguk paham. Ia tersenyum kecil sebelum bibirnya menyampaikan beberapa patah kata yang membuat hati keenam remaja di ruang tunggu itu berdebar cemas.
Selama dokter berbicara, entah mengapa pikiran pemuda yang baru tiba tadi melayang kemana-mana. Rasa kacau dan hampa di tempat seperti ini terasa familiar. Ingatan lama melayang di atas kepala. Ia tahu hal ini pernah terjadi sebelumnya. Hampir sama persis. Dengan sosok pasien yang sama.
Perasaan menyesal merantainya. Bahkan ketika sang dokter selesai dengan informasi kondisi pasien dan berlalu pergi, ia tidak bisa merasa baik-baik saja.
"Lihat, aku berani bertaruh, kamu bahkan tidak mendengarkan apa yang Dokter bicarakan tadi!"
Seseorang mengintrupsi.
Pemuda itu mendongak menatapnya. Gadis yang paling pendek berkacak pinggang menatapnya. Satu tangan menunjuk tak sopan ke wajah lawan bicara.
Tetapi lelaki dengan surai coklat keemasan tak mengubris. Wajah tampannya begitu berantakan. Tersenyum pun enggan. Ia hanya dapat mendesah lelah. Mengelak tak bisa, gadis itu benar adanya.
"Maaf," Sepatah kata yang nyaris tak terdengar itu saja yang bisa ia lontarkan.
Lorong tunggu yang sepi kembali hening. Tak ada satu pun yang berniat memulai pembicaraan. Kepalang lelah dan malas mengurus hal yang telah terjadi.
"... Sebenarnya aku ingin sekali menghajar wajahmu sekarang. Tapi aku bukan lagi tipe orang yang akan melakukannya hanya karena keinginan." Pemuda yang paling tinggi berdiri dari bangkunya, tapi tidak bergerak dari tempat.
"Maaf," Lagi. Ia merasa harus meminta maaf entah apalagi kesalahannya.
"Kau ini....! Hah. Terserah."
Yang bersurai pirang tersenyum kecil, nyaris terkikik. Ia ikut berdiri dari duduknya.
"Kau sangat bijak, Kak! Hei, apa benar kau ini Kakakku yang temperamental?" Candanya.
"Hentikan omong kosongmu. Panggilanmu itu terdengar menjijikan!" Dengusnya kesal.
Sang adik tersenyum kecil, tetapi matanya tak memancarkan kesenangan. Ia menatap pemuda dengan surai coklat keemasan dengan wajah dan senyum dingin.
"Cepat masuk. Tuan Putrimu di dalam dan ia membutuhkanmu, Pangeran Bodoh." Tangan menepuk pundaknya, lalu sedikit mencengkramnya.
Belum sempat dia memahami situasi, tubunya sudah terdorong masuk ke dalam ruangan.
"Untuk kali ini, aku membiarkanmu!" Gadis dengan wajah seputih salju menatap enggan. Ia melenggang pergi menjauhi ruangan diikuti remaja lainnya.
"Jika ada masalah baru yang terjadi, aku tidak segan-segan membunuhmu." Ucapan ringan dengan maksud yang serius. Pemuda dengan kulit tan yang berdampingan dengan gadis bertubuh pendek menatap tak senang ke arahnya sebelum ikut pergi menjauhi ruangan.
Pemuda tampan dengan wajah kaku itu terdiam di depan ruangan ICU. Perawat dan Dokter telah pergi beberapa saat yang lalu. Menyisakan sang pasien yang terbaring di ranjang rawat dengan dirinya seorang.
Dalam 15 menit kedepan ia tak bergerak sama sekali. Bernapas pun terasa sulit ketika ia melihat betapa lemah dan rapunya gadis yang terbaring itu. Tatapan sang gadis ke arahnya. Ia sudah sadar dalam beberapa menit lalu.
Pada akhirnya, agak ragu ia berjalan mendekati ranjang rawat dengan tergesa. Tubuhnya menunduk dengan tumpuan kaki yang lemah. Kedua tangannya menggenggam erat telapak tangan sang gadis yang lembut dengan kuat.
"Maaf, maafkan aku...!"