Nora berjalan memasuki kamar milik Aldrich setelah tadi para pelayan memberi tahunya jika pria itu memanggilnya.
Senyum manis terus saja terpantri di bibir indahnya. Ia benar-benar senang hari ini, bagaimana tidak? Ini pertama kalinya bagi Aldrich memanggilnya dan saat ini gadis itu benar-benar penasaran dengan apa yang di katakan oleh Aldrich.
Apa hubungan mereka akan kembali seperti semula?
Nora menghentikan langkahnya ketika melihat Aldrich yang kini sedang menggeret sebuah koper di hadapannya.
"K-au ingin kemana?" tanya Nora dengan terbata-bata. Senyum yang menghiasi bibirnya langsung saja memudar di gantikan dengan kernyitan yang tergambar jelas di keningnya.
"Pergi," singkatnya.
"K-emana?" tanya Nora dengan terbata-bata, gadis itu terus saja memperhatikan Aldrich yang kini sedang berjongkok pelan di lantai untuk membuka kopernya.
"Kau tidak perlu tau, kau siapkan semua pakaianku ke dalam koper!" titah Aldrich dan mulai berjalan menuju lemari pakaian miliknya, mengambil setelan jas beserta celana bahannya juga tidak lupa untuk menggunakan dasi.
Nora tersenyum miris, gadis itu berjalan mendekati koper milik Aldrich dan mulai mengisi beberapa pakaian untuk pria itu, dalam hati ia terus bertanya, berapa lama Aldrich akan pergi sampai-sampai pria itu membawa koper sebesar ini.
"Aku akan pergi ke Italy, perusahaan di sana sedang mengalami masalah," gumam Aldrich di sela-sela ia mengancingkan kemeja yang sedang di gunakannya.
"Berapa lama kau akan tinggal di sana?" tanya Nora sedikit sedih karena Aldrich akan pergi ke luar negeri, bukan keluar hanya kota. Yang artinya jarak keberadaan mereka benar-benar jauh.
"Aku tidak tau, mungkin sekitar satu bulan."
Nora terdiam bungkam, tidak mampu berkata-kata lagi, bukankah satu bulan itu adalah waktu yang cukup lama bagi pria yang meninggalkan seorang istri di mansion seoranv diri?
"Setiap Minggu aku akan mentransfer uang ke dalam rekeningmu seperti biasanya, tidak perlu khawatir."
Nora masih terdiam melamun, bukan itu yang dia inginkan. Nora menghela napas panjang, ini pertama kalinya bagi mereka berbicara panjang meski pada akhirnya pembicaraan ini sungguh menyakiti hati Nora.
Tidak apa Aldrich mengabaikan dirinya asal Nora bisa melihat wajahnya setiap hari cukup membuatnya sedikit bahagia.
Selesai dengan pekerjaannya yang sedang menata beberapa pakaian milik suaminya di dalam koper, kini gadis itu langsung beridiri dari duduknya setelah sebelumnya sudah menutup ransel kopernya.
Nora berjalan mendekati Aldrich yang sedang memasang sepatu pantofel hitam mengkilap, menggantikan tangannya untuk memasang sepatu pria itu.
"Kemarin mom dan dad menanyakan keberadaanmu. Dan mereka memintaku untuk membawamu jika berkunjung lagi."
"Kemarin aku berkunjung ke mansion mom dan daddy karena mereka terus memaksaku untuk datang," akunya lagi yang sama sekali tidak di gubris oleh Aldrich yang sedang memainkan ponsel di tangannya.
"Hallo," sapa seorang wanita di seberang sana. Nora bisa mendengarnya karena kini Aldrich sudah menghidupkan loud speaker panggilan itu.
"Kau sudah menyiapkan tiket pesawatku?" tanya Aldrich terlihat tidak ingin berbasa-basi lagi.
"Sudah Pa, pemberangkatannya akan di mulai tiga puluh menit lag-"
Tut Tut Tut!
Belum sempat wanita yang ada di seberang sana selesai untuk berbicara, Aldrich malah sudah lebih dulu mematikan ponselnya.
Setelah kedua sepatunya sudah terpasang sempurna, Aldrich langsung berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Nora yang sedari tadi terus berjongkok untuk memasang sepatu milik suaminya.
"Aku pergi sekarang," perkataan Aldrich yang menggumamkan kata pamit untuk yang pertama kalinya membuat kedua sudut bibir Nora terangkat ke atas, gadis itu pun menganggukkan kepalanya mendengar perkataan Aldrich yang kembali acuh padanya hingga pada akhirnya senyum itu tiba-tiba saja pudar ketika mendengar perkataan Aldrich selanjutnya.
"Cepat, ambil koperku dan bawa keluar," titah Aldrich dan segera berlalu dari hadapan gadis yang terus saja terdiam mematung memperhatikannya setelah mengucapkan kalimat itu.
"Jangan melamun terus!" Aldrich berlalu dari hadapan Nora dan menyentil keningnya membuat Nora sedikit kesakitan.
Gadis itu menatap punggung Aldrich yang sudah berlalu dari kamar. Ia menunduk kecil dan menatap koper yang ada di hadapannya, menggeret dengan susah payah hingga sampai ke lantai dasar.
Nora menarik koper itu menuju pekarangan mansion tempat mobil Aldrich berada. Saat sampai di sana, Nora bisa melihat Aldrich yang kini sedang berdiri di sebelah mobilnya dengan kedua tangan yang bersidekap dada dan kaca mata hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya, benar-benar sangat tampan, pria itu sesekali melirik jam yang ada di tangannya. Nora yang sedari tadi menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dari pahatan wajah Aldrich membuatnya tanpa sadar tersenyum tipis.
"Kenapa kau sangat lama sekali?!" Aldrich berkata dengan nada sinisnya, pria itu meraih dengan kasar koper yang masih di pegang oleh Nora dan meletakkan kopernya di dalam bagasi mobil.
Nora memperhatikan punggung kekar Aldrich yang di balut dengan jas berwarna hitam, pria itu sedang menekan remot control mobil agar bagasi mobilnya bisa tertutup.
Saat Aldrich hendak berjalan memasuki mobilnya, Nora bergerak cepat, gadis itu mendekati Aldrich dan memeluk erat punggung suaminya itu, melingkarkan kedua tangannya pada perut Aldrich, memeluk erat pria itu dari belakang.
Aldrich yang mendapat serangan tiba-tiba dari Nora menghentikan langkahnya, pria itu menatap lurus ke depan sebelum akhirnya menunduk kecil, tatapannya kini terpaku pada sepasang tangan mungil istrinya yang melingkar erat di perutnya. Di sana, masih terdapat sebuah cincin pernikahan yang tersemat di jari manis Nora, padahal cincin milik Aldrich sudah hilang entah kemana, pria itu sudah melepasnya agar media tidak tau jika ia sudah menikah dan bebas bermain dengan perempuan manapun yang ia mau.
Pernikahan Aldrich dan Nora memang di selenggarakan secara tertutup di dalam ruangan, Aldrich hanya mengundang sahabat dan beberapa kerabat dekatnya tanpa di buntuti kamera dan kolega bisnisnya. Dan semua itu atas permintaan Aldrich sendiri. Bahkan ia sudah menolak mentah-mentah permintaan Ibu mertua dan Ibunya sendiri yang meminta agar dekorasi pesta pernikahannya di buat semewah mungkin.
"Aldrich, aku pasti akan merindukanmu," gumam Nora dengan suara lirih. Gadis itu semakin memeluk erat Aldrich dan menyandarkan kepalanya di punggung suaminya, memeluk pria itu dengan erat peduli dengan konsekuensinya jika Aldrich bisa saja memukul, menampar, menghinanya ataupun marah padanya. Nora menghirup aroma maskulin milik Aldrich dalam-dalam, aroma ini adalah aroma yang akan di rindukannya beberapa Minggu ke depan.
Jika para jalang itu bisa bersetubuh dengan suaminya, kenapa ia yang bahkan adalah istri sah-nya tidak bisa memeluk suaminya?
Sesaat Aldrich masih terpaku, hingga kesadarannya mulai pulih tangan pria itu dengan cepat melepas kasar kedua tangannya Nora yang melingkar erat di perutnya hingga membuat gadis itu terdorong kebelakang di iringi dengan ringisan kecil yang keluar dari bibir mungilnya ketika Aldrich tanpa sengaja menepis tangannya yang terkena luka bakar.
Mata Nora berkaca-kaca, bibir mungilnya bergetar.
"Dasar cengeng!" perkataan Aldrich membuat Nora mendongak, gadis itu mengatur pernapasannya agar air matanya tidak keluar lagi.
"A-ku tidak menangis lagi," akunya jujur tanpa berani menatap ke arah Aldrich, gadis itu memainkan jari-jarinya tangannya, mulai bersiap mendengar makian Aldrich padanya namun ia kembali mengangkat wajahnya ketika mendengar suara dari mesin mobil yang berlalu cepat meninggalkan mansion.
Nora tersenyum samar melihat mobil Aldrich yang kini mulai menghilang di telan jarak.
Sampai sekarang gadis itu terus bersyukur karena sampai saat ini Aldrich belum meminta cerai padanya.