"Aku tidak boleh ember, mulutku harus ku jaga. Jangan sampai rahasia Arvin bocor. Sebaiknya aku harus memantau semuanya secara diam-diam, semoga saja Arvin tidak memiliki rencana buruk pada gadis itu." Ansel asyik bermonolog sendiri dalam hati, hingga tidak sadar sedari tadi Erina mengajaknya bicara tanpa direspon.
"Ansel!" tegur Erina sembari menepuk pundak pria yang tengah bengong entah apa yang sedang ada di pikirannya.
"Eh, Tante! Maaf-maaf Tan, Ansel gak konsen," ucapnya tergagap.
"Tidak apa-apa. Kamu kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu saat ini?" Tanya Erina.
"Bukan apa-apa Tante, tidak penting juga kok." Memberikan senyum terbaiknya, agar Erina tidak menaruh curiga dengan segala pertanyaan yang bisa membuatnya tersudut.
"Yakin?" tuh kan, tetep saja Erina sedikit curiga.
"Enggak Tante…, yakin seratus persen!"cengiran dia perlihatkan.
"Baiklah, bagaimana kabar Mamamu?" betah sekali dia tinggal di sana? Kapan Dina kembali ke Indonesia? Sungguh aku merindukannya." Setetes air mata mengalir bebas tanpa hambatan, Erina menghapus air mata cepat sebelum Ansel melihat kerapuhannya. Tapi terlambat, pemuda itu sudah terlanjur melihat cairan bening tersebut.
Ansel memahami bagaimana rindunya Erina kepada sang adik ipar. Dari dulu hingga sekarang memang Dina sang Mama lah saudara dari Papanya Arvin yang sangat dekat dengan Erina. Jadi tidak salah jika rindu merajai hati Erina karena sudah bertahun-tahun mereka tidak berjumpa.
"Mama sangat baik, Tan? Mama juga sangat merindukan Tante, katanya Tante diminta berkunjung ke Yaman." Erina mengembangkan senyum bahagia.
"Tentu saja Nak, Tante akan berkunjung ke Yaman menemui Mama mu setelah memastikan jika rumah tangga yang dibina oleh Arvin Alara berjalan sesuai keinginan saya. Ke depannya saya berharap mereka berdua bisa menerima satu sama lain. Jadi saya bisa tenang meninggalkan keduanya." Ansel hanya mengangguk-angguk. Perbincangan pun berlanjut dengan canda tawa dan mengenang masa silam yang membahagiakan.
Arvin masih menatap wanita yang bergelar sebagai istrinya itu penuh kebencian dan dendam, "Aku akan membuatmu menderita Alara! Kamu salah sudah memasuki kehidupanku dengan cara licik, gadis bodoh. Lihat saja apa yang akan terjadi kedepannya! Kamu akan menyesal karena sudah membuatku menikahimu!"
Merasa ada yang memperhatikan, Alara menoleh dimana Arvin sedang menatapnya tajam. Sepersekian detik setelah pandangan keduanya bertemu, Arvin dengan cepat merubah mimik wajah yang dingin dan menakutkan menjadi lembut nan penuh cinta.
Alara sempet merasa aneh, jelas dia tadi melihat ekspresi berbeda kala dia baru memalingkan wajahnya dan bersitatap sejenak. "Ada apa sebenarnya? Kenapa raut muka Mas Arvin cepat berubah?" pertanyaan itu berputar di dalam otaknya. Melihat suaminya berjalan mendekat, Alara pun tak kalah dengan Arvin memasang wajah semanis mungkin agar tidak membuat Arvin curiga mengenai pemikiran-pemikiran yang berkumpul diisi kepalanya saat ini.
"Apa ada masalah, Mas?" Tanyanya hati-hati.
"Tidak ada. Hanya masalah kerjaan biasa. Oya, aku keluar sebentar, ya! Karena ada hal penting yang harus aku urus. Kamu ingin titip sesuatu?" Alara menggeleng lemah, sebenarnya ingin sekali dia menikmati kebersamaannya dengan Arvin. Walaupun tidak dengan hal yang intim, setidaknya dengan banyak bercerita dan bertukar pikiran. Berbagi pengalaman, bersenda gurau layaknya pasangan normal lainnya. Tapi apa daya, dia tidak bisa mencegah Arvin. Meskipun diperbolehkan, namun dia hanya ingin membuat sang suami nyaman hidup bersamanya. Dengan tidak banyak menuntut mungkin bisa membuat Arvin bisa menerimanya secara tulus, dan doanya akan segera terkabul. Yaitu, Arvin Mahaprana bisa mencintai Alara Fredela.
"Iya, Mas! Tidak apa-apa, selesaikan saja dulu urusan Mas. Aku menunggumu di jam makan malam ya!" Arvin mengelus puncak kepala istrinya lembut. "Pasti, kamu bisa menungguku untuk makan malam berdua." Alara ingin membalas perkataan Arvin, namun belum sempet mengeluarkan suara Arvin sudah lebih dulu beranjak dari duduknya dan pergi tanpa menoleh kebelakang.
Ada rasa sedikit kecewa sih, tapi Alara berusaha legowo. "Tidak, aku harus mengerti kemauan suamiku. Aku tidak boleh menjadi istri yang egois untuknya." Diambilnya gawai yang berada di atas meja. Tangannya lihai mengotak atik layar pada benda pipih itu. Sengaja dia mencoba peruntungan dengan mengetik nama suaminya pada salah satu social media di Facebook dan Instagram.
Dia memang belum mengenal banyak tentang suaminya, maka dari itu dia mencoba untuk mencari tahu sendiri seperti apa sosok Arvin. Bagaimana teman-temannya, dan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Arvin selama berada jauh dari ibunya. Setelah mengetik nama Arvin Mahaprana, terpampanglah beberapa gambar dan video yang dibuat selama masih kuliah hingga membangun usaha sendiri. Alara semakin terkagum dengan sosok tersebut. Pasalnya, Arvin memiliki begitu banyak teman baik pria maupun wanita.
Dari puluhan foto dan video tersebut, mata Alara menyipit kala melihat seorang gadis yang sangat cantik bak model Internasional. Wajahnya yang oriental, serta tinggi badan yang semampai membuat Alara sedikit iri dan minder. Hanya perempuan itu yang tidak pernah ketinggalan dalam pada setiap jepretan kamera Arvin. Hampir kebanyakan dalam foto itu, Arvin tengah memeluknya posesif. Terbesit rasa cemburu dalam hatinya. "Apa hubungan mas Arvin dengan perempuan ini?" keningnya berkerut, "Apa iya dia pacarnya? Tapi kurasa tidak mungkin, secara dia bilang jika dirinya impoten. Jadi bisa saja dia hanya sahabat kan?" Tanyanya sendiri.
Rasa curiga memang masih bersemayam dalam benaknya, susah payah dia pun mencoba mengendalikan diri agar tidak mengikuti kata hati dan mata akibat pemandangan yang baru saja dia lihat. "Lebih baik aku menghubungi Mama saja, kangen juga tidak mendengar kabar Mama." Gumamnya.
Sementara Arvin sudah sampai disebuah cafe favoritnya. Meneguk mochalatte secara perlahan, netranya tertuju kearah pintu cafe menanti kedatangan seseorang. Dalam waktu lima menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga.
"Sorry bro, lama tadi kena macet." Sebuah benda yang melingkar di pergelangan menunjukkan bahwa dirinya baru terlambat lima menit saja.
Setelah Ansel menelisik angka pada jam tangannya, dia pun tersenyum. "Nih, gak sampai sepuluh menit aku terlambat, jadi masih di tolelirkan?" Tanyanya dengan cengiran. Arvin hanya bisa menyebikkan bibirnya, malas menanggapi kekonyolan sang sepupu.
"Ada apa lagi kamu memanggilku? Pengantin baru bukannya liburan kek, honeymoon kek! Ini malah ngajak sang bujang ngopi," gerutu Ansel lagi.
"Ya udah, sana pergi!" Usir Arvin jengkel sama ucapan Ansel. Rasanya dia ingin membanting semua yang ada di dekatnya mendengar kata honeymoon, beruntung dia masih bisa mengendalikan sikapnya.
"Sewot amat sih bro! Tenang bro jangan marah-marah terus, hilang nanti gantengnya dan Alara bisa berpaling!" Goda Ansel lagi.
"Bisa diem gak lo!" Bukannya merasa bersalah, Ansel semakin gencar meledek sahabatnya itu.