Shin Rawnie terdiam di tempat duduknya sambil tertunduk dengan terus memegangi perutnya, tidak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya air mata yang mewakili perasaan sedihnya saat ini saat mengetahui jika Tuan Rainer Diedrich telah mengambil keputusan untuk menikahkan dirinya dengan Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya saat ini. Bahkan hanya untuk mengatakan jika ia mencintai pria lain pun sudah tidak mampu ia utarakan lagi kepada sang Ayah yang sudah final dengan keputusannya.
Perlahan Shin Rawnie mengusap air matanya dan kembali menatap sang Ayah juga Chenoa Rajendra secara bergantian.
"Baiklah.." Ucap Shin Rawnie singkat dan langsung beranjak dari duduknya, meninggalkan Tuan Rainer Diedrich dan Chenoa Rajendra yang masih di sana dengan pikiran mereka masing-masing.
Untuk sesaat Tuan Rainer Diedrich menarik nafas panjang, dan mencoba untuk mengerti situasi dan perasaan puterinya saat ini.
"Saya akan mengurus segala sesuatunya, mungkin pernikahan ini akan di adakan secara tertutup tampa di ketahui oleh media." Ucap Tuan Rainer Diedrich yang hanya di balas anggukkan pelan oleh Chenoa Rajendra. Ia yang sudah memahami maksud dari pemikiran Tuan Rainer Diedrich hanya bisa menurut. Dan tidak bisa ia pungkiri, pernikahan yang tidak pernah ia pikirkan sedikitpun dalam pikirannya cukup mebuatnya gugup, hingga ingatannya kembali tertuju kepada wanita yang sangat di cintainya sampai saat ini.
'Chayra, maafkan aku, aku harap kau bisa mengerti dengan posisiku saat ini, ada satu hal yang perlu kau ketahui, jika aku sangat mencintaimu. sekali lagi maafkan aku.'
Batin Chenoa Rajendra seraya memejam sambil menundukkan kepalanya, hingga indera pendengarannya menangkap suara yang sangat tidak asing di telinganya.
"Noah, kau masih hidup?"
Tanya Rex Daiva yang tiba-tiba hingga membuat Chenoa Rajendra tersentak seraya menarik nafas dalam dan langsung melemparkan pandangannya ke arah Tuan Rainer Diedrich yang sedang menatap Rex Daiva dengan kening menyatu, dan sebelum pria paru baya itu menjawab perkataan Rex Daiva, dengan cepat Rex Daiva mebungkuk sampai 90 deraja untuk memberi hormat dan langsung duduk di samping Ayahnya yang di susul oleh Aron Cadwalen di belakangnya.
Untuk sesaat tatapan tajam Tuan Rainer Diedrich kembali tertuju ke wajah Rex Daiva yang masih sedikit lebam, dan perban yang melilit dibagian tubuhnya yang terlihat cukup jelas, sebab saat ini Rex Daiva hanya mengenakan kemeja putih. Bahkan Tuan Rainer Diedrich kembali mengalihkan pandangannya, berganti menatap Aron Cadwalen yang langsung mengangguk pelan seolah mengisyaratkan jika keadaan Rex Daiva baik-baik saja.
"Ayah.. Bagaimana kabar Shisi?" Tanya Rex Daiva perlahan.
"Baik,"
"Syukurlah, dan kau Noah, bagaimana?" Tanya Rex Daiva lagi mengalihkan pandangannya ke arah Chenoa Rajendra.
"Kenapa kau tidak menanyakan langsung saja kepada Ayah?" Timpal Tuan Rainer Diedrich sebelum Chenoa Rajendra menjawab pertanyaan Rex Daiva.
"Ah, maaf Ayah." Balas Rex Daiva sedikit menunduk.
"Sebentar lagi Adikmu akan melangsungkan pernikahan secara tertutup di pulau kita, dan pastikan tidak ada media atau wartawan yang meliput berita ini, apa kau mengerti?" Balas Tuan Rainer Diedrich tampa basa basi.
"Apa? Shisi? Kau?"
"Rex.. " Seru Tuan Arnel Echhard.
"Ba.. Baik Ayah." Jawab Rex Daiva yang bahkan tidak di bolehkan untuk berkomentar apapun, ia hanya bisa menatap Chenoa Rajendra yang masih nampak tenang di hadapannya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut sahabatnya itu, Chenoa Rajendra hanya bisa mengangguk untuk membenarkan perkataan Tuan Rainer Diedrich.
"Saya akan menemui Shisi." Ucap Rex Daiva beranjak dari duduknya dan langsung menuju ke kamar Shin Rawnie, bahkan tampa menunggu persetujuan dari Tuan Rainer Diedrich.
Di sana ia bisa melihat Shin Rawnie yang terdiam di pinggir tempat tidurnya sambil mengusap perut ratanya, hingga kehadiran Rex Daiva membuat senyum yang selama beberapa hari ini menghilang dari wajahnya kini kembali terlihat, meskipun senyum tersebut kembali menghilang dan berganti dengan air mata yang menetes membasahi wajah pucatnya.
"Shisi, berhentilah menangis." Ucap Rex Daiva seraya mendekap tubuh Shin Rawnie yang langsung menenggelamkan wajahnya di dada lebar Rex Daiva sebelum akhirnya ia mendorong tubuh Rex Daiva dengan keras hingga tubuh jangkung itu terhuyung kebelakang.
Dengan cepat Shin Rawnie berlari menuju kamar mandi sebelum ia memuntahkan semua isi perutnya di hadapan Rex Daiva yang langsung mengerti, bahkan sempat lupa jika sejak Shin Rawnie Hamil dan mengidam, Shin Rawnie jadi membenci bau parfum Rex Daiva. Dan seperti sebelumnya, Rex Daiva kembali membuka kemejanya dan menyingkirkannya jauh-jauh agar Shin Rawnie tidak bisa mencium bau parfumnya lagi.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Rex Daiva perlahan seraya mendekati Shin Rawnie yang masih tertunduk di depan wastafel sambil mencuci mulutnya.
Rex Daiva yang merasa prihatin dengan keadaan Shin Rawnie hanya bisa menarik nafas dalam sambil membantu untuk menguncir rambut panjang Shin Rawnie yang tergerai agar tidak mengenai muntahnya sendiri. Tubuh Shin Rawnie yang seketika lemas membuatnya susah untuk berdiri tegak lagi, dengan cepat Rex Daiva meraih tubuh adiknya dan langsung menggendongnya keluar kamar mandi dan mendudukkan ke pinggir ranjang.
"Apa kau selalu muntah seperti ini?" Tanya Rex Daiva yang tengah duduk di hadapan Shin Rawnie sambil mengusap sisa air yang masih menempel di sudut bibir Shin Rawnie yang hanya bisa mengangguk sambil terus mengusap perutnya yang masih terasa mual.
Hingga obsidian Shin Rawnie tertuju pada perban yang melilit di tubuh Rex Daiva yang bahkan baru Shin Rawnie sadari jika Rex Daiva kembali melepaskan bajunya.
"Kakak.. "
"Kakak baik-baik saja," Ucap Rex Daiva tersenyum pada Shin Rawnie yang masih menatap lilitan perban di tubuhnya.
"Shisi, bagaimana perasaanmu? Bukankah sebentar lagi kau akan menikah, apa kau baik-baik saja?"
"Tidak, aku merasa tidak baik saat ini kak, tapi aku harus berusaha terlihat baik di depan Ayah, agar bayiku tetap aman." Jawab Shin Rawnie terlihat stres.
"Shisi, ini keputusan yang tepat, kau juga harus memikirkan bayimu kan?"
"Aku tau kak, tapi Yo.. " Kalimat Shin Rawnie menggantung, air matanya kembali mengalir di kala bayangan Yukio Clovis kembali terlintas di pikirannya.
"Yo pasti akan mengerti, percayalah pada kakak."
"Benarkah? Apa kakak yakin? Kenapa dengan semudah itu kakak mengatakannya? Jika Yo bisa mengerti, lalu bagaimana dengan tunangan Kak Noah? Apa kakak yakin dia akan baik-baik saja? Apa kakak yakin dia tidak akan menangis dan langsung menerima begitu saja?"
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut Shin Rawnie yang membuat Rex Daiva seketika bungkam, tidak ada jawaban untuk pertanyaan Shin Rawnie, sejauh apapun Rex Daiva berlari namun tetap saja, rasa bersalah selalu mengikutinya. Dan hal itu cukup membuatnya tersiksa. Dengan perlahan ia meraih tangan Shin Rawnie yang masih terasa dingin untuk di genggamnya.
"Maafkan kakak, semua akan baik-baik saja, kau hanya perlu memikirkan bayimu." Ucap Rex sambil mengusap sisa air mata yang masih membasahi sudut mata Shin Rawnie.
"Kakak.. Aku sangat merindukan Yo, bisakah kakak membawanya ke sini? Aku mohon.. " Pinta Shin Rawnie dengan mata berkaca.
"Baiklah, kakak akan mengusahakannya, tapi kau tau kan, selama Ayah masih mengawasi kita, hal itu akan sulit." Ucap Rex Daiva merapikan poni Shin Rawnie yang sedikit berantakan.
"Tapi aku sangat ingin bertemu dengan Yo," Balas Shin Rawnie seraya menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya sambil terisak.
Melihat sikap cengeng dari Shin Rawnie yang tidak seperti biasa membuat Rex Daiva paham jika saat ini Shin Rawnie sedang ingin menghirup aroma tubuh Yukio Clovis, sebab untuk saat ini hanya Yukio Clovis yang bisa menenangkan perasaan Shin Rawnie.
"Shisi, tidak bisa kah kau bersabar sedikit saja? Ayah tidak mungkin mengizinkan kakak untuk membawamu pergi, dan Ayah juga tidak akan mungkin mengizinkan Yo untuk menemuimu, sebab Ayah tau hubungan kalian, mungkin jika kau sudah menikah dengan Noah dan keluar dari Mansion ini, ada peluang bagimu untuk bertemu Yo, dan Noah pasti akan mengerti." Ucap Rex Daiva perlahan yang langsung menghentikan tangisan Shin Rawnie.
"Kak,"
"Bersabarlah Shisi."
"Kak, apa semua akan baik-baik saja?" Tanya Shin Rawnie dengan suara seraknya.
"Semua akan baik-baik saja, kakak akan selalu berada di sampingmu untuk menjagamu." Ucap Rex Daiva yang langsung memeluk tubuh ringkih adik kecilnya yang nampak di penuhi rasa kekhawatiran juga kegelisahan.
Pernikahan adalah hal yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya, di usianya yang masih sangat muda, membuatnya merasa takut untuk menghadapi semuanya, terlebih lagi ia harus menikah dengan seseorang yang tidak mencintainya sama sekali. Seorang yang bahkan lebih tua darinya. Meskipun ia tau calon suaminya nanti adalah sosok yang sangat bertanggung jawab, namun bukan berarti ia akan bahagia. Terlebih di pikirannya hanya ada bayangan Yukio Clovis, pria yang sangat di rindukannya saat ini.
* * * * *
PULAU MALDIVES.
Acara pernikahan seorang putri pengusaha ternama Rainer Dietrich Jorell di adakan di sebuah pulau pribadi keluarga Jorell secara tertutup, tampa adanya media ataupun wartawan untuk meliput peristiwa sakral tersebut. Semua serba tertutup, hanya keluarga besar dari pihak Tuan Rainer Diedrich dan Keluarga dekat Chenoa Rajendra yang menghadiri acara sakral tersebut. Bukan tampa alasan Tuan Rainer Diedrich melakukannya, banyak hal yang menjadi alasannya, dan privasi sang putri yang menginginkan hal tersebut menjadi pertimbangan dan alasan utama Tuan Rainer Diedrich.
Sedang dari pihak Chenoa Rajendra, hanya ada beberapa orang saja, di antaranya seorang wanita paru baya yang sudah lama menjadi Asisten di Mansion Chenoa Rajendra, dan beberapa pelayanannya, juga Asisten setia Chenoa Rajendra di Perusahaan, Eleno Caileant. Mengingat kedua orang tua Chenoa Rajendra yang sudah lama meninggal dunia, Chenoa Rajendra hanya memiliki mereka saja, seorang Asisten rumah yang selalu menemani Chenoa Rajendra, bahkan ia sudah menganggap wanita itu sebagai pengganti Ibunya.
Flashback.
"Nak, apa kau yakin dengan keputusanmu ini?" Tanya wanita paru baya tersebut sambil mengusap kepala Chenoa Rajendra yang sedang berbaring di atas pangkuannya.
"Aku sangat yakin, Bibi Ester tidak perlu khawatir." Balas Chenoa Rajendra meyakinkan wanita tersebut.
"Tapi Nak."
"Semua akan baik-baik saja, saya hanya akan ingin bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah saya lakukan Bi,"
"Bibi tau nak, Bibi hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menderita atas keputusan yang sudah kau ambil." Balas Ester khawatir. "Sebab Bibi tahu, siapa wanita yang kau cintai."
"Terimakasih karena sudah mengkhawatirkan saya Bi, dan cukup Ibu saja yang merasakan sakit saat Ayah tidak menginginkan saya dulu, dan saya tidak mau bayi yang berada di dalam kandungan Shisi merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan dulu. Karena itu sangat menyakitkan." Balas Chenoa Rajendra perlahan.
"Bibi mengerti anakku, Bibi sangat mengerti perasaanmu, dan Bibi akan selalu berdoa untukmu, untuk kebahagiaan mu dan calon keluarga kecilmu. Apapun yang terjadi nanti, ingatlah untuk tetap bersabar dalam menghadapi semuanya. Sebab semua perjalanan rumah tangga yang akan kalian tempuh tidak akan selalu berjalan muda, pasti ada jalan berliku." Ucap Ester dengan mata yang sudah di genangi air mata, kesedihan dan kekhawatiran menyelimuti hati wanita paru baya tersebut, sebab ia sangat tau bagaimana penderitaan dan kesedihan Chenoa Rajendra selama ini, kehilangan kedua orang tua adalah hal yang paling menyedihkan juga menakutkan bagi Chenoa Rajendra, kenangan pilu selalu membuatnya hidup dalam ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Bahkan belum hilang kesedihan yang Chenoa Rajendra rasakan saat kehilangan seorang kakek yang sangat di sayanginya, Chenoa Rajendra kembali kehilangan kedua orang tuanya dalam insiden kecelakaan tunggal yang terjadi.
Dan di masa-masa sulit itulah hanya ada Ester yang menemaninya melewati masa sulit, melewati masa remaja hingga sampai saat ini, Chenoa Rajendra yang bisa tegar, berdiri sendiri, dan sudah bisa menguasai rasa ketakutan dan sedihnya.
"Bibi.. Saya hanya ingin membahagiakan mereka, saya hanya ingin mereka tidak merasakan sendiri dan tidak di inginkan." Ucap Chenoa Rajendra berucap lirih bersamaan dengan air mata yang menetes dari sudut matanya, sebab saat ini ia kembali mengingat wajah-wajah yang sangat di rindukannya. Wajah teduh sang Ibu yang selalu membuatnya menangis, juga wajah sang Ayah yang tidak bisa ia benci meskipun sudah menyakiti dan menghancurkan hidupnya juga hidup Ibunya.
"Jika kau masih ingin hidup bersamaku, tinggalkan anak itu, kita tidak perlu membawanya pergi." Ucap Tuan Aroyan Janandra Arsenio, Ayah Chenoa Rajendra.
"Tapi aku tidak bisa melakukan itu, dia anakku, darah dagingmu juga, kenapa kau setega itu? Aku tidak akan melakukannya." Balas Evelyne Carola, Ibu Chenoa Rajendra, sambil menggenggam erat tangan mungil Chenoa Rajendra.
"Kenapa kau sangat keras kepala, ini demi kebaikan keluarga kita,"
"Tidak.. Aku lebih memilih hidup seperti ini, Noah adalah kebahagiaanku, dan sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkannya demi mengikuti ambisimu." Balas Nyonya Evelyne Carola keras.
PLLAAKK.. PLLAAKK..
"Arghh.. Kau bisa membunuhku jika kau mau, tapi jangan pisahkan aku dengan Noahku." Jerit Nyonya Evelyne Carola yang langsung memeluk erat tubuh Chenoa Rajendra yang sudah terisak saat melihat sudut bibir Ibunya yang berdarah akibat tamparan keras Tuan Aroyan Janandra.
"Kenapa aku harus membunuhmu? Seharusnya anak itu yang mati."
"KAU IBLIS.. KAU BUKAN MANUSIA." Teriak Nyonya Evelyne Carola dengan keras.
"Dan kau sangat mencintai iblis sepertiku." Balas Tuan Aroyan Janandra yang kembali mencengkram kedua belah pipi Nyonya Evelyne Carola dengan sangat keras.
"Kenapa.. Kenapa kau tega melakukan itu,"
"Tega? Kau bilang tega? Bukankah sudah aku katakan, seharusnya kau tidak melahirkan anak itu? Bukankah seharusnya kau menggugurkan anak itu sejak awal. Karena anak itu bisa menghancurkan karirku dan segalanya."
"Aku membencimu.. Aku tidak akan menuruti kata-katamu sedikit pun."
PLLAAKK... PLLAAKK..
Suara tamparan keras dan jeritan sang Ibu kembali terngiang di ingatan Chenoa Rajendra, hingga membuatnya terbangun dari lamunannya. Ester yang masih mengusap lembut kepalanya hanya bisa menarik nafas panjang dan langsung mengusap air mata yang menetes di sudut mata Chenoa Rajendra.
"Bermimpi buruk lagi?" Tanya Bibi Ester.
"Iya Bi, kenapa sangat sulit untuk melupakan semuanya."
"Semua akan baik-baik saja, semua akan terlupakan dengan sendirinya." Balas Ester yang hanya di balas anggukan pelan oleh Chenoa Rajendra.
* * * * *
Bersambung...