Ada beberapa hal yang indah di dunia ini,
Bunga, sinar mentari, cahaya rembulan,
Dan senyummu salah satunya.
(Dania Salwa Mahesa)
***
Dania baru saja memasuki gerbang sekolah. Ia baru saja tiba di lima menit yang lalu. Kakinya mengayun begitu piawai, juga dengan senyum manis yang terpatri di kedua sudut bibir Dania.
Ia mengedarkan pandangan untuk mencari Siska. Sahabatnya yang selama satu tahun ini selalu setia menemani dirinya.
"Kenapa? Lo nyariin gue?," tegur Siska yang tiba-tiba muncul dari balik punggung Dania.
"Ye.. Siapa juga yang nyari lo? Gue lagi cari Fayez. Dia udah dateng belum, ya?."
"Halah.. Dia itu ketua osis. Paling juga lagi rapat, atau lagi jaga di lapangan, nyari murid yang nakal," ujar Siska.
"Yaudah deh, kita ke kelas aja, yuk! Biarin aja Fayez bertugas dengan tenang."
Siska mengangguk setuju. Mereka pergi ke kelas dengan tangan yang saling bergandengan.
Dania dan Siska kerap dijuluki dua gadis kembar. Mungkin karena mereka memang selalu bersama dan rasanya sangat sulit untuk di pisahkan.
"Dan, itu Fayez."
Dania mengikuti tempat yang ditunjuk oleh Siska menggunakan dagunya. Di sana, tepat di tengah lapangan outdoor ia bisa melihat lelaki pujaan hatinya yang tengah menghukum seorang siswa nakal.
"Dia berwibawa banget, ya. Emang pantes buat jadi pemimpin," kata Dania yang menatap Fayez dengan intens.
"Lo liat deh, Dan, lagi ngehukum orang aja mukanya serem. Gak ada ramah-ramah, nya."
"Siska, yang namanya ngehukum itu ya harus serius. Kalau dia lagi ngelawak baru ketawa."
Dania tetaplah Dania. Ia akan berdiri di garda paling depan jika ada seseorang yang mengatai Fayez. Termasuk Siska.
"Cinta emang bikin buta," gumam Siska dan pergi meninggalkan Dania yang masih memperhatikan Fayez.
"Sis, lo bisa bayangin deh, kalau gue sama Fayez jadian, pasti gue bakal jadi perempuan yang paling bahagia. Kenapa? Karena Fayez pasti bakal ngejaga gue layaknya seorang putri."
Dania berkata dengan ekspresi wajah yang seolah terbuai. Kedua matanya terpejam dan menunggu tanggapan dari Siska.
"Sis, Siska? Kok lo diem aja, sih? Siska!."
Deg!
"F-Fayez, kok lo ada di sini?."
"Gue tadi liat lo senyum-senyum sendiri, terus malah ngomong sendiri," ucap Fayez datar.
"Oh, anu. Sori, gue kira temen gue masih di sini."
"Mampus. Malu banget gue," batin Dania.
"Oh."
Dania melongo. Fayez pergi begitu saja setelah mengucapkan satu kata yang membuat wanita mana pun akan kesal jika mendengarnya.
"Astaga! Mimpi apa gue semalem? Fayez ajak gue ngobrol!." Dania berlari meninggalkan lapangan untuk mencari Siska. Dadanya bergemuruh dan detak jantungnya berbunyi dengan kencang.
Dania yang sedang berlari pun memegang dada dengan sebelah tangan. Ia takut jika ada orang yang bisa mendengar detak jantungnya.
"Jantung sabar, ya. Jangan bunyi di sini."
"SISKA!."
Tepat di jarak 50 meter, Dania akhirnya menemukan Siska yang sedang berdiri sebari memakan ciki di depan pintu kelas.
"Astaga, Dania. Lo bisa nggak sih, nggak usah teriak? Gue nggak budek."
Grep!
Baru saja Siska selesai berbicara, Dania langsung memeluk tubuh sahabatnya dengan tiba-tiba. Membuat Siska hampir saja terjungkal ke belakang.
"Sis, gue seneng bangeeettt. Tadi Fayez aja gue ngobrol di lapangan!."
"Dan, lepasin. Gue nggak bisa napas, uhuk.. uhuk."
"Hehe.. Sori, siska," akhirnya Dania melepas pelukannya dari tubuh Siska, dan sahabatnya itu kini tengah mengatur napas dengan dada yang naik turun.
"Jadi, gimana? Fayez ngajak ngobrol apaan? Minta nomor hp?."
Dania menggeleng.
"Minta nomor whatsapp?."
Dania menggeleng.
"Minta id line?."
Dania menggeleng.
Siska menarik napas perlahan, "Jadi, dia ngajak ngobrol apaan?," tanyanya sedikit emosi.
"Dia nggak minta nomor atau pun akun sosmed pribadi gue. Dia cuma khawatir sama gue," ungkap Dania dengan senyum percaya diri.
"Khawatir? Emang lo kenapa? Lo jatoh?," tanya Siska sebari memeriksa seluruh tubuh sahabatnya.
"Bukan. Dia khawatir karena liat gue senyum dan ngomong sendiri." Senyum Dania semakin lebar. Hatinya berbunga-bunga, dan di dalam perutnya bagaikan terdapat ribuan kupu-kupu yang sedang beterbangan.
Siska menahan napas dan sedikit menggeram. "Dia bukan khawatir, Dania. Tapi dia takut."
"Takut kenapa? Oh gue tau, pasti dia takut gue kenapa-kenapa, kan?."
"Bukan. Dia takut kalau ada orang gila yang masuk sekolah ini."
***
Dania nampak masih kesal dengan pernyataan Siska tadi pagi. Sejak saat itu ia sama sekali tidak menyapa Siska, bahkan ketika Siska bertanya pun Dania seolah tak mendengar suara sahabatnya.
"Kenapa? Lo masih kesel sama gue?," tanya Siska yang menyadari perubahan sikap Dania.
"Sori, deh. Gue nggak bermaksud bikin lo marah," lanjutnya.
"Lo kenapa sih nggak pernah dukung gue buat suka sama Fayez? Lo selalu jelek-jelekin Fayez di depan gue, dan kayak nganggap kalau cinta gue ini main-main ke Fayez."
Brak!
Gebrakan di atas meja membuat tubuh Dania terhenyak. Ia menoleh ke arah Siska dan melihat napas Siska mendengus dengan cepat.
"Sis, lo baik-baik aja, kan?," tanya Dania perlahan.
"Dan, lo liat gue!."
Lagi-lagi tubuh Dania dibuat terhenyak, karena tiba-tiba saja Siska memegang kedua bahunya dan di arahkan untuk menghadap dirinya.
"Gue itu bukan gak dukung lo. Tapi gue kasian. Gue kasian karena lo jatuh cinta sama cowok yang sama sekali nggak ngelirik lo, Dan."
"Gue nggak mau sahabat gue terluka. Gue nggak mau lo ngerasain yang namanya patah hati. Gue tahu, ini cinta pertama lo. Dan gue sangat mewanti-wanti, gue nggak rela sahabat gue terluka di saat cinta pertamanya mulai tumbuh."
Kedua mata Dania mulai berkaca-kaca. Ia terharu dengan semua niat baik dan penuturan jujur dari Siska.
"Sis, maaf. Ternyata gue salah mengartikan semua kekhawatiran lo. Gue udah salah menilai lo," kata Dania dengan suara bergetar.
"Lo nggak salah. Gue tahu persis, orang kalau udah jatuh cinta pasti akan lupa dengan rasa sakit yang suatu saat bisa dia alami. Termasuk lo."
"Lo tenang aja. Gue udah tau rumus jatuh cinta," rayu Dania sambil menyeka sudut matanya yang sudah mulai berair.
"Rumus jatuh cinta?."
"Iya. Ketika seseorang berani jatuh cinta, maka dia juga harus berani merasakan sakit dan terluka. Dan gue udah siap dengan semua resiko yang akan gue terima nanti," terang Dania dengan mantap dan tegas.
"Lo serius? Dania, yang namanya patah hati itu nggak enak. Ibarat kata orang, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati."
"Kata siapa? Sakit gigi itu nggak enak tau. Mau makan susah, gusi bengkak, ngilu, ngomong aja susah. Pokoknya tersiksa banget."
"Ih.. Itu kan ibarat, Dania. Udah ah, ngapain malah ngomongin sakit gigi."
"Jadi, lo mau dukung cinta gue sama Fayez, kan?."
Siska menarik napas dalam-dalam. Dan menghembuskannya secara perlahan.
"Oke."
"Yes!."
"Tapi inget, kalau lo udah nggak kuat, lo bisa bilang sama gue. Biar gue cari pengganti Fayez," sela Siska.
"Siap, Bosku!."