Sudah sangat malam, saat Maya sampai di Kota Yogyakarta. Wajahnya kusut, sembab, pucat, dengan kedua mata yang merah basah. Pun begitu, air matanya tak lagi turun. Bukan karena aire mata yang habis, tapi karena emosinya semakin berantakan dan membaur campur aduk antara marah, sedih, kalur, dan akhirnya membuatnya frustasi.
Takdir yang Maya kira sudah ia lewati jauh-jauh dan dia kira tidak akan kembali, ternyata datang dengan cara yang tidak terduga. Bahkan kedatangan takdir masa lalu itu, menyakitkan semua pihak.
"Bi, aku nggak mau diganggu. Jangan ada siapa pun yang masuk ke dalam rumah, apalagi berkeliaran di dekat kamarku. Jangan ada yang banyak omong, apalagi banyak tanya. Jangan ada suara, titik! Kalau ada yang banyak omong, bahkan bersuara satu kata aja, langsung pecat. Mengerti, Bi!"