"Kal..."
"Ayo kita mulai semuanya dari awal," sambung Pak Bintang membuat jantung gue berdetak dengan cepat. Kepala gue semakin pusing karena kejadian yang menimpa gue. Haruskah gue menyerahkan masa depan gue ke Pak Bintang? lalu gimana dengan Mas Hanan, orang yang gue sukai selama ini.
"Sebaiknya kalian makan dulu. Tadi mama udah masak. Kita obrolin ini semua nanti setelah Mas Fendi sama papa pulang. Sebentar lagi mereka pulang," ajak mama setelah selesai menelfon papa dan Mas Fendi.
Ya gila aja masa gue udah ngelangkahin Mas Fendi sih? Tapi kan ini bukan maunya gue. Mas Fendi aja tuh yang doyan banget sibuk sama pasien. Main-main sama stetoskop tiap hari.
Gue menghampiri mama di dapur dan menggenggam tangannya. "Ma... maafin Kala ya."
Mata gue sudah berkaca-kaca. Mama menatap gue, gue sudah tidak sanggup membalas tatapannya. Tatapan mama tuh lembut banget kalo pas gue maupun mas lagi ada masalah. Mama memeluk gue erat seakan memberi gue kekuatan. Pelukan ini, membuat gue melayang kembali ke masa lalu dimana Kala kecil menangis setelah berkelahi dengan temannya karena dia diejek sebagai anak manja.
"Mama percaya sama kamu."
Satu kalimat, yang membuat gue tenang dan mengeratkan pelukan gue ke mama. Bagi gue, mama adalah segalanya. Gue nggak akan membiarkan mama tersakiti bahkan setitik pun.
***
Saat ini gue dan Pak Bintang duduk dihadapan mama, papa, dan Mas Fendi. Mereka bertiga tampak duduk santai berbeda dengan gue dan Pak Bintang yang saat ini sangat tegang sekali. Sesekali gue berdeham untuk menghilangkan rasa gugup.
"Kenapa kalian bisa seperti ini? Coba ceritain ke papa Kal,"minta papa.
Gue pun menceritakan kejadian dari awal sampai tragedi itu terjadi. Papa menagguk pelan ketika mendengar cerita gue. Lain halnya dengan Mas Fendi yang saat ini malah sibuk melongo tidak percaya.
"Yah... mau gimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, dan kalian sudah resmi di mata agama. Besok papa mau kalian mengurus surat-suratnya agar sah di mata hukum."
Pak Bintang mengiyakan permintaan papa. Gue sedikit lega karena papa tidak marah karena kejadian ini. Ketika gue saat ini sedang mengelus dada karena lega, eh tanpa sadar ada tangan yang menoyor kepala gue.
"Heh bocil. Bisa-bisanya lu ngeduluin gue. Sungkem dulu sini sama yang lebih tua."
Emang ya, udah punya kakak satu ngga ada gunanya. Ngajak berantem mulu tuh orang. Pengen gue give away in aja lama-lama.
"Lagian siapa juga yang tau kalo gue bakal nikah duluan," protes gue sambil membenarkan rambut gue yang berantakan.
Cuaca hari ini panas banget, udah kek hati gue yang panas gara-gara emosi dikatain bocil.
"BTW gue request ponakan cowok ya hehehe"
"Hehehe lagi lu. Bikin sendiri sono!" kata gue sambil mendorong dia dan kemudian melangkah masuk kedapur.
Udah lah persetan gue dengan Pak Bintang, bodo amat kalo dia mikir gue ngga sopan karena malah ninggalin dia berduaan dengan Mas Fendi. Lagian ini juga dirumah gue, bukan kantor.
Kaki ini ntah kenapa selalu pergi ke taman belakang. Lebih tepatnya ke ayunan kecil yang sampai saat ini masih muat dinaiki gue ataupun Mas Fendi. Ayunan ini menjadi saksi lemah dan marahnya gue. Dan keluarga gue juga pasti sudah hafal jika kursi ayunan ini sudah gue duduki dengan diam, pasti suasana hati gue tidak nyaman.
"Kal,"panggil mama pelan. Gue menoleh mencari dimana sumber suara tersebut. Dengan perlahan dan membawa 1 gelas es jeruk, mama menghampiri gue. Dia memberikan es jeruk yang tampak segar itu pada gue.
"Mama tau ini hal yang berat buat kamu. Hal yang terlalu tiba-tiba. Tapi ini sudah garis Tuhan, nak. Tugas sudah meminta kamu untuk menyempurnakan diri kamu dengan menikah. Dan Tuhan sudah memberikan kamu pendamping yang luar biasa. Mungkin kamu mengira Pak Bintang orang yang kejam dan mengesalkan. Tapi Tuhan tidak akan memberikan kamu pasangan yang salah."
Sontak gue menangis memeluk mama. Hati gue berdesir pelan. Apakah ini saatnya gue memantabkan hati menerima semua kehendak Tuhan? Mungkin mama benar. Tuhan tidak akan salah memilih.