2 porsi sate dan teh hangat sudah tersaji di hadapan kami berdua. Asap nya pun masih berasa pertanda kalau sate ayam ini baru saja matang.
"Wih manteb nih cabenya. Punya bapak buat saya aja cabenya. Bapak kan nggak boleh makan yang pedes-pedes," ucap perempuan yang rambutnya dikuncir kuda.
"Enak aja. Makan sate kalo ngga ada rawitnya ya mana enak," jawab gue sinis. Satu sunduk sate mulai memasuki mulut. Kami berdua makan dengan tenang, dan gue harap akan begitu karena mengingat kami berdua setelah adanya akad malah semakin sering adu mulut. Kalo adu mulut bisa ngehasilin duit, gue pasti seneng-seneng aja tuh.
"Besok pagi mama minta kita buat cek kesehatan dan ngurus berkas ke pengadilan. Saya mau kamu bangun pagi, jadi pas saya jemput kamu kita bisa langsung berangkat," jelas gue.
Suasana malam ini sedikit tidak mendukung karena angin yang mulai bertiup kencang. Kita berdua segera bergegas untuk meninggalkan warung sate ini setelah gue selesai membayar.
"Pak," panggil Kala dan gue cuma jawab dengan deheman pelan.
"Kalo kita udah tinggal berdua, bapak mau bikin surat perjanjian nggak?" tanyanya sangat polos sekali tapi membuat gue ingin sekali menertawakannya.
"Kal, Kal. Kamu pikir kita ini cerita yang ada di novel-novel? Ya walaupun hampir mirip. Tapi dari dulu, saya hanya akan menikah satu kali seumur hidup. Jadi entah apa yang akan terjadi dengan kita nantinya, saya tidak akan menikah lagi."
Gue melirik Kala yang terdiam, entah karena ucapan gue, atau karena gue ganteng malam ini.
Mobil gue berhenti di depan rumah yang sudah sepi karena mungkin si penghuni sudah mulai tidur. Kala keluar dari mobil dan gue pun mengantarnya kedalam sebagai bentuk rasa tanggung jawab gue karena mengantarnya sampai larut malam seperti ini.
Tangan gue mengetuk pelan, tak lama seorang laki-laki berkacamata pun membukakan pintu untuk kami. Ya Mas fendi. Setelah gue berbincang sebentar dengannya, gue memutuskan untuk pulang karena waktu sudah semakin larut. Gimana nggak larut orang gue balikin anak orang jam 11 malem.
-----------------
Pukul delapan tepat gue udah rapi karena harus menjemput Kala. Rencananya dia akan tinggal bersama gue di rumah ini. Tapi gue bingung ini gue bakal sekamar sama dia atau engga ya? Tapi ini kan rumah gue, aturan ada di gue, dan gue maunya sih kita berdua berada di kamar yang sama.
"Tau deh ah, lagian gue juga udah nikahin dia resmi dimata agama. Kalo misalkan ketauan pisah ranjang makin berabe gue. Bisa digibeng sama abangnya Kala."
Gue mengambil kunci mobil kemudian bergegas menuju rumah Kala. Cuaca hari ini sangat mendukung sekali, cerah tidak ada tanda-tanda mendung. Yang ada cuma tanda-tanda ketidaksetujuan Kala yang bakal sekamar sama gue.
Tiga puluh menit berlalu, dan gue sekarang sudah berada di ruang tamu di rumah Kala. Ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong bolu yang menggiurkan. Kalo kata ibunya kala sih bolu ini yang buat Kala. Tapi gue yang nggak yakin. Secara dia tuh absurd parah.
"Pak berangkat sekalian aja yok," seru Kala dengan kencang. Gue yang sedang menyeruput teh pun sampe keselek. Bukan karena liat penampilan dia yang cantik. Itu mah yang ada di film romantis. Gue keselek gara-gara dia menenteng dua koper besar dan diikuti Mas fendi dibelakangnya. Ditangan Mas Fendi juga ada 2 koper di tangan kanan dan kirinya. Sumpah niat banget nih anak. Gue kira koper dan tas yang ada dibawah tangga itu barang yang akan dibawanya, eh ternyata masih ada lagi.
"Kami pamit ya, Assalamualaikum," pamit gue pada orangtua dan abangnya Kala.
"Waalaikumsalam, hati-hati nyetirnya. Papa titip Kala ya, kalau dia nakal jewer aja telinganya," pesan papanya Kala dan gue jawab dengan anggukan.
"PAPAAAAA!" teriak Kala disamping gue. Duh kalau dia bukan istri gue, udah gue pecat nih anak. Dia pun segera masuk ke mobil setelah dengan rasa tidak bersalahnya sudah melukai gendang telinga gue.
Selama di perjalanan gue dan dia pun sama-sama diam. Tidak biasanya kita seperti ini karena biasanya kalau semobil berdua kita pasti sering bertukar pendapat mengenai pekerjaan. Gue akui dia memang cukup handal, cekatan, dan pintar jadi gue betah kerja sama dengan dia tapi kali ini kita awkward banget.
"Pak, saya dapet kamar yang disebelah mana?" tanyanya untuk membuka obrolan.
"Kan saya minta kamu buat manggil saya mas. Kenapa masih manggil saya pak?" jahil gue.
"Ih geli banget. Lagian saya nggak kebiasa manggil bapak kaya gitu," uap dia.
"Yaudah panggil saya kak aja. Saya berasa tua kalo kamu manggil kaya gitu," putus gue yang udah frustasi banget ngadepin sekretaris super super ini.
"Hmmmmmmm," gumam Kala. Buset tinggal panggil gitu doang aja susahnya udah kaya mikir ujian nasional.
"Nanti kalo kamu udah mutusin panggil aja ya. Nunggu jawaban kamu tuh mungkin nunggu saya brewokan dulu. Saya mandi dulu," putus gue yang kemudian mengambil handuk lalu menuju ke kamar mandi.
Gue dulu ngapain aja ya bisa-bisanya nikah sama orang aneh....