"Mereka menyelam terlalu dalam, hingga samudera enggan melepaskan."
***
Rini masih bergeming di depan televisi, di sisinya sang ibu mertua dengan begitu sabar dan tegar duduk menemani Rini menunggu kabar atas hilangnya kapal yang mana sang suami menjadi salah satu kru dari kapal tersebut.
Rumah kecil ini penuh dengan orang, beberapa sanak keluarga berkunjung, mencoba menguatkan Rini yang tengah diuji dengan sedemikian dahsyatnya itu. Tidak ada kegembiraan dibalik berkumpulnya beberapa anggota keluarga Rini, sama sekali tidak ada! Yang ada hanya isak dan lelehan air mata, karena sampai sekarang baik dari pusat TNI AL sendiri belum memberi kabar perihal pencarian yang tengah mereka lakukan.
Jaka Supaya, sang bapak mertua meraih remote TV yang ada di meja kemudian mematikan televisi yang tengah menyiarkan berita perihal hilangnya kapal selam yang membawa anaknya itu, matanya masih memerah. Ia menatap isteri dan menantunya yang masih berlinang air mata sejak tadi.
"Sudah, ayo sholat dulu! Cari kabar dan berita boleh, tapi jangan lupa hal yang lebih penting. Ayo berjamaah sama-sama, kita doakan mereka." Jaka tersenyum getir, sebuah kabar dan pemandangan yang tidak pernah ingin ia lihat dalam seumur hidupnya.
"Nduk, masih kuat berdiri dan sholat?" tanya Siti pada Rini yang tengah menyusut air matanya itu.
"Masih, Bu. Rini mau ikut berjamaah sama bapak dan ibu," dengan sedikit susah payah, Rini mencoba bangkit dibantu Siti dan Jaka yang refleks membantu anak menantunya yang tengah hamil tua itu.
Hati Jaka teriris pedih, selepas lebaran harusnya mereka bersuka cita karena akan bertambah anggota keluarga, namun kenapa tiba-tiba berita itu menghempaskan semua kebahagiaan yang hendak mereka rasakan?
Ia menatap sang menantu yang tampak begitu payah dengan wajah pucat dan linangan air mata itu. Jaka paham bagaimana perasaannya, ia pasti sangat hancur sekali. Bukan hanya Rini, dia sebagai bapak yang merawat dan membesarkan Roni sejak bayi pun hancur, hancur berkeping-keping.
Namun Jaka masih banyak berharap bahwa mukjizat yang maha kuasa akan bekerja dan menyelamatkan bukan hanya anaknya, melainkan seluruh kru kapal yang sekarang sedang dalam masa pencarian.
Punya anak seorang prajurit TNI? Siapa yang tidak bangga? Itulah yang dulu Jaka rasakan ketika hasil pengumuman pendaftaran pendidikan militer Roni menyatakan dia lulus masuk akademi militer TNI Angkatan Laut. Anaknya akan menjadi angkatan laut! Bapak mana sih yang tidak bangga? Namun kini, kebanggaan Jaka harus ia bayar mahal, sangat mahal.
'Ya Gusti, saya percaya bahwa kuasa-Mu melebihi segala-galanya dalam dunia ini. Izinkan anak saya dan rekan-rekannya kembali naik, Gusti. Izinkan mereka kembali ke daratan, karena sejatinya disinilah tempat mereka. Biarkan mereka kembali, menghapus duka dan air mata orang-orang yang mereka cintai.'
***
Sudah adzan magrib, belum ada berita bagus. Pencarian masih dilakukan oleh tim-tim dari angkatan udara dibantu oleh bazarnas. Semua bergerak mencari tahu posisi keberadaan monster laut itu ada di mana.
Rini memeluk erat-erat jaket hitam Roni yang belum sempat ia cuci. Jaket itu masih menyimpan aroma tubuh laki-laki yang ia cintai itu berpadu dengan aroma musk favoritnya. Rasanya masih kemarin bukan mereka ngobrol berdua di kamar ini? Bersenda-gurau membicarakan banyak hal? Kenapa sekarang tiba-tiba hal buruk itu terjadi?
Kembali air mata Rini menitik, ia teringat obrolannya bersama Roni tentang jenis-jenis laut berdasarkan kedalamannya. Ada di zona mana sekarang suaminya itu berada? 200 meter di bawah permukaan laut? Atau 600 meter? Atau ada di 1200 meter? Ahh ... bukannya kemarin sang suami bilang kapal itu dirancang hanya bisa sampai di kedalaman 600 meter? Tidak bisa lebih dalam lagi karena kapal itu nantinya tidak akan mampu menahan tekanan air laut dan akan berakibat fatal.
"Bagiamana kabar kamu, Bang? Sudah buka puasa belum? Kamu baik-baik saja bukan?" tangis Rini kembali pecah, menyesal rasanya kemarin ia izinkan sang suami pergi, tahu begitu ia larang dia berangkat, apapun akan dia lakukan asal suaminya itu tidak berangkat. Namun sia-sia sudah, dia tetap berangkat dan sekarang kapal itu belum ditemukan bukan?
Rini masih menangis hebat sambil memeluk jaket sang suami ketika pintu kamarnya terbuka, nampak Nur Halimah sang ibu muncul dengan linangan air mata. Sontak Rini bangkit, duduk di tepi ranjang dan langsung mendekap erat-erat tubuh ibunya itu.
"Ma ... Bang Roni belum ada kabar, Ma!" lapornya sambil menangis sesegukan, membuat Nur ikut banjir air mata.
"Doa. Jangan putus doamu, Nduk! Biar Allah yang melindungi dia dan kawan-kawannya, ingat kamu masih punya Gusti Allah yang kuasanya begitu luar biasa," Nur menyeka air matanya, hatinya ikut hancur melihat betapa anak perempuannya itu begitu terpukul atas semua yang terjadi.
Dengan tangan bergetar, Nur mengelus lembut perut sang anak. Perut ini sudah begitu besar. HPL-nya kurang sebentar lagi. Dan kenapa semua ini harus terjadi? Disaat anak dan menantunya itu menanti kelahiran sang buah hati, kenapa? Bagaimana nasib anak ini nantinya? Bahkan ia belum melihat wajah sang bapak, belum merasakan bagaimana digendong sang bapak, ahh ... hati Nur terasa seperti dicabik-cabik membayangkan hal itu.
"Rini nggak putus doa, Ma. Rini terus doakan, tapi kenapa sampai sekarang belum ketemu? Kenapa mereka belum ketemu?" protes Rini dengan tangis yang makin menjadi-jadi.
"Nduk, tidak semua yang manusia inginkan itu akan dikabulkan Yang Kuasa, takdir hidup dan mati manusia itu ada di tangan Yang Kuasa, jangan risau dan jangan khawatir. Percayalah apapun yang terjadi nantinya, itu sudah suratan takdir dari Yang Kuasa ya, Nduk. Tugas kita hanya berdoa dan meminta, perihal dikabulkan atau tidak itu hak penuh Allah, kita tidak bisa membantahnya."
Sedikit demi sedikit, Nur mengajak Rini untuk bisa ikhlas melepaskan. Bukan berarti dia tidak berharap mereka selamat, bukan seperti itu. Namun sebagai ibu, ia ingin sang anak bisa menerima apapun nantinya hasil pencarian itu. Jika memang mereka bisa kembali, tentu akan sangat mengembirakan, namun jika mereka tidak pernah bisa kembali lagi, maka yang bisa dilakukan hanyalah mengikhlaskan, benar bukan?
***
Jaka menemui sang isteri yang tengah duduk seorang diri di teras rumah milik anak kebanggaannya itu. Dalam diamnya, Jaka tahu sang isteri sedang melantunkan sebuah doa. Siapa lagi kalau bukan untuk Roni yang entah bagaimana kondisinya sekarang ini.
"Bu ... sedang apa?" tanya Jaka basa-basi, ia bergegas duduk di sebelah sang isteri.
"Sedang berusaha ikhlas, Pak." Siti menyeka air matanya, lalu menolel pada sang suami dan tersenyum.
Jaka tertegun, berusaha ikhlas, apakah sebagai seorang ibu yang hamil dan melahirkan Roni, ia sudah mendapat firasat perihal anak mereka?
"Bu ... Ibu-"
"Ibu ikhlas dia pergi, Pak. Toh kepergiannya membawa kebanggaan dan nama baik, entah bagaimana, firasat ibu mengatakan bahwa dia sudah tidak akan bisa kembali, Pak."