"Tidak. Lupakan Amira dan saat ini kejar Mawar Jingga. Aku penasaran pada pahlawan wanita yang menolongmu itu."
Andi dian. Ia sama sekali tidak yakin akan kemampuan bertarungnya. Ia tidak yakin juga pada kemampuan penyelidikannya. Mengejar Amira mungkin lebih mudah daripada mengejar Mawar Jingga.
"Apakah Tuan punya usul agar aku bisa mendekati Mawar Jingga?"
Khalid menatap wajah Andi dalam diam. Ia berpikir tentang bagaimana menjawab pertanyaan anak buahnya.
"Usul?"
"Iya, Tuan."
Khalid mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja. Mencari alternatif yang mungkin bisa ia pakai jadikan untuk menjerat Mawar Jingga. Ia memang baru saja mendengar tentang nama itu.
"Aku belum mengetahu siapa dia makanya aku sama sekali tidak punya usul, Ndi."
Andi menunduk. sulit rasanya memberitahu Khalid kalau apa yang akan ia lakukan sia-sia belaka.
"Yang membuat sulit adalah bahwa kita sama sekali belum mengenal siapa wanita ini. bagaimana ciri-ciri fisiknya dan bagaimana karakternya. Kapan dia muncul dan kapan dia sembunyi."
Khalid mengangguk. ia mulai paham mengapa Andi lebih memilih untuk menolak tugasnya. Ia paham kesulitan yang akan dihadapi anak buahnya. Bukan mendapatkan sasaran, ia justru hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga sia-sia.
"YA sudah. Aku urungkan tugasku padamu. Biarkan Amira dan biarkan Mawar Jingga. Biarkan Allah yang akan mempertemukan kita. Kalau berjodoh, kita pasti akan bertemu untuk kedua kalinya."
Andi menarik nafas lega saat mendengar kalimat Khalid. kelegaan yang sangat membuat dirinya bahagia. Meski ia masih penasaran dengan Mawar Jingga, tapi setidaknya ia tidak memiliki beban yang mengharuskan dirinya memburu mangsa dalam jangka waktu dekat.
Andi memandang langit-langit untuk mencari alternatif yang bisa ia gunakan untuk menemui wanita yang membuat bosnya penasaran. Bagaimana memancing dia keluar dan alternatf lain yang akan membawanya pada keberhasilan. Ia bangkit lalu meminta ijin untuk kembali ke rumah. Ia ingin melewati wilayah yang tadi malam ia lalui dan menyebabkan ia bertemu dengan pahlawannya tanpa sepenetahuan Khalid.
"Saya pulang dulu, Tuan. Saya akan istirahat. Luka ini mulai terasa sakit"
"Pulanglah! Aku akan istirahat juga di kamarku. Jangan pernah datang kalau aku tidak mengundangmu kemari"
"Baiklah, Tuan. Selamat siang"
"hem"
Andi meninggalkan rumah Khalid. ia segera menghampiri mobinya yang terparkir di bawah pohon jambu di sudut halaman. Ia segera meninggalkan lokasi dengan kecepatan sedang. Saat ia sampai di perempatan jalan Tentara Pelajar tak jauh dari Monumen Jogja Kembali, saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, ponselnya bergetar. ia mengabaikan panggilan dan tetap fokus menyetir. Ia menepikan mobil ketika ia merasa sudah aman untuk berhenti.
Ia raih ponsel dan membukanya. Ia menemukan beberapa panggilan tak terjawab dari beberapa anak buahnya. ia mendesah. Tidak ada alternatif lain selain menelpon kembali nomor anak buahnya, namun keinginannya segera ia urungkan kala matanya melihat dengan jelas pergerakan seorang wanita di hadapannya.
"Amira, mengapa dia di sini?"
Andi segera memutar mobilnya mengikuti motor Amira yang melaju dengan kecepatan sedang melewati perempatan timur Monjali, jalan yang baru saja ia lewati. Sialnya, Amira berhasil melewati lampu rintangan, karena saat dia melintas, lampu lalu lintas sedang berwarna hijau, sedang dirinya justru terjebak dengan lampu merah. Andi menghentikan mobilnya lalu memukul kemudinya. Entah mengapa dia terluka secara bertubi-tubi akhir-akhir ini.
"Ya Tuhan, tolong katakan padaku dimana letak kesalahnku yang membuat nasibku bernar-benar sial. Sejak kemarin aku merasa semua serba sial. Tidak ada sama sekali keberuntungan yang aku alami dalam hidupku."
Baru saja selesai berdoa, Andi merasa sesuatu memekakkan telinganya. Beberapa klakson mobil di belakangnya membuyarkan lamunan. Ia disemprot oleh banyak suara yang membisingkan telinga dan membuat emosinya meledak. Ia segera menyalakan mesin mobil lalu mencoba mengarahkan ke jalan Tentara pelajar karena dia melihat Amira melewat jalan itu.
Kemarahannya masih memuncak ketika tiba-tiba dari arah belakang muncul dua motor polisi yang mengejarnya dan menghentikan laju mobilnya. Andi menghentikan mobil tepat di depan sebuah apotek. Seorang polisi mendekat.
"Selamat siang, boleh Tuan tunjukkan surat-surat dan identitas Tuan? Tuan telah melanggar aturan dengan . . . bla bla bla,"
Andi mengeraskan rahangnya menahan emosi. ia tidak tahu apa yang sudah ia lakukan hingga dua polisi menghentikan jalannya. Ia segera mengeluarkan dompet dan mengambil Sim A yang tersimpan di salah satu bagian dan emnyerahkannya pada polisi. Ia juga mengambil STNK di dompet kecil yang ia gunakan sebagai gantungan kunci lalu menyerahkannya juga pada polisi. Ia mengawasi wajah polisi itu dan segera memotretnya. Ia kirimkan semuanya pada anak buah dengan harapan mereka akan membalaskan dendamnya atas peristiwa yang baru saja ia rasakan.
Saat emosinya meledak, tiba-tiba, di depannya melintas Amira. Gadis yang sejak kemarin menjadi beban hidup, sedang berjalan mendekati motor yang terparkir di tepi jalan. Andi membuka pintu mobil dan berlari mendekati Amra tanpa mempedulikan dua polisi yang masih meneliti SIM dan STNK mobilnya.
"Hai, Amira"
Amira yang sedang sibuk memasukkan bungkusan warna hitam ke dalam jok motornya, segera menoleh ke sumber suara. Ia terpana melihat Andi yang sedang berdiri mengawasinya sabil tersenyum.
"Aku pernah melihatmu berada di rumah Mutia."
"O'
Hanya itu reaksi Amira. Ia segera mengulurkan tangan ingin bersalaman. Amira hanya mengangkat kedua tangannya, mencoba menolak jabat tangan dengannya. Amira merasa sangat aneh. Beberapa kali ia memang melihat wajah Andi di acara-acara yang memperingati kematian Mutia, namun ia tidak tahu ada hubungan apa antara Andi dan almarhum Mutia.
"Kamu temannya Mutia?"
"Bukan. Eh, iya. Aku temannya."
"Ok, kelihatannya kamu sedang dalam masalah ya? Apakah aku salah?"
"Masalah dengan polisi. Apakah kau bisa menolongku?" pinta Andi pura-pura frustasi. Ia ingin menjebak Amira dan mencoba memanfaatkan situasi yang sedang ia hadapi. Melihat Andi frustasi, Amira mengangguk. ia melangkah mendekati dua polisi yang sedang menunggu Andi di tepi jalan tak jauh dari mereka.
"EM, maaf pak polisi, apakah kau sudah selesai memeriksa identitas temanku? Kalau sudah silakan dikembalikan identitasnya."
"Amira?"
"iya, Kau Anton kan?"
Anton dan Amira nampak asik dengan percakapan ala sahabat lama tak berjumpa di hadapan Andi. Dalam hati Andi bersyukur bisa menemui Amira dan mengobrol secara langsung meski hanya basa basi.
"Kau kenapa di sini? Apakah ada yang sakit?'
Amira menggeleng. ia segera menunjuk jok motor dan mengatakan kalau ia baru saja membeli keperluan pribadi.
"Kau sejak kapan jadi polisi?"
Anton menerawang, membayangkan waktu dia menjadi polisi. Sejak lulus SMA dia mendaftar menjadi polisi dan harus gagal dua kali.
"Sudah dua tahu, Mir. Alhamdulillah akhirnya aku bisa memenuhi keinginan kakek. Yah, meski harus mengalami kegagalan selama dua kali. Kamu sendiri kuliah dimana?"
"Aku?"
Anton mengangguk. ia mengamati Amira dari atas sampai bawah, menunggu jawaban yang belum sempat ia dengar meski dia sudah menanyakannya beberapa menit yang lalu. Bukan hanya Anton yang menunggu jawabannya, Andi juga diam-diam menguping pembicaraan Anton dan Amira. Ia memasang telinga baik-baik untuk mengetahui dimana Amira belajar.