Khalid segera menscreen shoot foto Amira yang memakai gamis warna peach dengan dipadu kerudung motif dan memakai masker lalu mengirimnya pada Andi.
"Awasi pergerakannya dan laporkan padaku setiap jam sekali penemuanmu atasnya. Aku butuh informasi segera.'
Andi yang mendapatkan notifikasi di ponselnya segera merogoh sakunya, mengambil ponsel dan membuka pesan Khalid. Ia memandang foto hasil screenshoot yang dikirim Khalid lalu mengunduhnya. Andi memandang sekeliling, mencari wanita yang dimaksud oleh Khalid. Malam ini adalah peringatan tujuh hari meninggalnya Mutia. Khalid mendapatkan informasi tentang acara tersebut dari anak buahnya yang lain.
Andi yang mendapatkan perintah Khalid segera menyapukan pandangan ke seluruh penjuru halaman rumah Mutia. Beberapa kali matanya gagal menangkap keberadaan Amira, gadis yang sedang membuat Khalid terganggu karenanya. Ia segera menapakkan kakinya menjelajah sekeliling rumah, mencari sosok perempuan seperti yang dimaksud Khalid.
Nihil
Perempuan misterius itu telah menghilang seiring dengan sudah bubarnya para tamu undangan. Andi mendesah kecewa. Ia segera mengirim pesan ke beberapa orang anak buahnya dan meminta mereka melakukan instruksi Khalid.
Satu jam kemudian, ia sudah mendapat informasi terkait wanita misterius incaran bossnya dan segera mengirimkan laporan kepada Khalid. Tentu saja tidak langsung terbaca oleh yang bersangkutan karena ia sekarang sedang di atas pesawat pribadinya menuju Eropa.
"Kau yang memulai, kau juga yang mengakhiri. Tadi menggebu-gebu ingin dapat informasi ternyata setelah diberi informasi kau tidak segera membuka pesanku. Huh. Nasib sebagai bawahan ya seperti diriku ini." gumam Andi sambil menggaruk kepalanya kesal.
Andi segera duduk di kursi sudut halaman, mencoba menunggu jawaban Khalid. Sampai beberapa menit pesannya masih belum dibaca, Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah Mutia.
Ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, mengikuti peta yang dikirimkan anak buahnya, menuju kediaman wanita incaran bosnya. Mengawasi gerak geriknya lalu merekamnya dengan kamera gawainya.
"Pantas saja kau mengincarnya, Bos. Dia memang benar-benar wanita yang cantik. Wanita yang pantas untuk diperjuangkan." Gumam Andi sambil terus merekam kegiatan wanita misterius itu.
Di pesawat, Khalid masih duduk di kursinya dengan malas. Ia ingin sekali membuka ponsel, namun trauma masa lalunya bersama kedua orang tuanya membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengaktifkan ponsel.
Dulu ia memainkan ponselnya saat sedang naik jet pribadi, kegiatan yang dilakukan tanpa memikirkan resiko paling berat yang mungkin akan menimpanya. Di sela-sela keasyikannya bermain ponsel, tiba-tiba pesawatnya mengalami kerusakan yang membuat sang pilot terpaksa mendarat darurat di sebuah wilayah yang jauh dari pemukiman penduduk.
Ia yang masih berusia belasan tahun dan tak pernah hidup susah, terpaksa harus melakukan survival dengan kondisi alam yang masih perawan. Tak ayal, itu membuat Khalid trauma karena harus berhubungan dengan beberapa tanaman dan hewan yang sama sekali belum ia kenal.
Hari ini, disaat yang sama, ia mencoba untuk menekan keinginannya, menyentuh ponsel yang ia letakkan di meja dekat kursi tempat duduknya. Ia ingin melihat bagaimana laporan Andi, namun sekali lagi ia urungkan.
"Hah, benar-benar membosankan. Terus kenapa aku harus tertarik pada wanita yang sama sekali tidak menarik? Wanita yang selalu memakai masker. Huh. Sombong sekali dia. Memangnya dia itu siapa sampai-sampai kemana-mana harus menutupi wajahnya." Gumamnya.
"Maaf Tuan. Apakah Tuan akan makan atau minum? Biar saya yang membuatkan. Hari ini Lusi sedang berhalangan hadir, sehingga dia tidak bisa memasak untuk Tuan Khalid seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya."
"Buatkan aku jus segar, yang bisa menghilangkan stressku, Sinta."
"Baik, Tuan. Segera saya laksanakan."
Sinta segera meninggalkan Khalid dan melangkah menuju pantry, membuat pesanan Khalid dan menghidangkannya setelah semua beres.
"Silakan pesanannya Tuan."
"Terima kasih."
Khalid segera mengambil jusnya dan menyeruput pelan. Tenggorokannya yang semula kering, kini kembali segar setelah satu teguk jus membasahinya.
"Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan wahai manusia. Dalam keadaan terbang seperti ini saja aku masih bisa mendapatkan pelayanan ekstra dari beberapa pelayanku yang sangat setia dan patuh." Batin Khalid.
Sementara Andi yang sejak tadi mencoba untuk mengintip dan menguntit wanita incaran Khalid harus menelan ludah pahit. Pasalnya wanita itu meski sudah diketahui keberadaan rumahnya dengan mudah oleh anak buahnya, ternyata sesampainya di rumah sang wanita, ia tidak bisa langsung serta merta menemuinya.
Andi segera memandang apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal sang wanita, mencoba mencuri waktu yang tepat untuk menemui sang wanita.
Ia masih mengendap, mengintai apartemen dengan tetap waspada. Namun tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya. Andi menoleh, mencari si pengganggu.
"Siapa kamu?'
Laki-laki yang mencengkeram pundak Andi memandang Andi dengan angkuh.
"Seharusnya aku yang bertanya, siapa kamu? Bukan malah sebaliknya."
Andi mencibir. Ia benar-benar telah tertangkap basah. Namun bukan Andi namanya kalau menyerah begitu saja. Ia mencoba berdalih, membuat alasan yang sekiranya masuk akal dan menghentikan tanda tanya pemuda di hadapannya.
"Aku Andi."
"Bukan itu yang kuinginkan."
"Lantas?"
"Kamu ada indikasi apa mengintip di apartemen ini? Kalau melihat gelagatmu, aku yakin kau bukan laki-laki baik-baik."
Andi mencoba melepaskan cengkeraman tangan pria kekar di hadapannya, namun berkali-kali mencoba ia gagal. Tenaga pria itu lebih kuat dari tenaga Andi meskipun secara postur tubuh mereka hampir sama.
"Jangan bergerak! Kau harus aku serahkan kepada Bosku agar kau bisa diadili malam ini juga karena kau sudah mencoba untuk mencuri informasi di sini."
Andi diam. Ia tidak ingin menyerah pada keadaannya sekarang, namun ia juga tidak ingin gegabah. Ia berfikir tentang bagaimana meminta bantuan orang-orangnya.
"Apakah kau bisa membantuku?" ucap Andi dengan suara pelan.
"Heh, aku tahu trik licikmu. Jangan mencoba macam-maca denganku. Aku tidak akan melakukan negosiasi dengan siapapun."
Andi mendesah. tidak ada cara lain selain bertarung. Ia segera melakukan perlawanan. Tangannya yang dicekal oleh pria asing ia beri tenaga dalam dan dengan sekali tarik, ia nyaris mampu melepaskan diri. Naas, ternyata lawannya lebih sigap dari dirinya.
"Jangan bersikap kurang ajar dengan membodohiku, Tuan. Kali ini aku tidak akan melepaskanmu."
"Baiklah. Aku akan menurut. namun tolong kabulkan permintaanku!"
"Katakan!"
"Aku ingin . . ."
"Tidak! Pengawal, bawa laki-laki asing ini ke markas."
"Baik, Tuan."
Tangan Andi ditelikung ke belakang oleh dua laki-laki yang kemudian menyeretnya dengan kasar. Tubuh Andi memanas, menyadari bahwa laki-laki berjumlah tiga orang yang kini menyanderanya benar-benar tidak bisa dianggap enteng.
Mereka membawa Andi ke sebuah mobil dan memaksanya masuk, namun Andi masih mencoba untuk melawan. Laki-laki pertama menepuk punggung Andi mencoba untuk menotok aliran darahnya demi menghentikan perlawanan. Andi benar-benar sudah dalam kekuasaan laki-laki asing. Tubuhnya lemas dan diam tak bergeming. Namun sebelum ia benar-benar masuk mobil sebuah suara mengejutkan mereka yang sedang memasukkan badan Andi.
"Hentikan!"