Awalnya Rain tidak pernah menyangka masa kuliahnya akan sangat sulit dan menyakitkan. Saat pertama kali ayahnya memberikan kartu siswa di salah satu fakultas teratas di seluruh negeri, Rain tertegun. Itu adalah kampus yang sangat dia impikan sejak kecil. Rain sudah membayangkan hari-harinya menjalani kegiatan demi kegiatan.
Rain sama sekali bukan orang yang tertinggal dalam hal belajar. Dia selalu menempati posisi teratas sejak di bangku Sekolah Dasar. Wajah Rain adalah wajah yang selalu menjadi incaran, bahkan memiliki pengikut lumayan banyak di media sosial. Rain juga memiliki keperibadian ceria, siapapun yang melihatnya pasti akan mengira hidupnya bahagia. Tapi di sanalah masalahnya, Rain menjadi objek yang selalu di benci oleh semua orang karena dia terlalu sempurna.
Percayalah, menjadi orang yang paling pintar sekalipun tidak membuatnya lepas dari congkak. Entah itu dari dirinya sendiri ataupun karena orang lain.
Seperti hari ini, "aku tidak mau menjadi budak kalian!!" Kalimat itu keluar dari mulut yang sama sekali tidak pernah membangkang sebelumnya. Sayangnya, usaha Rain menolak tidak sebanding dengan konsekuensi yang harus dia dapatkan. Mereka menarik Rain lalu melemparnya ke dalam kolam.
"Ayah---"
Rain berjalan gontai melalui trotoar menuju ke rumahnya. Disaat seperti ini dia sangat merindukan ayahnya, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Ayahnya sudah tidak ada di dunia ini, satu-satunya yang tertinggal adalah rumah mereka dan sejumlah uang untuk melanjutkan pendidikan. Hanya itu saja.
Rain memilih meringkukkan badannya di bath-up sambil membaca sebuah e-novel dari ponselnya.
"Seandainya aku punya seseorang seperti vee, aku mungkin tidak akan berpikir dua kali untuk ikut dengannya ke dunia lain. Aku juga tidak akan menolak menikahi jimin meskipun dia terlihat sangat liar dan tidak mungkin"
Hari ini seperti biasa Rain pergi pagi sekali sambil membawa beberapa sandwich di tangannya. Itu adalah rutinitas paginya setiap hari, membagikan sarapan untuk orang lain.
Rain menatap lelaki yang sedang menghirup aroma kopi dari cup di tangannya.
"Sepertinya mereka baru menikah" Rain menatap mobil yang di penuhi bunga di samping lelaki dan perempuan itu.
Tiba-tiba saja Rain di datangi rasa penasaran, "Apa sebenarnya yang di lihat lelaki dari seorang perempuan yang bisa membuat dia memiliki keinginan untuk menikahinya?"
"Aku tidak akan memiliki sejarah itu dalam hidupku. Ayolah Rain, siapa yang mau menikahi orang buangan sepertimu" Rain menggelengkan kepalanya.
"Kamu hanya perlu memenangkan hati saya untuk bisa menikah, dan saya rasa itu sudah terjadi baru saja. Jadi, kapan kita akan menikah?" tiba-tiba saja Rain di kejutkan dengan keberadaan lelaki di hadapannya. Lelaki yang beberapa detik lalu masih disana bersama seorang wanita.
"Hh! Hebat sekali, sudah punya istri malah menggoda orang lain. Pergi saja sana!" Rain mendelik lalu meninggalkan lelaki itu dengan cepat.
"Is-istri?! Ini sebabnya aku tidak mau memakai mobil itu. Kenapa harus di hiasi bunga mbak?!" Dafi memelototi kakaknya sambil berjalan dengan santai.
"Lho, ya harus di hiasi bunga toh, ini kan mobil bekas honey moon mbak kemarin." Perempuan itu mejawab dengan nada santai sambil menghirup aroma americano di tangannya.
"Astaga, ini salahku karena mau di antar mbak" lelaki itu beranjak meninggalakan kakaknya.
Rain sampai di tempat tujuannya, mereka semua sudah menunggu dan terlihat tidak sabar.
"Rain!!! Cepat, gue udah lapar!!"
"Iy-iya," Rain membagikan sandwich di tangannya tergesa-gesa.
"Sekarang sana beli kopi. Cepaaat!!!" Lelaki itu mendorong Rain, membuat Rain jatuh terpental.
"Hei kalian!!!!" Entah dari mana suara itu muncul, mereka semua sibuk mencari si sumber suara.
"Kalau mau kopi, saya punya. Kira-kira saya harus kasih kalian apa lagi supaya bisa bawa dia dari sana? Cukup dengan SP1" Dafi berjalan sambil menatap tajam ke arah fans. Dia yang tadi mendorong Rain sampai terpental.
"Siapa lo?" Wanita dengan sorot mata sinis itu berkacak pinggang, mencoba mengintimidasi lawan bicaranya. Meskipun itu sama sekali tidak berhasil membuat lelaki itu menciut.
"Kalian tidak perlu tahu siapa saya, yang harus kalian tahu adalah apa yang kalian lakukan ini salah. Pergi dari sini sekarang atau kalian tidak akan bisa melanjutkan pendidikan kalian di tempat ini mulai besok!"
Mereka terlihat ragu tapi kemudian mundur satu-persatu meninggalkan Rain dan Dafi.
Rain menatap Dafi heran, "berdiri!! Kenapa kamu tidak melawan di perlakukan tidak adil seperti itu?" Dafi membantu Rain berdiri.
"Araina Endelweiss, nama kamu cantik. Baik Araina, pertama kamu harus tau endelweiss itu berarti keabadian, pengorbanan, cinta, dan ketulusan. Tapi yang kamu lakukan sekarang terlihat seperti kebodohan, congkak, dan tidak bertanggung jawab pada diri sendiri. Kamu menyandang status mahasiswa terpintar sepanjang sejarah kampus ini. Tapi kena---" Dafi menghentikan ucapannya ketika tiba-tiba saja Rain bangkit.
"Begitu? Sepertinya anda tau banyak tentang arti nama saya. Tapi bagaimana ini, saya tidak tertarik dengan arti nama saya. Kalau anda ingin di dengar, datang ke kelas saya sebagai dosen, saat itu saya akan mendengarkan semua yang anda katakan" Rain pergi dari sana.
"Mereka pasti akan melakukan sesuatu karena perbuatan orang sok tahu itu!!!"
"Perkenalkan nama saya Aldafi Handayana Wicaksono, kalian bisa memanggil saya pak, kak, mas, atau apapun itu asal jangan hanya nama. Mulai hari ini saya akan menjadi dosen kalian untuk tiga mata pelajaran utama di jurusan ini. Saya tunggu kerja samanya. Sekian," Dafi menyudahi perkenalannya, matanya tertuju pada satu titik di atas sana. Araina.
Rain menundukan kepalanya, dia teringat kalimat yang di ucapkannya di ruang olahraga tadi pagi. "Apa yang sudah kamu lakukan Rain?!"
"Jika ada yang ingin kalian tanyakan, kalian bisa langsung ke kantor saya atau kalian bisa mengirim email"
Semua masih terasa normal sampai pagi tadi, kegiatannya membagikan sandwich sampai di dorong. Tiba-tiba saja hidup Rain berubah saat lelaki bernama Aldafi itu membelanya. Tentu saja itu hanya membuat mereka menjadi. Terlebih mereka tahu bahwa Dafi adalah anak dari pemilik kampus sekaligus direktur dan dosen termuda di sana.
Langkah kaki itu terlihat ragu, berjalan mendekati ruangan yang terletak di ujung koridor. Rain mengetuk pintu ragu-ragu.
"Masuk!!"
Klek
"Ahh---, Araina? Duduk"
"Tidak perlu pak, saya kesini ingin meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Saya menyesal karena mengatakan hal itu pada anda. Saya terima hukuman apapun untuk perbuatan saya pak." Rain menunduk.
"Tidak Araina, jangan seperti ini. Araina yang saya suka adalah Araina yang tadi pagi, tegas dan sedikit angkuh."
Araina jadi menciut. Tapi untuk apa seperi itu, dia merasa tidak salah apapun. Untuk sekarang dia harus berani.