Dafi menunjuk kursinya, tanda mepersilahkan Rain untuk duduk.
"Jadi kamu mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi?"
"Mereka semua teman saya pak, hanya terjadi kesalahpahaman."
Dafi menatap wajah Rain dengan seksama, "sepertinya itu berkaitan dengan harga dirimu, baiklah saya tidak akan bertanya lagi"
"Terima kasih"
"Jadi, kapan kita akan menikah?"
"Maksud anda?"
"Bukankah kamu ingin menikah?"
"Sepertinya itu juga kesalahpah---" Rain memejamkan matanya karena dia sadar dengan posisinya sekarang.
Gadis itu membuang wajahnya, meskipun dia berpikir ini hanya pernyataaan dari orang yang mengasihaninya. Tetap saja, selama ini tidak pernah ada satu orang pun yang mengulurkan tangan untuknya. Hatinya sedikit tergerak.
"Saya pamit pak, sekali lagi saya minta maaf. Permisi!" Sengaja Rain memberikan penekanan di akhir kalimatnya. Untuk membuat dosen itu sadar bahwa ucapkannya sudah tidak wajar lagi.
Baru saja Rain keluar dari ruangan Dafi, ponselnya berdering. Dari fans.
"Gue kasih lo waktu tiga menit, datang ke aula sekarang!! Lo tau kan apa konsekuensinya kalau lo terlambat?!"
Rain berlari sekuat tenaga, "astaga, keluarkan aku dari lubang neraka ini Tuhan"
"Sini lo!!!"
"Berani ngadu sekarang? Lo nggak inget sama apa yang udah gue bilang? Hum?" Fans meremas dagu Rain kasar.
"Mau rahasia lo gue bongkar? Soal uang sekolah lo yang berasal dari asuransi, padahal ayah lo sengaja bunuh diri. Gue yakin uang itu pasti di tagih balik dan lo tau apa yang terjadi berikutnya. Lo juga nggak lupa kan soal pekerjaan lo sekarang? Lo itu sampah buangan Rain!"
"Stop!! Berhenti---, kalian boleh bongkar ke semua orang kalau aku sering keluar malam, kalau menurut kalian pekerjaanku memang rendahan. Tapi tolong jangan bahas apapun tentang ayahku. Kalian boleh melakukan apapun asal jangan itu. Aku mohon---"
"Lo nggak pantes mohon Rain! Lo udah bohong sama semua orang di kampus ini. Lo nggak ada hak untuk minta ampun!!"
"Dimana letak kesalahannya? Saat pulang ke rumah aku menerima kabar ayahku sudah tiada. Apakah aku yang meminta dia untuk membunuh dirinya sendiri? Persetan dengan semua impian dan harapan, aku nggak mungkin terima uang itu kalau tau ayahku bunuh diri. Apa tipuanku, siapa yang aku bohongi? Salahkah melanjutkan hidup? Aku bahkan tidak pernah menyusahkan kalian. Salahkah menjadi pintar dan terkenal? Jika aku tahu akan seperti ini, aku tidak akan pernah ingin di lahirkan. Apa kalian akan membiarkanku melakukan ini pada kalian jika kalian ada di posisiku?"
Mereka semua diam, memilih memukuli Rain dan menendangnya ganas.
"Ini pelajaran yang harus lo terima, karena lo udah buat kita semua terima surat pernyataan pertama dari kampus" mereka tidak kenal ampun, Rain meringis.
"Apa-apaan kalian??!!" Dafi berlari mendekati Rain sedangkan mereka semua berhamburan meninggalkan Rain yang tergeletak di lantai.
"Araina? Kamu bisa dengar saya? Araina? Araina!!"
"P-pak Dafi? Pergi pak saya moh---"
"Araina, menikah dengan saya. Saya mohon"
Rain tersenyum, "menikah karena kasihan, terima kasih pak"
"Saya tidak mengasihani kamu Araina, saya mengasihani diri saya sendiri. Saya melihat kebodohan, penderitaan, dan kelemahan kamu. Saya tahu dengan jelas, tapi saya tidak bisa melakukan apapun untuk menjauhimu. Saya tidak bisa memikirkan cara lain selain membawamu kedalam hidup saya Araina. Kamu tidak perlu melanjutkan kuliah, kita tidak perlu mengumumkan pernikahan kita, kamu hanya perlu meraih tangan saya."
Lama Araina termenung, entah karena kesadarannya menurun atau karena kalimat Dafi yang begitu memasuki hatinya.
"Araina saya mohon"
"Pak, hidup saya selama ini tidak mudah, tapi saya bisa melaluinya. Jika saya menerima tawaran bapak, lalu semua pengorbanan, kerja keras, dan penderitaan saya selama ini mau di kemanakan? Saya tidak mungkin membuangnya begitu saja." dia mengingat masa lalunya, Isakan tangis Rain terasa menyayat hati Dafi.
"Araina---," Dafi menahan air matanya, "jangan membuat saya seperti ini, saya tidak pernah sekalipun memohon pada orang lain. Saya janji akan menikahi kamu dan membawa kamu jauh dari kehidupan mereka."
Pandangan Araina menggelap.
"Saya terima nikahnya Araina Endelweis binti Wijaya dengan mas kawin seperangkat alat sholat beserta uang tunai sebesar tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah di bayar tunai"
Otak Rain dipenuhi dengan Dafi, baru saja dia ingin meninggalkan aula untuk beristirahat di ruang ganti, Dafi menahan tangannya.
"Mau kemana?"
"Sa-saya, itu pp-mas mau ke toilet" Rain gemetar.
"Toilet? Ayo saya antar"
"Jaj-jangan!!"
"Kenapa? Kamu memangnya bisa kesana sendiri dengan gaun ini? Semua orang sedang makan, masa iya di ajak ke toilet dulu?"
"Sebenarnya saya mau istirahat sebentar pak eh! mas---"
"Kamu sebenarnya mau panggil saya apa? Mas? Pak? Atau pakmas? Kita sudah sepakat kemarin Araina" Dafi meletakan jasnya.
"Maaf mas,"
"Ayo saya antar" Dafi membantu mengangkat gaun Rain yang sangat panjang.
Meninggalkan keramaian, di ruangan ini mereka hanya berdua. Suasana itu membuat Rain berpikir tentang obrolan sebelum menikah lagi.
"Americano?"
"Iya, karena saya harus terjaga sepanjang malam." penuturan Dafi sukses membuat Rain tersedak dengan liurnya sendiri.
Rain melirik ke kiri dan kanan, hanya memastikan tidak ada yang mendengar yang baru saja di katakan suaminya itu.
"Mas, tapi---"
"Karena mempersiapkan semua ini dalam waktu singkat pekerjaan saya jadi sangat menumpuk."
Saat itu juga Rain tertampar realita, "ah---, sebenarnya apa yang kuharapkan?"
Apartemen Dafi sebenarnya sangat luas. Saat pertama kali Rain berkunjung, apartemen ini masih terlihat sangat kosong. Tapi hari ini terlihat sedikit lebih sempit karena di isi barang-barang Rain.
"Apa kita pindah apartemen saja? Atau kamu mau pindah ke rumah saya di dekat kampus?"
"Kita sudah sepakat untuk tidak terbuka di depan umum mas. Yang tahu kita menikah hanya keluarga besar saja sampai waktu yang belum di tentukan. Iyakan?"
"Maksud saya adalah kebetulan rumah itu rumah pribadi saya. Tidak ada yang tahu soal rumah itu karena baru saja selesai di bangun. Jaraknya beberapa kilometer dari kampus. Kalau kamu berkenan---"
"…lagipula apartemen ini tidak cukup luas, belum lagi nanti di isi dengan peralatan dapur dan sebagainya. Kamu ada niat masak kan?" Dafi menaikan alisnya, "ada kan?"
"Iya mas, nanti aku masak."
"Aku? Saya suka kamu bilang aku kamu. So, minggu ini kita pindah ke rumah baru kita. Saya berangkat ke kampus dulu. Kamu hari ini izin cuti kan?"
"Iya"
"Apa isi surat izinnya? Surat izin menikah atau---"
"Atau apa?" Rain mendongak, Dafi hanya membalas mengangkat kedua bahunya.
"Izin pertemuan keluarga, penting!"
Dafi mengangguk sambil mengusap puncak kepala Rain lembut, "syukurlah kalau penting"