Angin mendesis halus membelai daun pohon-pohon jati di sebuah area bumi perkemahan. Api unggun menari pelan di tengah selusin tenda yang berdiri agak berjauhan. Beberapa pemuda dan pemudi asik bernyanyi mengelilingi api unggun yang tidak besar itu dengan iringan sebuah gitar akustik. Beberapa yang lain beraktifitas di sekeliling tendanya masing-masing.
Seorang pemuda menghampiri seorang pemudi yang sedang asik ikut bernyanyi dengan beberapa temanya yang mengelilingi api unggun. Ia meraih tangan pemudi itu.
"Aji, apan sih...?" pemudi itu kaget.
"Sinta, temenin aku yuk." kata pemuda yang bernama aji itu.
"Kemana?" tanya Sinta
"Aku ada kejutan buat kamu."
"Sekarang?"
"Iya lah, masa taun depan."
"Oke..."
Sinta berdiri. Beberapa teman menimpali mereka dengan ledekan. Sinta dan Aji membalas mereka dengan ledekan juga.
Aji dan Sinta kemudian pergi. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju batas area bumi perkemahan. Nampaknya mereka adalah sepasang kekasih.
"Kita mau kemana?" tanya Sinta.
"Aku bakal tunjukin satu tempat spesial." jawab Aji.
"O, ya? Sesepesial apa?"
"Nanti kamu akan lihat sendiri."
"Kamu sering ke tempat ini?"
"Dulu, udah lama banget. Aku baru kesini lagi."
"Udah lama? Yikin tempat sepesial mu itu masih sama seperti dulu?"
"Aku tadi baru dari sana. Bahkan sekarang lebih bagus dari yang dulu."
Mereka terus melangkah mesra menyusuri jalanan dua tapak yang rapih tertata dengan susunan batu batu tipis.
"Itu suara air terjun?" Sinta memasang kupingnya untuk menyimak suara gemuruh yang samar-samar.
"Untungnya kamu datang pas hari sudah gelap." ujar Aji.
"Oh, jadi yang nyuruh Maya dan Lusi bikin aku sibuk itu, kamu?" Sinta menunjukan wajah kesal.
"Kalo kamu cepet nyampe, kamu bakal liat duluan air terjunya. Nanti suasananya akan berbeda."
"Kamu tuh, bikin banyak tanda tanya di kepalaku tau."
Sinta melambatkan jalanya. Ia terperangah melihat sebuah akar pohon besar melengkung seperti pintu gerbang.
"Wow... " takjub Sinta
Aji hanya tersenyum.
Mereka terus berjalan pelan memasuki gerbang akar itu. Rasa takjub Sinta semakin menjadi ketika sampai di jalan agak menurun dan sedikit berbelok setelah gerbang itu.
Dilihatnya sebuah lembah sedalam seratus meter yang tertata indah alami. Sungai berair jernih mengalir di bawahnya. Air terjun menggantung di dinding tebing lainya mencumbu sungai itu. Penerangan cahaya bulan purnama dan tata lerak lampu taman yang unik membuat tempat itu tampak eksotis.
Aji mendapati wajah Sinta berbinar senang. Sinta berlari kecil menuruni tebing lembah yang menurun landai itu. Aji berjalan mengikutunya sambil menatapi Sinta.
Sinta berhenti di bibir sungai. Ia menatapi air terjun di sebrang sungai. Tidak berapa lama Aji sampai di samping Sinta.
"Indah kan?" tanya Aji.
"Asli, aku seneng banget, Ji." ungkap Sinta. "Gak tau apa yang bikin aku seneng kalo liat air terjun. Rasanya gimana, gitu. Susah untuk di ungkapin." Sinta terus memandang air terjun itu.
"Ide untuk kita merayakan tujuh belas agustus di tempat ini adalah ideku."
Sinta menatap Aji. "Pantes dari awal aku ngerasa ada yang aneh dengan persiapan camping tujuh belasan taun ini" Sinta kembali menatap air terjun. "Kamu mengondisikan semuanya buat aku?" tanya Sinta.
"Buat siapa lagi? Aku gak punya yang lain." ucap Aji.
Sinta kembali menatap Aji. "Mulai deh... Ngerayu..." Sinta mencubit pinggang Aji.
"Adu... Beneran." Aji meringis.
"Bohong...!" cubitan Sinta masih menempel di pinggang Aji.
"Sumpah..." Aji mengacungkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya. "Berani disamber gledek, deh." ujar Aji.
Suara guntur menggelegar lambat seperti menggeram bersahutan agak lama kemudian hilang.
Sinta dan Aji terdiam. Mereka melihat kelangit malam. Sinta melepaskan cubitannya.
"Nah, lo..." kata Sinta.
"Ya tuhan, jangan bercanda. Kekasihku memang cuma Sinta."
"Aneh ya, bulanya purnama, tapi kok ada suara guntur ya?"
"Mungkin ada hujan atau mendung di tempat lain."
Aji dan Sinta saling tatap. Sejenak mereka saling diam. Kemudian Sinta kembali menatap air terjun.
"Apa yang bikin tempat ini spesial buat kamu?" tanya Sinta.
"Kata ibu, dulu Ayah melamar ibu di tempat ini." jawab Aji.
"Wow..."
"Kenapa?"
"Kamu tau yang aku rasakan sekarang bersama kamu ditempat seindah ini?"
"Apa?"
"Hah... Ternyata sikap so romantis kamu itu memang titisan dari ayahmu, ya."
Aji kemudian memegang kedua bahu Sinta. Diputarnnya tubuh Sinta hingga mereka kini berdiri berhadapan.
"Aku ingin kamu merasakan apa yang dulu pernah dirasakan oleh ibu ku."
"Maksudnya?" sinta penasaran.
Sambil tersenyum Aji merogoh kantong celananya. Lalu ia hendak mengelurkan sesuatu. Sinta hanya menatapnya. Namun tangan Aji seperti tersangkut sesuatu di dalam kantong celananya itu. Aji agak kesusahan menarik tangannya. ketika tangannya berhasil mengeluarkan kotak kecil berwara merah dari kantongnya, kotak merah itu terpental. Aji kaget. Sinta juga kaget.
Kotak merah itu menggelinding di atas batu-batu sungai lalu masuk ke air tidak terlalu jauh dari bibir sungai. Karena takut kotak itu terbawa arus sungai, Aji segera melompat menyusul kotak itu masuk ke air yang dalamnya selutut. Sinta tampak khawatir.
Aji membungkuk, tangannya menyasar dasar sungai sekitar tempatnya berdiri. Ia tampak sangat cemas. Sinta maju beberapa langkah.
"Kamu tenang aja di situ sayang. Aku akan mendapatkanya lagi."
Suara guntur kembali menggelagar pelan. Aji berhenti bergerak. Sinta tampak seperti menahan nafas. Sebentar kemudian Aji mengangkat tangannya.
"Dapet...!" Aji menunjukan kotak merah kecil di tangan kanannya.
Sinta melepas nafasnya. Kedua tangannya diletakan di dadanya sambil ternsenyum. Aji kembali menundukan badan untuk membersihkan kotak itu dari pasir yang mengotorinya.
Tiba-tiba Soka muncul pelan-pelan dari dasar sungai tidak seberapa jauh di belakang Aji. Sinta terperangah melihat Soka berjalan mendekati Aji yang masih menundukan tubuhnya.
"Aji...!" panggil Sinta.
"Tenang, sayang. Semuanya terkendali." sahut Aji.
"Sayang Itu di belakang, mu apa?" Sinta melihat kilatan cahaya bulan yang memantul dari kelewang yang ditenteng oleh Soka.
Aji berdiri menatap Sinta. Sinta menunjuk ke arah Aji yang menghalangi sosok Soka.
"Apa sayang?" Aji hendak memutar tubuhnya untuk menengok kebelakang.
Namun baru saja seperempat putaran, sebuah klewang menembus tubuh Aji dari belakang tulang rusuk kanan bawah hingga menyeruak di tengah dada kiri. Nafas Aji tersedak. Darahnya mengucur. Kotak kecil merah di tanganya terjatuh kembali ke air sungai.
Soka mencabut kelewangnya. Aji terjatuh menghantam Air sungai. Sinta berteriak histeris. Soka melangkah menuju Sinta.
"Tolong...! Tolong...!" Sinta segera berlari.
Soka hanya berjalan mengikuti arah Sinta berlari. Sinta terpontang-panting menaiki jurang yang tidak curam itu sambil berteriak-teriak minta tolong menuju tempat teman-temanya berkemah. Namun gemuruh suara air terjun dan angin yang mendebur mengurung suara teriakan Sinta. Soka melangkah dengan santainya menuju Sinta yang berlari. Darah segar masih menetes dari kelewang yang dijinjing Soka.