Hh... Hh... Hh... Hh... Hh..." Sinta terengah-engah berlari menaiki anak tangga yang tersusun dari batu-batu tipis di dinding lembah itu. "Tolong...! Tolong...!" suaranya terdengar parau.
"KAAKKK...!" suara gagak berteriak.
Kaki kiri Sinta terpeleset. Kaki kanannya tidak mampu menahan tubuhnya. Tanganya mencari pegangan. Tapi sayang, tangga yang tersusun dari batu-batu tipis itu tidak memiliki pagar.
"Oh... Tuhan...!" tubuh Shinta terhepas jatuh berguling-guling menuruni anak tangga itu.
"KAAKK...! KAAKKK...!" suara gagak berterik girang.
Soka menyeringai melihat Sinta terjatuh. Sinta tak mampu menahan tubuhnya yang terus berguling mendekati Soka yang sedang melangkah tenang menaiki anak tangga itu.
"BRUK...!"
Tubuh Sinta berhenti berguling di sebuah anak tangga yang lumayan lebar.
"Ah... Hh... Hah... " Sinta berusaha berdiri. "Akh...!" ia memegangi kaki kirinya yang terkilir. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat.
Soka bertambah dekat. Klewang yang dipegangnya berkilat memantulkan cahaya bulan. Sisa-sisa darah dari tubuh Aji masih menempel di kelewang itu.
Sinta menyeret tubuhnya dengan kedua tanganya untuk kembali menaiki anak tangga itu. Sudah lima anak tangga dengan susah payah dilaluinya. Tapi tiba-tiba tanganya tidak mampu menyeret tubuhnya.
Tangan kiri Soka telah menangkap kaki kiri Sinta. Sambil terrsenyum tipis soka pelan-pelan mengangkat kelewang di tangan kananya.
"Tolong...!" air mata menghujani pipi Sinta. Suaranya hampir tak terdengar. Dia meronta berusaha melepaskan kaki kirinya dari genggaman soka. Kedua tanganya berusaha keras menyeret tubuhnya dengan bantuan kaki kananya.
Tapi usaha Sinta hanya menghabiskan tenaganya sendiri. Soka mengangkat kaki kiri Sinta. Sinta hanya menjerit-jerit dengan suara yang hampir hilang. Dia sudah tak sanggup lagi meronta.
Kelewang Soka menebas paha kaki kiri Sinta. Sinta berteriak. Darah muncrat membasahi tubuh dan wajah Sinta. Soka melemparkan kaki kiri Sinta yang telah terputus dari paha Sinta ke dalam lembah itu.
Shinta tergeletak pasrah. Bibirnya gemetar. Wajahnya tampak menahan sakit yang tak terbayangkan. Tangan kiri Soka kemudian menjambak rambut Sinta. Sinta kesakitan memegang tangan Soka.
"Tolong, ampuni saya. Saya mohon..." rintih Sinta.
Soka tidak menggubris. Dia melangkah menaiki anak tangga itu sambil menyeret Sinta. Sinta meringis. Kulit kepalanya terasa seperti mau coplok.
"KAAKKK...! KAAKKK...! KAAKKK...!" si gagak berteriak.
Sekelompok muda mudi yang sedang bernyanyi diiringi gitar akustik dekat api unggun di area bumi perkemahan terdiam mendengar teriakan gagak yang rasanya sangat deket. Mereka saling tatap sebentar.
"Eh, jangan perno begitu, ah. Suara gagak di hutan, itu biasa." kata seorang pemuda.
"Santai aja, gue gak pernah denger ada setan makan manusia." ujar seorang pemudi.
"Jam berapa, nih?" tanya pemuda yang memegang gitar.
"Baru jam sembilan." jawab pemuda lain sambil melihat jam tangannya.
"Aji sama Sinta kemana, ya?" tanya pemudi lain.
"Biarin aja. Namanya juga dua sejoli." timpal seorang pemuda.
"Gue gak enak hati denger tuh gagak." kata pemudi lain.
"Gak usah khawatir. Mereka udah sama-sama gede. Sama-sama paham." ujar pemuda yang memegang gitar.
"Lagian acara lamaranya juga masih satu jam lagi." Kata seorang pemuda.
"Keluarga besar mereka juga belom dateng." tandas seorang pemudi.
"Ayolah... Kita berdendang lagi, bro." ujar seorang pemudi
"Setuju. Kita ada di sini untuk turut bahagia atas acara tunangan mereka yang akan segera diselenggarakan." tutut seorang pemuda.
"Eh, bungaku, dong. Boomerang." rikues pemuda lain pada pemuda yang memegang gitar.
"Boleh... Boleh...!" kata beberapa dari meraka hampir bersamaan.
"Ok...! Putar....!" teriak pemuda yang memegang gitar sambil memulai memetik gitarnya memulai intro.
Kemudian mereka mulai bernyanyi kembali. Seorang dari mereka menambahkan kayu ke dalam api unggun.
Perkemahan itu tampak ramai fan meriah. Lusinan pemuda dan pemudi membantu persiapan acara lamaran Sinta dan Aji. Beberapa dari mereka menyiapkan hidangan dan minuman. Beberapa lagi menyiapkan pengeras suara, beberapa menyiapkan panggung kecil setinggi lutut.
"KAAKKK...!" si gagak berteriak lagi satu kali.
Suara gitar dari para pemuda dan pemudi di sekitar api unggun terdengar samar-samar. Sinta tak berdaya di seret oleh Soka.
"Bungaku.... Kudengar panggilmu. Bungaku... Akupun rindu." suara lirik lagu Boomerang terdengar sayup-sayup.
Soka berhenti di tikungan jalan dua tapak yang tersusun dari batu-batu tipis di bawah akar pohon besar yang terbentuk seperti pintu gerbang.
"Tolang... Lepaskan saya... Tolang..." rintih Sinta yang tampak lemas dan pucat.
Tangan kiri Soka mengangkat tubuh Sinta dengan jambakan yang semakin kencang di kepala Sinta. Sinta meringis tak berdaya.
"Maafkan.... Ku harus pergi..." lirik lagu masih terdengar sayup.
Soka menempelkan kelewangnya di leher Sinta. Sinta terpejam tak berdaya. Kelewang Soka menggorok leher Sinta. Suara nafas Sinta tersedak-sedak oleh darah yang menyeruk memancur dari tenggorokanya.
"Mengejar sebuah mimpi yang berarti..." lirik lagu itu masih berlanjut.
Kepala Sinta terpisah dari tubuhnya. Darah berceceran di tanah, di batu, di rumput, di pakian Soka dan Sinta. Tubuh Sinta tersungkur bersimbah darah tanpa kepala. Sebentar Soka memandang tubuh itu, lalu menatap wajah Sinta yang matanya terbelalak dan mulut menganga di tangan kirinya.
Soka kemudian berjalan melewati akar pohon besar yang berbentuk pintu gerbang itu sambil tangan kirinya menenteng kepala Sinta. Tubuh Sinta dibiarkanya tergeletak di tikungan dekat akar pohon yang berbentuk pintu gerbang itu.
Gagak berterik-teriak cukup lama. Suara guntur masih samar-samar terdengar kejar mengejar dari kejauhan. Bulan masih terang memandang Soka. Soka melemparkan kepala Sinta sembarangan di jalan dua tapak yang tersusun dari batu-batu tipis itu setelah agak jauh dari akar yang berbentuk pintu gerbang.
Soka berjalan tenang di luar area bumi perkemahan yang tampak ramai. Kelewangnya masih berlumuran darah.
"Jalani.... Dan jangan bersedih...
Hapuslah.... Air matamu....
Lepaskan.... Risau hatimu...
Pastikan semua mimpi
kan berarti...."
Senandung dendang lirik lagu bungaku milik Boonerang yang dinyanyikan oleh beberapa pemuda dan pemudi yang mengelilingi api unggun itu mengeringi langkah Soka.
"Hayati penting arti mu bagiku....
Bintang pun tak dapat
menggantikan...
hadir mu...."
Pemuda yang memegang dan memainkan gitar akustik itu berhenti bernyanyi. Sementara teman-temanya terus berdendang, dia memandangi bayangan Soka yang berjalan samar di antara pohon-pohon dan ilalang di bawah sinar bulan, di luar batas aerea bumi perkemahan.
Seorang pemudi menyadari pandangan pemuda yang bermain gitar akustik itu. Kemudian dia menoleh ke arah pemuda itu memandang. Tapi Soka sudah menghilang ditelan pohon-pohon besar dan cahaya bulan yang tiba-tiba meredup. Pemudi itu kemudian menatap si pemuda. Pemuda itu menatap si pemudi sambil terus memainkan gitarnya. Mereka tidak memberikan isyarat apa-apa. Api unggun kembali meliuk karena seorang pemuda menambahkan kayu bakar. Bunga api menyeruk ke udara. Mereka terus bernyanyi.
"KAAKKK...! KAAKKK...! KAAKKK...!" suara gagak berteriak menjauh dari bumi perkemahan itu.