"Di, makasih ya udah nganterin gue sampe rumah."
"Sama-sama, She. Yang penting lo bisa pulang dengan selamat," ucap Adi sebari mengacak-acak rambut Sheila hingga kusut.
"Di apaan, sih. Gue belom mandi. Kalo lo acak-acak rambut gue kayak gini, entar malah makin rusak," kata Sheila kesal sebari merapikan kembali rambutnya.
"Ya udah sana. Lo pasti udah ditunggu sama tante Ratna dan om Farel."
"Oke. Kalo gitu gue masuk dulu. Sekali lagi makasih."
Adi hanya mengangguk dan mengulas senyum kecil. Begitu juga dengan Sheila. Jika boleh jujur, Adi sangat senang ketika melihat senyum yang terbit dari kedua sudut bibir gadis itu.
Sering kali ia merutuki dirinya sendiri. Pasalnya, ia bukanlah laki-laki normal yang suka kepada lawan jenis.
Adi sama seperti Brama dan Aji. Laki-laki dengan tipe lebih menyukai sesama jenis.
"Gue pamit," ujar Adi.
"Hati-hati."
Adi mengacungkan jempol tangannya dan berjalan keluar dari gerbang rumah Sheila yang sangat tinggi.
"Huh.. Gue pengen normal. Tapi kenapa rasanya susah banget? Kalau gue normal, Sheila adalah cewek pertama yang gue suka."
***
"Assalamualaikum, Sheila pulang."
"Waalaikumussalam. Sayang!."
Ratna yang baru saja menuruni tangga langsung berlari dan memeluk tubuh Sheila yang masih berdiri di ambang pintu.
"Sayang, maafin Mama, ya," ujar Ratna sebari menangis di pelukan sang putri.
"Nggak, Ma. Sheila yang harusnya minta maaf. Karena Sheila udah bikin Mama dan papa khawatir," jawab Sheila.
"Nggak, Sayang. Ini salah Mama. Mama terlalu egois karena punya pikiran buat jodohin kamu. Mama janji, Mama nggak akan ikut campur dengan urusan masa depan kamu."
"Mama serius?," tanya Sheila tidak percaya.
"Mama serius, Sayang. Mama pengen hidup kamu bahagia. Mama yakin, kalau kamu pasti nggak akan bikin Mama kecewa."
"Aduh, pagi-pagi udah pelukan aja."
"Papa." Sheila melepas pelukannya dengan Ratna dan berlari ke arah Farel yany baru saja datang.
"Halo, Sayang. Putri Papa yang cantik," ucap Farel sambil memeluk Sheila hangat.
"Maafin Sheila ya, Pa. Sheila udah bikin Mama dan Papa khawatir."
"Enggak, Sayang. Kita berdua yang harusnya minta maaf."
Ratna ikut memeluk putri dan suaminya dari belakang. Sheila bersyukur, karena pada akhirnya kedua orangtuanya tidak akan lagi menjodohkan Sheila dengan orang pilihan mereka.
"Kalo gitu kamu mandi, gih. Kita sarapan bareng," ujar Ratna.
"Oke, Bos. Sheila ke kamar dulu, ya. Muah, muah." Sheila mengecup kedua pipi Ratna dan Farel bergantian. Lalu ia menaiki tangga untuk pergi ke kamar yang semalam ini tidak ia tempati.
"Ini semua karena Aksa. Gue harus bilang makasih sama dia," ucap Sheila dalam hati selama menaiki tangga.
***
Adi melangkah menyusuri trotoar. Setelah mengantarkan Sheila ke rumah, ia mampir sebentar ke warung bubur ayam.
Perutnya berontak dan cacing-cacing yang bersemayam sepertinya sudah minta diisi.
"Pak, buburnya satu porsi, ya," ucap Adi dan mengambil tempat duduk.
Sebari menunggu pesanannya, sesekali ia memainkan ponsel walaupun hanya sekedar melongok akun sosial media, atau membalas pesan yang belum sempat terbalas.
"Brama. Dia ngapain sms gue?," batin Adi.
Matanya memicing ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh kekasih sahabatnya itu.
"Lo jangan pernah bilang ke Sheila, kalau gue ini gay."
Adi tersenyum miring dan menaruh kembali ponselnya di atas meja, tanpa ada niat untuk membalas.
"Ini Kak, pesanannya."
"Makasih," ujar Adi kepada tukang bubur si penjual bubur yang baru saja menaruh satu mangkuk pesanannya.
Adi menyantap menu sarapannya dengan lahap dan tenang. Padahal bisa saja Brama yang jauh di rumahnya tengan was was karena takut rahasianya terbongkar.
"Brama, kunci hidup lo ada di gue. Kalau gue mau, gue bisa bongkar semuanya di depan Sheila," batin Adi.
***
"Apa? Jadi kita mau liburan ke New York?."
"Iya, Sayang. Kamu mau kan?."
Sheila mengangguk cepat tanpa menunggu lama. Ia senang, karena bisa kembali ke negara tempat saudara-saudaranya tinggal.
"Sheila mau, dong. Udah lama nggak ke sana. Kangen banget sama New York," jawab Sheila dengan semangat 86.
"Kalau gitu kita berangkat nanti lusa," putus Farel.
"Oh ya Pa, Ma. Setelah dari New York, boleh nggak Sheila ke Bandung?."
"Ke Bandung? Ngapain, Sayang?," tanya Ratna.
"Ketemu Aksa, Ma. Sheila juga udah lama nggak ketemu dia."
"Aksa anaknya bude Arumi?."
"Iya. Dia kan sekolah di Bandung. Katanya dia juga beli rumah di sana."
"Kalo Papa sih boleh. Asal kamu jangan bikin susah Aksa di sana," kata Farel.
"Siap, Bos! Sekarang Mama. Gimana? Ngijinin nggak?."
"Hm.. Kalo Papa kamu kasih ijin, Mama juga pasti kasih ijin."
"Yes! Makasih Ma, Pa," ucap Sheila menatap satu per satu orangtua nya.
"Tapi inget, kamu jangan nakal. Kasian Aksa kalau harus dibikin repot sama kamu," imbuh Ratna mengingatkan.
"Iya, Mamaku sayang. Sheila nggak akan nakal selama di sana."
"Ya sudah, lanjutin lagi makannya."
Sheila mengangguk dan menghabiskan makanannya dengan cepat. Setelah ini ia akan memberitahu Aksa untuk kedatangannya.
"Makanan Sheila udah abis. Kalo gitu Sheila ke kamar dulu. Bye Ma, Pa."
Ratna dan Farel menggelengkan kepalanya takjub.
"Anak kamu, Mas," ujar Ratna.
"Anak kamu juga."
Mereka berdua terkekeh. Sheila yang semasa kecilnya sangat manja, kini telah berubah menjadi anak yang keras dan memiliki prinsip yang kuat.
"Ma, gimana kalau kita bikin adik buat Sheila?."
***
Sheila berlari menuju kamarnya. Ia segera meraih ponsel yang sedari tadi berada di atas nakas.
"Eh, tapi kalau gue kasih tau Aksa, nanti nggak jadi surprise dong? Apa gue telpon bude Arumi aja, ya?."
"Iya deh, telpon bude aja."
Sheila duduk di atas kasur dan mengotak atik ponsel untuk mencari nomor budenya itu.
"Nih dia," gumam Sheila setelah menemukan nomor Arumi.
"Halo, Bude," sapa Sheila setelah Arumi mengangkat telponnya.
"Halo, Sayang. Apa kabar?," jawab Arumi di seberang sana.
"Sheila baik, Bude. Bude sama Pakde gimana?."
"Kami baik, alhamdulillah. Mama dan Papa kamu juga baik, kan?."
"Baik Bude, alhamdulillah. Oh iya Bude, Sheila boleh minta alamat Aksa di Bandung? Soalnya Sheila mau liburan ke sana."
"Boleh, dong. Nanti Bude kirim lewat sms, ya."
"Oke, Bude. Kalau gitu, Sheila tutup ya telponnya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Sheila meremas ponselnya diiringi dengan senyuman lebar.
"Lusa ke New York, nanti ke Bandung. Bener-bener indah hidup gue."
Gadis itu bermonolog dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Gue mau sms Brama dulu, sekalian bilang sama dia kalau beberapa hari nanti gue bakal tinggal di New York."
Sheila mengirim pesan kepada Brama, yang isinya memberitahu sekaligus menanyakan kabar Brama.
Pasalnya, laki-laki yang menjadi kekasihnya itu sama sekali tidak mengirim pesan. Terlebih ketika Sheila pergi dari rumah dan meninggalkan ponselnya di dalam kamar.
Untungnya Sheila bukanlah tipe wanita yang posesif dan agresif.
"Apa? Kamu mau ke New York? Kamu mau pergi ninggalin aku?."