Aldo berjalan gontai di samping Tina. Kaki pemuda itu seolah berat untuk melangkah. Bahunya turun beberapa senti, membuat punggungnya terlihat bungkuk. Dia mengayun-ayunkan pelan kedua tangannya bergantian. Seperti orang yang telah kehilangan semangat hidup.
Sangat berbeda dengan gadis di samping Aldo yang berdiri tegap dan berjalan dengan mantap. Jika bukan untuk menyamakan langkah kaki mereka, Tina sekarang sudah jauh di depan. Akan tetapi, seniornya yang dua tingkat lebih tua ini pasti akan langsung kembali ke kamar pengapnya jika Tina sedikit lengah.
Kepala Aldo menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan orang-orang di jalanan. Begitu manik coklatnya menangkap orang-orang yang berfoto di luar pagar Benteng Vredeburg, Aldo hanya bisa tersenyum tipis. Hari bahkan baru dimulai, tetapi dapat dilihat orang-orang yang berlalu lalang sepanjang Jalan Malioboro.
"Ayo kita sarapan dulu. Aku akan mentraktirmu," ujar Aldo kala maniknya menangkap warung gudeg di ujung gang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Perut Aldo bergemuruh pelan, seolah ada konser di dalam yang mengguncang organ pencernaannya. Karena menyelesaikan episode terakhir dari 'Pemain Eksekutif', Aldo jadi tidak ingat makan malam. Dia tidak ingin dipaksa pergi ke kelas tanpa mengisi perut terlebih dahulu. Bisa-bisa Aldo kehilangan nyawa karena menggunakan energi berharganya untuk mendengarkan dosen.
"Apa maksudmu mampir untuk sarapan?! Lihatlah sekarang sudah pukul sembilan kurang dua puluh! Kau ingin membuatku terlambat berapa menit, huh? Jarak dari sini ke kampus kita itu memakan waktu tiga puluh menit jika mengikuti kecepatanmu merangkak, tahu!" Tina berseru kesal atas ide Aldo. Tangan gadis itu kini terlipat, bersedekap di depan dadanya. Dia menatap Aldo tajam, sedangkan yang ditanya hanya sibuk melihat-lihat ada jenis makanan lain apa di sana.
"Ayolah adik sepupuku yang manis. Aku belum makan dari kemarin malam. Bagaimana jika abangmu yang tampan ini meregang nyawa saat kelas? Nanti kau akan merindukanku," Aldo berusaha membujuk, walau dengan kata-kata yang berlebihan serta tidak masuk akal.
Tina mendecih mendengar omong kosong yang dituturkan Aldo, senior merepotkan sekaligus sepupu satu-satunya. Bukan salah dia jika Aldo tidak makan malam kemarin. Pemuda itu sudah besar, seharusnya sudah bisa mengurus jadwal makannya sendiri.
Tina menggelengkan kepalanya kuat. Dia tidak peduli Aldo belum makan dari kemarin malam, sore, siang, ataupun pagi. Baginya yang terpenting sekarang adalah tiba di kelas sebelum dosen mereka tiba. Jika Aldo memang berakhir tewas di kelas, ya sudah. Tina tinggal menghanyutkan mayatnya di Sungai Boyong atau Pantai Parang Tritis. Tidak ada hal yang sulit dari pekerjaan ini.
"Tidak ada sarapan, ayo cepat jalan!"
Setelah memberi perintah, Tina kembali melangkahkan kakinya. Kedua tangan gadis itu masih bersedekap. Pada setiap langkah yang Tina ambil, terdengar suara 'tak' yang jelas tanda dia menghentakkan sepatu boots-nya pada jalanan. Sayang ketika sudah beberapa jalan Tina melangkah, Aldo tidak kunjung menyusul. Jangankan menyusul, suara langkah kaki pemuda itu pun tidak terdengar, membuat Tina mau tidak mau berbalik.
Amarah Tina kembali datang kala melihat pemuda itu masih berdiri di tempatnya dengan tangan yang ikut bersedekap. Dagu Aldo terangkat sedikit. Manik coklatnya menatap rendah Tina yang tentu lebih pendek dari dirinya. Mendapatkan perlakuan menantang Aldo, Tina spontan berjalan kembali dan meninju perut pemuda itu.
Tubuh Aldo sedikit melengkung ketika mendapat serangan mendadak Tina. Dia terbatuk pelan karena tanpa sengaja tersedak ludahnya sendiri ketika tinju itu mengenai perutnya. Dia tidak bermaksud membuat adik sepupunya marah. Yang Aldo inginkan hanya seporsi makanan, gudeg lebih tepatnya. Aldo sedari tadi sudah membayangkan nasi dengan sayur nangka dan tambahan telur pindang. Nikmat sarapan mana lagi yang harus dia duakan?
"Ayolah, kita sarapan dahulu. Sarapan itu tidak lama, hanya lima menit. Tidak ada orang di dunia ini yang makan lebih dari lima menit!" pinta Aldo dengan wajah memelas.
"Sebenarnya, hanya orang-orang aneh sepertimu-lah yang hanya butuh lima menit untuk makan!" Tina membantah jawaban Aldo dengan nada bicara yang masih kesal.
Gadis itu menatap Aldo jengah. Rambut ekor kudanya bergerak ke kanan dan ke kiri kala dia menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah Aldo. Apa sebaiknya sekarang saja Tina menghanyutkan Aldo di Sungai Boyong?
"Tin, Tin, ayolah. Kau tahu? Dari tadi kita berdebat sudah menghabiskan waktu lima menit! Kalau kau menurut padaku untuk sarapan, kita sudah berjalan kembali ke kampus! Tenang saja, abang tampanmu ini akan mentraktirmu!" Sekali lagi, Aldo membujuk Tina agar masuk ke dalam perangkapnya.
Memang benar Aldo hanya membutuhkan waktu lima menit untuk makan. Akan tetapi, dari tempat mereka sekarang ke tempat warung gudeg itu berada ditambah proses penyajiannya sudah memakan waktu lima sampai sepuluh menit. Ketika sudah selesai makan, maka kelas akan dimulai. Jika mereka berlari pun dari sini ke kampus akan membutuhkan waktu lima belas hingga dua puluh menit. Dengan begitu, Aldo tidak perlu mengikuti kelas. Ide yang benar-benar brilian!
"Cih, baiklah. Setelah makan aku tidak ingin mendengar alasan apa pun! Kita tetap masuk walau terlambat satu jam! Atau tidak, kau akan kubunuh dan kucincang! Lalu tubuhmu kuhanyutkan di Sungai Boyong!" Tina menyipitkan matanya, menatap tajam pada Aldo yang berusaha mengalihkan pandangan. Satu tangan gadis itu sudah melepaskan diri dari posisi bersedekap. Telunjuk Tina terulur, menunjuk tepat pada hidung Aldo.
Aldo menatap Tina dengan pandangan memelas. Kalimat Tina membuat dia seolah kehilangan nyawa saat itu juga. Ternyata apa pun yang dia lakukan, Aldo tetap harus mengikuti kelas. Cobaan macam apa ini? Walaupun terlambat satu jam, dia tetap harus masuk? Pasti sangat memalukan!
Belum sempat Aldo menyampaikan keberatan, Tina dengan tanpa permisi menarik tangan Aldo menuju warung gudeg. Seperti kata Aldo, terlalu banyak berdebat hanya akan membuang waktu mereka. Jadi sebelum Aldo sempat menyampaikan ancaman, pembelaan, atau sejenisnya, dia akan menyeret Aldo ke tempat yang paling ingin pemuda itu datangi hari ini.
"Tin, whoa, tu-tunggu!" Aldo yang tiba-tiba ditarik menuju warung gudeg spontan melangkahkan kakinya dengan cepat. Tina nyatanya berlari untuk mengajak Aldo ke sana, membuat pemuda itu tidak siap. Hampir saja dia terjungkal beberapa kali karena menyesuaikan kecepatan dengan Tina.
Tina menulikan telinganya kala mendengar Aldo protes. Mustahil Tina tidak tahu niat busuk Aldo dibalik ajakan sarapan ini. Aldo bukan tipe orang yang dengan mudahnya mentraktir orang lain. Jika dia mentraktir makanan, pasti ada sesuatu yang sedang dia rencanakan. Hal itu menjadi semakin jelas ketika Aldo meminta waktu sebentar.
Dalam waktu sekejap mata, kedua saudara sepupu tersebut tiba di warung gudeg. Setelah memesan dua porsi gudeg sesuai dengan bayangan masing-masing, mereka berdua duduk di bangku yang telah disediakan. Sembari menunggu gudeg pesanan datang, Tina mencomot sate telur puyuh di atas meja sedangkan Aldo sibuk berkelana. Pikiran dan matanya, bukan tubuhnya.
Perhatian Aldo teraih pada sosok anak perempuan yang berjongkok tidak jauh dari warung gudeg. Gadis itu berusia sekitar sepuluh tahun. Rambutnya dikepang dua dengan hiasan ikat rambut kerang. Gadis itu berjongkok, seolah sedang melihat sesuatu yang menarik di pagar bangunan. Tiba-tiba saja dia berbalik menghadap warung gudeg tempat Aldo sarapan.
"Bunda, Rini dapat keong! Kenapa bisa ada keong di sini?" tanya gadis kecil bernama Rini itu pada wanita yang duduk tidak jauh dari tempat Aldo berada. Tangan gadis itu terangkat, menunjukkan sebuah keong berukuran sedang yang sedang dia pegang.
Wanita yang dimaksud hanya tersenyum maklum. Dia menggelengkan kepalanya pelan sebelum berujar, "Rini, jangan memegang keong seperti itu. Nanti tanganmu kotor. Cepat kemari, pesanan kita sebentar lagi akan datang."
Mendengar pesanannya sebentar lagi akan matang, Rini menjadi bersemangat. Dia meletakkan kembali keong itu ke tanah dan berlari ke tempat ibunya berada. Gadis itu langsung duduk manis di bangku kosong di samping sang ibu, menatap pedagang gudeg dengan antusias.
Aldo tersenyum tipis. Anak-anak terlihat sangat menggemaskan di usianya. Dahulu ketika Tina masih anak-anak, dia juga menggemaskan seperti gadis kecil itu. Sayang sekarang Tina sudah berubah menjadi monster menyebalkan. Tanpa sadar, Aldo merinding.
"Apa yang kau pikirkan? Tiba-tiba tubuhmu gemetar begitu?" tanya Tina yang menangkap keanehan Aldo secara tak sengaja. Dia dari tadi sibuk memakan sate telur puyuh hingga tidak mengawasi sekitar. Ketika selesai menghabiskan satenya, Tina malah disuguhi pemandangan Aldo yang gemetar. Aneh sekali. Apa yang dipikirkan pemuda itu?
"Tidak ada. Hanya membayangkan bagaimana bisa anak kecil menggemaskan yang dahulu aku kenal telah berubah menjadi wanita menyeramkan," Aldo berujar bingung. Ia menggelengkan kepalanya, seolah tidak habis pikir dengan perangai Tina sekarang. Walaupun ....
"Seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Bagaimana bisa abang sepupu yang aku banggakan dahulu berubah jadi salah satu beban masyarakan seperti ini." Tina memutar bola mata malas. Dia mengambil sebuah sate telur puyuh untuk mengurangi rasa kesalnya yang setiap detik meningkat. Jika rasa kesal Tina memiliki batas maksimum, sudah dia jamin Aldo tidak akan hidup lagi sekarang.
"Mas, mbak, empun paben mawon, monggo didahar gudege (jangan bertengkar saja, ayo dimakan gudeg-nya)," ujar penjual gudeg itu ramah.
Aldo tersenyum ketika menerima gudeg pesanannya. Sebagai pujakesuma---putra Jawa kelahiran Sumatra---Aldo masih paham beberapa bahasa jawa baik ngoko ataupun kromo. Ia menganggukkan kepala seraya berujar, "Matur nuwun, mbah (Terima kasih, nek)."
Aldo tidak lagi memedulikan Tina. Yang ada di pandangan dan pikirannya sekarang adalah gudeg yang menggugah selera. Daripada berdebat dengan sang sepupu, lebih baik dia sarapan. Perut Aldo tidak sudah bergemuruh sedari tadi. Dia sudah tidak dapat menahan perintah perutnya.