Suara decitan pintu membuatnya sedikit meringis, namun kala pintu sudah terbuka lebar Lyora menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.
Deg!
Lyora tak tau apa yang harus ia lakukan, tatapannya terpaku pada seorang pria paruh baya tanpa sehelai benangpun tengah tergantung lemas diantara dua tiang kokoh, jangan lupakan ada banyak luka sayatan di tubuhnya serta keadaan yang begitu memprihatinkan, apa Sean yang melakukannya?
Sean— pria itu tampak mengalihkan arah pandangnya dan saat tatapannya bertemu dengan sesosok wanita yang begitu ia takuti kehadirannya di tempat ini, Sean mengumpat dalam hati atas kecerobohannya sendiri.
"Robert, tutupi tubuhnya!!" titah Sean sebelum ia bergegas menghampiri Lyora yang masih mematung, menatap pria yang tergantung lemas diantara dua tiang besi.
Robert tau apa yang harus ia lakukan kala ia melihat kekasih tuannya datang, tentu Sean tak ingin kekasihnya itu melihat tubuh toples pria lain.
"Sayang, bukankah aku menyuruhmu untuk istirahat, hm?" Sean bertanya dengan nada yang begitu tenang, tapi tidak dengan hatinya.
Sean menyentuh pundak Lyora hendak merangkulnya dan membawa wanita itu pergi, namun—
Plak!
Lyora menepisnya kasar, Sean tak akan marah toh ini kesalahannya.
Baru Lyora berbalik hendak pergi, "Shhhh..." ringisnya sembari memegangi perutnya.
"Sayang!!" Tanpa memperdulikan Lyora yang mungkin akan menamparnya nanti, Sean membopong tubuh mungil wanita itu, ia tak tau ada apa dengan Lyora namun Sean sadar jika wajah wanitanya itu begitu pucat pasi, ia yakin Lyora sedang tidak baik-baik saja.
Tak ada perlawanan dari Lyora, nyeri di perutnya, pening dikepalanya membuatnya tak dapat berkutik lagi, ia merasa di dalam perutnya ada sesuatu yang meremasnya, entah apa itu. Alhasil ia hanya pasrah dengan memejamkan matanya dan menyenderkan kepalanya di dada bidang Sean, Lyora seolah melupakan kesalahan Sean beberapa saat yang lalu.
Setelah sampai di kamar tempat semula Lyora berada, Sean mendudukan wanita itu terlebih dahulu di pinggir ranjang, lantas ia berlari masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian pria itu kembali dengan membawa air hangat serta handuk di genggamannya.
Tanpa ragu, ia berjongkok di hadapan Lyora, tak ada pergerakan dari wanita itu. Wajahnya masih tampak pucat dengan tangan yang memegangi perutnya sendiri.
Dengan telaten Sean membersihkan kaki telanjang Lyora menggunakan handuk yang telah ia masukan ke dalam air hangat, setelah dirasa kedua kakinya bersih, lantas ia mencoba membaringkan tubuh Lyora.
Mungkin Lyora masih dalam keadaan shock hingga wanita itu bahkan tidak melakukan apapun selain diam.
"Apa masih sakit?" tanya Sean khawatir. Lyora tak memberikan tanggapan apapun, wanita itu memilih untuk memejamkan matanya meski Sean tau Lyora tidak benar-benar tertidur.
Lengan kekarnya terulur menyingkapkan baju yang Lyora kenakan, mengusap perutnya dengan gerakan perlahan hingga menghasilkan rasa nyaman bagi Lyora.
"Sayang..." lirih Sean.
Sean tak tau harus memulai darimana, namun dirinya pun harus menjelaskan semua ini pada Lyora, "Prihal pria yang kamu lihat di—
"Tolong jangan bahas dulu itu," tukas Lyora tanpa membuka matanya. Ia tak memiliki cukup tenaga walau hanya sekedar beradu argumen saja.
"Apa perlu ku panggilkan dokter?" tanya Sean memberi penawaran pada wanitanya itu. Ia hanya tak ingin Lyora bertambah murka padanya jika dirinya dengan tidak tak tau malu memanggil dokter tanpa persetujuan dari Lyora.
Lyora menggelengkan kepalanya, "Hanya nyeri mentruasi di tanggal pertama ku."
Sepertinya Sean melupakan satu hal, jika memang benar Lyora sering merasa kesakitan seperti ini setiap hari pertama dan keduanya mentruasi. Pantas saja mood Lyora akhir-akhir ini naik turun, ternyata inilah penyebabnya.
Sean membuka jas dan kemejanya hingga pria itu bertelanjang dada, baru saja pria itu naik ke atas tempat tidur hendak membaringkan tubuhnya—
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lyora ketus.
Sean menatap Lyora tak percaya, "Tidur bersamamu sayang."
Lyora memutar bola matanya malas, ia memang marah pada pria yang ada disampingnya itu, namun ia juga tak dapat membiarkan Sean atau memarahi Sean seperti yang ia inginkan.
"Setidaknya bersihkan dirimu terlebih dahulu!"
Sean menghembuskan nafasnya lega, ia pikir Lyora akan mengusirnya dan mengatakan tak ingin tidur dengannya.
Cup!
Satu kecupan mendarat di bibir Lyora, "Tunggu aku sayang."
Sean berlari memasuki kamar mandi, ia bahkan mengaku malas melakukan ritual yang seharusnya ia lakukan di pagi hari. Pukul tiga dini hari ia harus berada di bawah guyuran shower demi dapat tidur bersama sang kekasih. Sungguh, apapun yang Lyora mau akan Sean lakukan tanpa harus ada paksaan. Terkecuali jika Lyora ingin lepas darinya, tentu Sean tak akan mengabulkannya. Jika sesuatu sudah menjadi miliknya akan tetap menjadi miliknya— itulah Sean.