Malam itu kota Wina dihebohkan dengan pembunuhan sepuluh penghuni apartemen Vien. Kesemuanya tewas secara mengenaskan dengan tubuh biru membusuk seperti habis diketemukan tiga hari. Padahal peristiwa itu baru terjadi beberapa jam yang lalu. Sangat mengerikan.
Dan kesemua korban pembunuhan itu tidak lain adalah anak buah dari Christ, termasuk Jeremy dan lainnya yang juga tinggal sementara di apartemen itu. Mayat mereka ditemukan bertumpuk di unit Jeremy.
"Arrggh, sial!! Aku semakin kesulitan mengendalikan diri!!" geram Christ.
Setelah membunuh bawahannya sendiri untuk mengambil paksa energi jiwa mereka, Christ memang kenyang. Tapi dia juga merasa sangat bersalah.
Selalu seperti ini. Kalau Christ sudah sangat lapar, dia bisa saja membunuh siapa saja yang ada didekatnya. Tanpa pandang bulu. Bahkan orang kepercayaannya sendiri.
Dan sekarang, Christ sedang dalam perjalanan kembali ke resortnya di Arlberg. Bukan untuk kabur, tapi dia butuh menenangkan diri. Untuk masalah pembunuhan itu, Christ sudah memanggil pasukan pembersih khusus untuk menutupi kasus itu agar jangan sampai diusut polisi lebih lanjut. Christ sudah jauh lebih berpengalaman untuk urusan seperti itu.
Christ lantas mengalihkan kekalutannya dengan menatap kalung Liza di genggamannya. Lalu menyimpan kalung itu di kantong dalam jasnya.
Sesekali Christ menatap keluar jendela mobil. Melihat suasana pemandangan pegunungan yang gelap. Lalu menghela napas dalam-dalam.
Lalu tanpa sadar, satu titik air bening meluncur turun dari ekor mata Christ. Raut wajahnya yang semula datar, seketika berubah drastis menjadi sendu.
Namun ekspresi kesenduan itu mendadak tergantikan dengan kemarahan, saat Christ kembali menerima pesan dari Jin kelelawar gaib yang baru saja berbisik padanya.
"Raja Devilaro selalu tahu segalanya. Jadi jangan coba-coba untuk melawan perintahnya."
GREP!
Tanpa kata-kata, Christ langsung melampiaskan amarahnya yang tersulut itu dengan menggenggam Jin kelelawar tak kasat mata tersebut sampai tubuhnya hancur menjadi debu beterbangan.
*
Begitu sampai di resort, Christ segera menuju kamar, hendak melakukan ritual astral projection untuk menyeberang ke dimensi astral tempat Raja Leon berada.
Setelah membuka gerbang gaib dengan gerakan dan mantra, Christ membaringkan diri di ranjang. Kemudian roh Christ pun perlahan keluar dan memasuki gerbang gaib itu untuk memulai perjalanan astralnya.
Roh Christ terbang cepat melewati hutan belantara di dimensi astral, dan akhirnya sampai di istana kerajaan Jin.
Istana bergaya Eropa abad pertengahan itu tampak megah dan sangat besar. Ornamen dan bangunannya di dominasi oleh warna merah dan hitam. Dengan lampu obor merah yang menyala, memberikan kesan horor namun tetap berkelas.
Memasuki aula tempat singgasana Raja Leon, disitulah semua curahan seni seperti tertumpah dengan sangat baik. Patung, hiasan, dan lukisan membaur dengan sangat baik. Gambar lukisan yang dibuat dari jejak-jejak darah basah, dan hiasan yang ternyata berasal dari tulang belulang hewan yang dirangkai rapi. Indah, namun mengerikan.
Dan disana sudah ada Raja Leon yang sedang menggunakan wujud manusia pria tua berbusana jubah kerajaan. Beliau duduk di singgasananya dengan pongah, menyambut Christ dengan jamuan kudapan yang dibawakan dayang-dayang. Seolah beliau tahu kalau Christ akan datang.
"Tidak perlu repot-repot menjamuku. Aku kesini ingin menyatakan protes!" kata Christ bernada ketus.
Raja Leon terkekeh sinis. "Jangan salahkan kami menghukummu. Kau seharusnya berterimakasih, Christ. Masih bagus Raja Devilaro hanya mengirim serangan magis, bukan menyeretmu kedalam lahar panas."
Bukannya gentar, Christ malah semakin menggeram. Tangan kanannya terkepal erat. Sedangkan satu tangan lainnya menelusup ke punggung. Mengambil sesuatu yang sepertinya sudah disiapkan dan sengaja dia bawa kemari. Lalu melempar benda itu kearah Raja Leon.
PRANG!
Botol minyak bawang putih yang dilempar itu pun pecah, gagal mengenai tubuh Raja Leon. Beliau sudah lebih dahulu bangkit dan menghindar dengan satu lompatan tinggi dan mendarat mulus di belakang Christ. Tak ayal, Christ yang lengah itu pun disergap langsung oleh Raja Leon.
GREP!
"Kalau kau berpikir untuk mencoba menyerang lawan di kandangnya sendiri, sebaiknya hentikan. Dan kalau kau berusaha untuk melanggar perintah seperti tadi, jangan harap kau akan berhasil," bisik Raja Leon tepat di telinga belakang Christ.
"Lepas!" Christ menghempaskan kuncian tangan Raja Leon dengan kasar, lalu beringsut membetulkan jubahnya dengan angkuh.
Raja Leon malah tertawa. "Sudahlah. Sebaiknya kau menurut saja. Jangan buat rumit hidupmu. Lakukan seperti yang biasa kau lakukan, maka Raja Devilaro akan senang dan kau tidak dihukum lagi."
Christ menggeleng. "Aku hidup bukan untuk menyenangkan Raja Devilaro! Aku hanya butuh makan! Jadi jangan melarangku untuk memburu mangsa yang besar--"
"Christ." Raja Leon memejamkan mata sejenak saat memutus omelan Christ. "Kau tidak ingat kalau kau punya hutang budi dengan beliau?"
Christ terdiam. Seketika teringat dengan peristiwa yang dialaminya dulu saat masih kecil. Christ tidak akan lupa dengan peristiwa itu, dimana ia bertemu dengan Raja Leon untuk pertama kalinya dan mendapatkan bantuan dari Raja Devilaro.
**
Dua puluh tahun yang lalu, saat Christ kecil masih tinggal di sebuah desa yang damai di Volterra, Italy.
"Lihat!! Ada anak terkutuk lewat!!" Ejekan tersebut terlontar dari mulut kelima anak nakal itu saat melihat seorang bocah kecil yang hendak berjalan melewati mereka.
Tanpa mempedulikan olokan itu, Christ tetap berjalan memasang raut datar. Tidak sedikitpun menunjukkan gurat wajah kekesalan. Pandangannya lurus kedepan, seolah tidak mendengar dan melihat anak-anak itu. Sedangkan satu tangannya memegangi perut.
Sejujurnya Christ sangat ingin sekali membalas ejekan dengan menghajar mereka seperti biasa. Tapi rasa sakit karena lapar yang Christ rasakan sekarang jauh lebih menyiksa ketimbang sakit hati akibat olokan itu. Jangankan untuk melawan, berekspresi kesakitan pun Christ sudah tidak sanggup.
Beberapa langkah saat Christ hendak melewati pagar pembatas untuk menuju ke hutan, tubuh Christ terhuyung kedepan saat sebuah batu seukuran kepalan tangan menghantam belakang kepalanya.
DUG!
"Sshhh ..."
Christ kecil hanya meringis beberapa saat. Memegangi luka belakang kepalanya yang mulai mengucurkan darah. Lalu Christ bangkit dan kembali melanjutkan langkahnya sambil tangannya terus memegangi belakang kepala.
"Dasar tidak waras! Bisa-bisanya dia masuk hutan! Biar mati saja sekalian dimakan harimau! Hahaha!" sahut salah seorang anak nakal itu.
Christ sengaja masuk hutan, karena memang dari awal dia berniat untuk mengakhiri hidupnya disana. Toh, kalau dia mati, tidak akan ada yang mencari. Kedua orang tua Christ sudah meninggal sejak ia masih bayi.
Setelah berjalan cukup jauh, Christ menyenderkan diri di salah satu pohon besar. Memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya tergolek lemas. Menunggu binatang buas memakannya. Menantikan ajalnya yang mendekat.
Tak lama kemudian, tiba-tiba Christ merasakan tubuhnya terlilit sesuatu. Tanpa berniat membuka mata, Christ sudah bisa menebak kalau dia sedang dililit oleh ular besar. Dan saat lilitan itu kian mengerat, Christ memilih pasrah. Dia pun juga sudah tidak berkeinginan untuk melawan.
"Bukalah matamu, anak kecil ..." Sebuah suara menggema itu menyapa gendang telinga Christ.
Awalnya Christ takut membuka mata. Namun karena tubuh Christ mendadak sesak akibat lilitan ular itu kian mengerat dan menimbulkan suara retakan di tulang-tulangnya, terpaksa Christ membuka mata.
Seketika Christ terhenyak saat tahu ada penampakan wajah ular raksasa hitam itu tepat di hadapannya. Dan benar saja, ular sepanjang tiga meter itu lah yang membelit tubuh Christ.
"Hahahah! Apa yang kau lakukan disini?" tanya ular itu.
"Lapar ..." Christ merintih lemah, dengan kelopak mata setengah terpejam. "Tolong makan aku sekarang ... Aku sudah tidak kuat lagi ... Aku ingin cepat mati ..."
Ular itu terlihat sangat terkejut. Bagaimana mungkin seorang anak kecil yang kelaparan memintanya untuk dimakan?
Makin aneh lagi saat ular itu mengamati pakaian Christ yang ternyata terlihat sangat bagus. Jelas kalau anak itu bukan berasal dari keluarga miskin. Lalu bagaimana bisa dia merasa kelaparan? Sungguh, baru pertama kali ular itu menjumpai situasi yang aneh semacam ini.
Ditengah rasa penasarannya, tiba-tiba ular itu secara tidak sengaja melihat perut Christ mengeluarkan cahaya kuning.
Menyadari apa yang sebenarnya terjadi, Ular itu lantas menyeringai dan segera mengubah wujudnya menjadi manusia pria tua yang merupakan perwujudan manusia dari Raja Leon.
"Anak kecil ... Aku bisa membantu menghilangkan rasa laparmu, jadi kau tidak perlu mati ... Tapi kau harus berjanji untuk mengabdi kepada Raja kami, Raja Devilaro--"
"Tidak ..." Christ menggeleng dan mulai meracau tidak jelas. "Dari pada aku terus hidup tapi orang disekelilingku mati, lebih baik aku yang mati. Memang seharusnya aku tidak pernah terlahir di dunia ini. Aku memang anak terkutuk ..."
Sejenak Raja Leon menarik napas, lalu mengarahkan pandangannya jauh ke arah anak-anak nakal yang mengerjai Christ tadi.
"Bukankah kau dendam dengan mereka? Kau ingin membalas anak-anak itu kan? Kalau kau mati sekarang, mereka akan menertawakan mayatmu. Kau tidak ingin itu sampai terjadi, kan?"
"Hah ... Hah ..." Napas Christ mulai satu-satu. Dan kesadarannya pun semakin meredup.
Walau Christ sudah tidak mampu menjawab, tapi Raja Leon bisa merasakan hawa dendam dan jawaban persetujuan dari dalam hati Christ.
"Dari pada kau mati sia-sia, lebih baik kau hidup dan membalas mereka. Namun sebelum melakukan itu, akan aku beritahu cara agar kau tidak merasa lapar lagi. Kau hanya harus membunuh anak-anak itu. Makanlah energi jiwanya. Maka kau akan kenyang."
**
To be continued.