Perjalan sudah dimulai, Sofil dari tadi hanya terpejam sepanjang perjalanan, lalu keluarga Kiai Fattah berhenti di Masjid daerah Ngawi untuk melaksanakan solat dhuhur. Semua turun, Fil juga ikut serta namun mengganti pakaian.
Dua puluh menit keluarga ini selesai, Sofil seperti biasa tidak pernah ikut dzikir dan doa, selesai solat salam, ia meminta diri. Siap-siap mendapat ceramah dari Abahnya ia segera melipat kapas lalu memasukkan ketelinganya.
Keluarga ini memulai perjalanan, Sofil yang menyetir, mobil melaju, Fatih berusaha tidur, Mengajukan Sofil benar. Perjalanan masih sepuluh menit Kiai beristigfar berkali-kali.
"Sofil, kok sukanya tidak berdzikir dan tidak berdoa, katanya tidak mau dibilang seperti kera, clingak-clinguk lalu kabur, kalau begitu kurang adab Le ...." tegur Abahnya sambil melihat jalanan.
"Setan busuk," ujar Sofil, Abahnya sekitika memandangnya. "Niatnya malah membudeg (pura-pura tuli) dengar, maaf Abah," imbuh Sofil.
"Astagfirullah ... Kadang Abah ini berpikir, tedus terus menerus, semoga kamu bisalah mencontoh Zaki,"
"Kalau Kakak ipar memang jos. Jangan samakan Bah," bantah Sofil, Kiai Fattah hanya bergeleng-geleng. "Kenapa Bah, pusing mikir aku, jangan dipikirin Bah, Mi ... Doakan saja,semoga aku ini mendapat titik terang di atas kelabunya nafsuku," ucapan pemuda itu memang bikin gereget.
"Ya semoga, saat Allah Subhanahuwata'ala mengambil nyawa Abah dan Umimu, kamu sudah dijalan yang benar, aku bilang menantuku, Zaki dulu juga pernah hidup didunia kelam, dan saat taubat malah lebih ta'at," kata Kiai Fattah menurunkan kaca mobil dan menikmati angin segar.
"Seperti apa dulu Gus Zaki Bah? Aku malah tidak tau, kan aku sibuk sekolah," ungkap Sofil, Abahnya menghela napas, beristigfar lalu mengucap hamdalah.
dia mencari di sana-kemari penuh penyesalan dan akan meminta maaf kepada Umimu. Lalu dia pulang ke rumah Abahnya setelah mendapat berita, Ya Allah ... Dia bekerja keras dan giat bertaubat, dia sering bersedekah dan masih mencari Umimu hendak membayar hutang. kadang-kadang aku berpikir kok ada pencuri nanggung, Gus Zaki mencuri hanya tiga puluh satu orang yang ditau bukan peziarah jauh, kala mepet dia mencuri, kalau tidak ya makan, makanan dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih dibis yang berhenti saat Ziarah. Meski hanya dibayar sepuluh ribu, dia merasa senang. Namun ketika dapat kabar kalau Uminya sakit dia pulang. Ya seperti itu, setelah Uminya meninggal, Abahnya menembung Mbakmu Husna, saat itu banyak yang menanyakan ada empat Kiai dalam satu minggu yang datang kerumah. Abah menyuruh Mbakmu istkharah, Abah sedikit cocok sama Gus Munnib, namun Mbakmu menolak semuanya, setelah satu tahun. Gus Zaki datang kerumah mengantar Umi dan memintamaaf pula ke Abahmu ini. Dan aku terkejutnya, walau yang dicuri dari Umimu hanya dua ribu dia bertekat sungguh-sungguh mencari halalnya,"
"Apa! Dua ribu Bah?" tanya Sofil memastikan.
"Iya... Enggeh to Mi..."
"Abah sanjang nopo?(bicara apa)" tanya Umi.
"Soal Zaki yang mencuri uang dua ribu," ujar Kiai, Umi tersenyum saat mengingat kejadian itu.
"Oalah, MasyaAllah karena begitu, Husna dan Zaki berjodoh,"
"Kok bisa Um, Bah? Bagaimana kejadiannya?" tanya Sofil, "Aku sih taunya ijab dan ketemu Gus Zaki saat nikahan," imbuh Sofil.
"Ini yang menstorykan Umi apa Abah?" tanya Kiai Fattah.
"Abah saja, afwan Umi," ungkap Sofil, Uminya tersenyum.
Gus Zaki mulai desawa saat Abahnya meninggal, dia terus pesantren, dan sekaligus pengasuh, namun saat itu masih ada Pakdenya dia hanya ikut serta mengajar tanpa ketidakseimbangan lebih. Setelah itu Mbakmu berziaroh lagi ke Makam Sunan Bonang, saat itu melihat Gus Zaki bersama rombongan santri, Mbakmu ingat jelas wajah pemuda yang mencuri tasnya, dan terkejut saat tau dia bahwa Gus Zaki adalah Kiai, pertemuan singkat dari jarak, namun ada beberapa detik mata keduanya bertemu di satu pandangan. Dari situ Gus Zaki mencari tahu, dan langsung menemui Abah , meminta agar dapat berta'aruf, saat itu Mbakmu ada di Surabaya paling, kalau tidak salah, dan Abah bicara dengan Mbakmu, Mbakmu dan Gus Zaki berhubungan lewat telepon, saat itu belum ada WA. Setelah pulang dari Surabaya ya, Gus Zaki melamarnya dengan penuh keyakinan,"
"Apa waktu lamaran dan pernikahannya dihari yang sama Bah?" tanya Sofil, Kiai Fattah mengangguk.
"Orang itu terlihat saat melakukan hal buruk, dan terlihat bermartabat saat dia berpakaian rapi atau status dari orang tuanya, namun ketika Gus Zaki kehilangan kedua orang tua dia malah semakin dekat dengan Allah dan menyadari serta menyesali perbuatannya, dia pernah bilang, sebenarnya ada rasa takut saat mencuri, rasa takut kepada Allah yang lalu menuntunnya. Ya kita sebagai manusia tidak bisa menilai seseorang saat atau hanya melihat sekilas, mengenal dalamnya seseorang perlu waktu, seperti begini gadis berhijab ada yang baik dan ada yang buruk, menggunakan hijab hanya untuk menutupi kejelekan ada yang begitu. Ada pula yang berpakaian seksi namun baik, banyak, jadi kita untuk sesama baik-baik, tapi jamgan menghadirkan nafau saat melihat gadis seksi, nanti terus beristilah bingung, dilihat dosa tidak dilihat mubadzir, he he he,"
"He he he, iya Bah, kata Abah perlu mengenal cukup lama, agar mengerti sifat seseorang, namun kalau menikahnya seperti Gus Fatih, berjauhan, hanya lewat telepon bagaimana bisa mengenal luar di dalamnya adem sari. Eh,"
"Sudah hentikan Abah faham makaudmu, kan sudah mendapat petunjuk dari Allah mengapa masih ragu?" Kiai memutar pertanyaan.
"Aduh mampus aku," gumam Sofil, "He he he, iya Bah supe alias lupa," imbuhnya.
"Lagian nanti Fatih dan Bilqis bisa lewat chattan dan apalah itu, Fatih sendiri yang bisa menilai calonjauh istri, ya ... kebanyakan sih kalau jadi itu, yang terlihat baik-baik. Namun kan bermanfaat petunjuk dari Allah semoga semoga tidak ada keraguan saat penantian," ujar Abah.
"Aamiiin ya Robbal a'lamiin." Semua mengaminkan.
Bersambung.