Chereads / Kisah Putri SANG KIAI / Chapter 2 - Hati Yang Terketuk

Chapter 2 - Hati Yang Terketuk

Waktu tahajjud sangat dingin, semilir angin menyerang sampai ketulang dalam tubuh mendatangkan rasa nyeri. Sofil berusaha menguatkan diri sambil mengendarai motornya. Pemuda ini masih dalam pengaruh minuman. Namun ia berusaha keras menyadarkan diri sambil terus membuka matanya.

Laju motornya tidak bisa diimbangi, "Pasti bisa sampai Pondok, ayo Fil ... Sadar," gumamnya menyadarkan diri karna mata yang akan tertutup.

Broakkkkk

Motor itu jatuh dan menyeret Sofil ke tengah jalan, dia terseret hingga dua meter, lengan baju hemnya sampai robek, celana jins sisi kaki kanan juga robek, lukanya tidak parah, karna tidak ngebut andai mengebut mungkin akan lebih parah dan bisa jadi terseret sedikit jauh. Ia segera bangun, lalu menepi

dengan mondorong motornya, sambil gleyoran.

"Luka karna jatuh ini tidak seberapa sakitnya dengan siksa di kubur dan di neraka. Ya Allah ... Ampuni orang tuaku, Orang tua ku sudah mendidikku dengan baik, sudah mengingatkanku namun aku selalu acuh. Ya Allah ... Jangan karna dosa yang ku berbuat orang tuaku jadi penanggung dosa ku. Ya Allah ... Ya Allah ...." Sofil menekuk kepalanya kini pemuda itu benar-benar tersiksa karna tingkahnya sendiri.

"Umi dan Abah selalu menasehatiku ... Aku yang bandel ya Allah ... Aku ... Tidak pantas aku untuk Engkau kasiani, namun Engkau masih menyayangi hamba. Ya Allah ... Aku tidak berani pulang ke rumah, aku malu, aku sangat malu ...." dia jongkok dengan menahan motornya agar tidak ambruk.

"Namun aku harus pulang, aku siap menerima resikonya, walaupun aku di usir oleh Abah, aku akan pergi. Aku akan menempuh perjalan yang akan membawaku kejalan menuju ridho Mu," ujarnya lalu kembali menyalakan mesin motor dan melaju.

Gerbang Pesantren didepan mata, pemuda itu turun, hati terasa berat karna bimbang dan malu. Dalam keadaan bau arak dan baju yang penuh dengan bekas lipstik.

"Aku menyebut asmaMu ya Allah aku siap, menjalani siksa dari Abah nanti, aku akan terima segala resikonya. Apapun itu aku tidak menaikkan kepalaku, karna ini penebusan dosaku. Siksa didunia tidak seberapa pedihnya, Bismillahhirrohmanirrohim ...." Sofil masuk sambil menuntun motornya.

Penjara suci itu masih dipenuhi dengan santri yang usai melaksanakan solat tahajjud, para santri baru keluar dari Masjid, ada pula yang sedang sahur karna menjalankan puasa sunnah syawal.

Sofil merasa malu, pemuda itu menghentikan langkahnya dalam kegelapan, ia meneguk ludah. "Baru tiga hari aku menyucikan diri karna puasa di bulan penuh rahmat, belum di ampuni sepenuhnya aku malah berulah, Ya Allah ... Maksiatku ... Ya Allah ... Aku membatalkan puasaku, aku mempunyai hutang kepadaMu, dan baru saja kemarin aku meminta maaf kepada Abah dan Umi, namun aku kembali melukai hati mereka. Hinanya diriku ... Tidak pantas aku berada disini. Aku seorang Anak, aku akan meminta maaf dan meminta restu dari Abah dan Umi, meminta doa, walau sudah didoakan setiap saat. Ya Allah ...

Hiks. Setelah itu aku akan pergi, pergi jauh tanpa kabar. Ya Allah Wallahi aku berjanji atas namaMu, aku tidak akan menginjakkan tanah kelahiranku sampai aku benar-benar menjadi anak yang baik, seorang Anak yang sudah pantas dibanggakan kedua orang tua. Ya Allah ... Atas nama Engkau ... Bismillah," Sofil merasa malu dia menapuk bibirnya dengan keras, air matanya terjatuh semakin deras.

Dia menjagang motornya lalu berjalan ke depan Masjid, cahaya lampu tersorot kepadanya. Pas Kiai Fattah keluar dari pintu Masjid sisi kanan. Beliau tidak sengaja menoleh ke Sofil menyaksikan putranya dengan mata telanjang, dengan kondisi pemuda itu semboyongan dengan kekanan ke kiri hendak terjatuh, namun masih bisa berdiri.

Hati seorang Abah tercabik, Kiai menekuk leher merunduk malu sambil beristigfar.

"Ya Allah ... Ya Allah ... Astagfirullah ... Hamba gagal Ya Rob ... Ya Rob ...." Kiai Fattah memanggil banyak santri.

Umi Fadillah yang masih terjaga merasa ada yang memanggil dari luar rumah. Beliau keluar dengan rasa yang berdebar air matanya jatuh, surga seorang anak terletak pada seorang ibu yang melahirkannya. Perasaan kacau itu terjawab kala putranya terglempang tidak sadarkan diri.

Tangisan semakin tidak tertahan. "Ya Allah Sofil ... Hek hek hek hiks, Ya Allah Astagfirullah ...." suara Umi Fadillah lari ke Sofil, Sofil mengangkat kepalanya.

"Umi ... Afwan ...." ucapnya pelan.

Byurrrr!

Byurrrr!

Belum sampai pada putranya Kiai Fattah mengguyur pemuda itu dengan banyak air, yang sudah diambilkan para santri. Para Santri menyaksikan kejadian dimalam sunyi itu. Melihat Guru yang tidak berdaya, para santri ikut berdebar dengan mata yang beruraian air asin yang jatuh kepipi.

"MasyaAllah Sofil ... MasyaAllah ... Ya Allah ...." suara Kiai penuh iba, suara gemetar itu menyentuh hati para santri.

Umi Fadillah mengambil cambuk dan kayu balok.

"Umi lebih baik mati ditanganmu, dari pada harus, disiksa disana. Ayo lakukan,ayo ...." ujar Uminya duduk melempos tidak berdaya sambil memberikan dua benda itu ke Sofil.

Sofil berusaha bangun, Kiai Fattah memeluk istrinya. "Ya Allah Gusti Abah ... Ya Allah ... Aku melahirkannya dengan penuh cinta, berjuang nyawa ... Ya Allah ... Heh eh hik hiks," ucapan Umi membuat Sofil bangun dengan terisak malu, dia meraih tangan wanita yang melahirkannya.

"Jangan sentuh,"Umi Fadillah menghempaskan tangan Sofil, Sofil tersungkur tidak berdaya.

"Afwan ... Abah ... Umi ... Afwan (maaf)" ucap Sofil meronta. "Wa Allahi aku akan taubat Umi ... Abah, demi Allah ... Aku akan taubat ... Afwan ...."

"Abah dan Umi sudah gagal Sofil, Ya Allah ... Baru kemarin nusa, melaksanakan solat id. Ya Allah ... Abah kecewa, Ya Allah ... Aku menyerah Sofil ... Abah sudah berjanji, sudah berjanji kepada Allah kalau Abah akan mengusirmu jika kamu mengulanginya lagi, atau kalau tidak siksa, cambuk! Pukul, Abah Ibu mu ... Minta ampun pada Allah Sofil, minta Allah mengampuni Abah dan Umi mu yang tidak berhasil mendidik mu, kami gagal ...."

"Esth ... Heh ... Hiks. Saya menyesal Abah Umi ... Saya janji tidak akan mengulanginya lagi Abah afwah ... Afawan hek hek hiks," tangisan itu menjadi pemuda itu merunduk malu.

"Pergilah Sofil dan jangan kembali, Abah memasrahkan mu kepada Allah, Abah dan Umi akan mendoakan kebaikan untukmu, semoga Allah memberi petunjuk untuk jalan menuju rohmatallil a'lamin, pergi lah ...." titah Kiai Fattah mengangkat bahu istrinya untuk berdiri.

"Estheh ... Tunggu Abah, Umi dan kalian yang melihatku, kalian saksiku, aku bertaubat Demi Allah atas nama Allah ... Astagfirullah ... Astagfirullah ... Asyhadu allailahaillallah, waasyhaduanna muhammadarrosulullah," Sofil membaca syahadat tiga kali dan semakin menggetarkan para santri yang menjadi saksi.

"Abah Umi adalah saksi ku bertaubat saya pamit, Assalammualaikum namun Umi doakan aku ...." saat Sofil meminta sebuah doa, Umi Fadillah menghentikan langkahnya.

"Wa'alaikumsalam tanpa meminta Umi mendoakanmu, selalu ... Kembalikah jika sudah menjadi anak yang baik," pesan Umi Fadillah lalu sembunyi didekapan sang Suami, mereka melangkah masuk kerumah.

"Ya Allah sucikan hamba dari barang-barang haram yang sudah masuk ke tubuh hamba. Aamiiin AfwanYa Allah ...."

Bersambung.