Waktu pun menembus pagi, hampir semalaman suntuk mataku tidak terpejam hanya karena aku memikirkan masa depanku nanti.
Dengan tergesa-gesa aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum ke kampus. Ah, sebenarnya malas. Aku masih mengantuk untuk beraktivitas pagi ini.
Butuh waktu satu jam bagiku untuk menyelesaikan penampilanku pagi ini, celana jin's panjang, dengan baju sabrina berwarna hitam kupilih untuk menutupi bagian atas tubuhku.
Aku keluar dari kamar, dan kulihat nenek sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi yang terlihat mondar-mandir di ruang dapur.
Sialnya, ruang kamar pribadiku begitu dekat ke arah dapur sehingga meski aku berupaya keluar diam-diam dari kamar selalu saja nenek melihatnya lebih dulu.
"Amelie, bantu nenek dulu! Setelah itu kita sarapan bersama," panggil nenek padaku. Sungguh, penglihatan nenek sangat jeli. Apakah dia menggunakan mata batinnya kembali? Kuperhatikan beliau selalu mondar-mandir, bagaimana dan kapan dia sempat melihatku keluar dari kamar? Bahkan aku membuka pintu kamar sangat pelan.
Aku pun melangkah menuju ruang dapur. Bersyukur aku selalu bangun pagi, itu hanya untuk bisa membantu nenek setiap menyiapkan sarapan pagi.
"Kau selalu saja keluar dari kamarmu setelah nenek selesai memasak. Apakah kamu sengaja menyetel alarm begitu? Kau harus melihat bagaimana nenek memasak agar saat kau menikah nanti kau pandai memasak untuk suamimu."
Oh ya ampun, lagi dan lagi. Sarapan pagiku selalu di awali dengan omelan nenek yang membuat gendang telingaku memanas dan hampir meledak rasanya.
"Iya, Nek." tak ada jawaban lagi kecuali hanya mengiyakan saja.
"Selamat pagi," sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang dapur. Sontak aku menolehnya, ingin tahu siapa yang sudah datang sepagi ini.
"Eh, kak Hady?" sapaku segera setelah melihat kakak sepupuku yang lain.
"Hai, Amelie. Apa kabar?" sahutnya melihatku dengan senyuman.
"Aku baik, kakak sibuk banget ya akhir-akhir ini. Jadi jarang main kemari," jawabku menimpali.
"Hady, duduk! Kita sarapan bersama, Nak. Bagaimana ayah dan ibumu?" sapa sang nenek kemudian.
"Mereka baik, Nek. Minggu ini mereka akan kembali ke Indonesia," jawab Hady sambil duduk kemudian di sampingku.
Lantas makan pagi di mulai, setelah kakek dan kakak sepupuku si Black hadir dan berkumpul pagi ini.
Usai sarapan pagi, aku bergegas segera pergi menuju kampus. Tapi Hady menghentikanku dengan bilang ingin mengantarku ke kampus, kebetulan hari ini Keysa masih berada dalam mood yang tidak baik, aku merasa punya sopir baru kali ini.
"Kak Hady, makasih ya. Sudah mau mengantarku ke kampus pagi ini, jarang-jarang kakak mau datang menemuiku dan mengantar ke kampus. Hehehe..." ucapku di tengah perjalanan untuk mengisi suasana hening di dalam mobil.
Kak Hady sendiri terkenal pendiam dan jarang banyak bicara terkecuali itu hal yang sangat penting dan mendesaknya.
"Lagipula, ada yang ingin kakak tanyakan padamu, Amelie."
"Oh? Apa itu?" tanyaku segera.
"Sejak kapan kau berpacaran dengan Ryan?" tanya kak Hady dengan santai namun terdengar ada penekanan nada di baliknya.
"E-eh... Kakak sudah tau aku berpacaran dengan Ryan? Emh, belum lama ini. Baru tiga bulan," jawabku kikuk.
"Putuskan dia!" jawabnya memberikan titah padaku.
Aku terkesiap, mengapa tiba-tiba? Ada apa?
"Tapi Kak..."
"Dia bukan laki-laki yang baik, Amelie. Dia dengan Yash adalah satu paket, apa kau tau saat ini Ryan sedang berpacaran dengan siapa? Kau di duakan olehnya."
Aku sungguh terkejut bukan main, bagaimana bisa? Yang kutahu Ryan sedikit lugu meski... Yah, aku percaya dia sudah pasti playboy.
"Dia berpacaran dengan Dea, dia juga sedang mendekati anak pak ustadz, bukan hanya itu. Kudengar dia juga berpacaran dengan wanita incaran saudara kita yang lain."
Napasku tertahan sejenak, "Woah... Jadi, begitu dia selama ini? Akhirnya, dia mengeluarkan sosok aslinya."
"Kau di bodohi selama ini, kakak harap kau percaya pada kakakmu ini, Amelie."
"Cukup, Kak! Lagipula aku hanya menjadikannya alat untuk membuat Yash putus dengan Keysa. Jadi, aku..."
"Jangan bermain-main, Amelie. Yash sudah putus dengan Keysa, kakak tau itu."
Aku kembali terkejut akan ucapan kak Hady yang entah sejak kapan dan bagaimana dia menyelidiki kami selama ini.
Tak lama kemudian tiba di depan pintu gerbang kampusku, aku hendak keluar dari mobil namun, aku belum usai bicara.
"Kak, sekali lagi terima kasih. Aku akan ingat kata-kata kakak, aku akan segera mengakhiri hubunganku dengan Ryan, laki-laki playboy itu," ujarku dengan bersungut-sungut.
"Baiklah, kakak lakukan ini untuk kebaikanmu dan Keysa. Kakak harapa kau mengerti, ya sudah! Jaga diri baik-baik di kampus," jawab kak Hady tegas.
Aku hanya menangguk menanggapinya seraya membuka pintu mobil dan beranjak keluar lalu melangkah memasuki halaman kampus.
Langkahku menuju ruang kelas hanya terngiang akan suara kak Hady yang begitu jelas menceritakan tentang Ryan dan para selingkuhannya itu.
Beraninya dia menduakanku di belakangku, meski sejatinya ini bisa menjadi alasanku mengakhiri hubungan ini dengan Ryan. Aku sudah jengah, sudah letih. Aku ingin fokus mencari kerja saja saat ini, tinggal di rumah nenek dengan status menumpang saja sudah membuatku muak.
Semua materi kampus berjalan begitu lamban, sehingga membuatku bosan. Jam istirahat nanti, membuatku ingin segera pergi dan bolos kuliah saja.
Sesaat kemudian, jam istirahat pun datang. Betapa bahagia dan lega nya aku, segera aku angkat kaki dari ruangan yang menyesakkan ini.
"Amelie, kau mau kemana?" sapa Dea, teman satu jurusan denganku.
Kami tidak terlalu dekat, tapi cukup akrab. Kali ini dia menyapaku mungkin karena melihatku sendiri tanpa Keysa.
"Aku mau bolos!" jawabku seadanya tanpa basa-basi.
"Apa karena soulmate mu itu sedang bolos juga?" tanya nya padaku.
Aku menaikkan satu alisku ke atas, "Keysa sedang tidak sehat. Maka itu dia bolos," jawabku mengerti siapa yang dia maksud itu.
"Kalau begitu kita ke kantin yuk, aku juga sedang sendiri."
Aku berpikir sejenak, memang ada baiknya aku tidak bolos saja. Karena jika saja nenek dan kakek tahu, aku akan benar-benar terusir dari rumah itu.
"Hem, baiklah!" jawabku mengiyakannya.