Sekitar jam tiga sore, Habib menjemputku dan umi dari rumah bunda. Kami langsung pulang tanpa berpamitan pada bunda atau mbak Anisa. Aku hanya mengirim pesan whatsapp pada kakak iparku dan mengatakan kalau kami pamit pulang.
Bukannya tidak mau pamit, hanya saja waktu itu mbak Anisa sedang tidur siang dan bunda juga masuk ke kamar tanpa mau keluar. Hanya umi yang berseru dari luar kamar untuk berpamitan. Bunda sama sekali tak mau keluar, katanya dia tidak ingin melihatku.
Sepanjang perjalanan, aku terus kepikiran dengan perkataan umi dan bunda. Nur Laila, wanita yang selama ini membesarkanku dengan tangannya ternyata bukan ibu kandungku. Tapi jika ayah menikah dengan ibu kandungku, dia pasti memiliki buku nikah itu.
Ingin sekali aku mencari tahu siapa ibu kandungku yang sebenarnya, tapi harus mulai dari mana? Memandang keluar jendela adalah jalan ninjaku untuk menutupi air mata yang jatuh tanpa ijin.