"Hai, wanita-wanita tangguh setanah air!
Janganlah kalian bangga,
menjadi seorang wanita yang dipuji karena kecantikan fisikmu!
Janganlah kalian tersanjung
oleh rayuan pria yang ingin memilikimu!
Janganlah kalian tergiur
akan iming-iming harta dan ketangguhan pria!
Janganlah kalian termangu,
bersandar pada pria yang memimpin rumah tanggamu!
Janganlah kalian menikmati perlindungan
dari pria yang menghormati derajat wanita!"
Drrrt ....
Ponsel di saku celana panjangku tiba-tiba bergetar. Untungnya sudah di-silent, akan sangat memalukan jika berdering kencang di saat yang tidak tepat. Aku membetulkan posisi kacamataku yang sebenarnya tidak salah. Lantas melanjutkan pidatoku dengan lantang.
"Sesungguhnya,
bukan ditinggikannya derajat wanita di mata pria
yang memperlakukanmu semacam itu.
Melainkan direndahkan,
dianggap lebih lemah, tidak mampu bersanding dengan pria,
dan akan mudah dipermainkan.
Karena bukanlah untuk dihormati, dihargai, dimuliakan,
dilindungi, maupun diperhamba oleh kaum pria,
yang dimaksud dengan emansipasi wanita."
Drrrt ... drrrt ... drrrrt ....
Tetap saja, getaran ini membuatku sulit berkonsentrasi. Aku menyibakkan rambut lurus sebahuku ke belakang telinga seraya meremas daun telingaku sejenak. Ratusan pasang mata yang sedang serius menatapku pasti dapat membaca kegelisahanku.
"Saya ingatkan kembali harapan ibu kita, Kartini,
dan para pejuang emansipasi wanita,
yang mereka inginkan adalah
'kesamaan hak dan derajat wanita dengan pria'.
Kesamaan bukan lebih tinggi
hingga diperhamba dan dimuliakan.
Bukan untuk dianggap bagaikan sekeping perhiasan
yang mudah retak dan rapuh,
bila tidak dijaga dengan hati-hati."
Diandra Eka Pratiwi, namaku. Usia 27 tahun. Saat ini, aku sedang berpidato dalam kongres partai kewanitaan yang telah kubangun dari nol.
Drrrt ... drrrt ....
Setelah lebih dari empat tahun berjuang, sudah hampir seribu wanita muda dari Jabodetabek yang mendukungku. Aku tidak mau keberhasilanku terganggu hanya karena getaran ini!
"Yang kami inginkan dari emansipasi wanita,
adalah :
Wanita yang memiliki keinginan sendiri,
Kebebasan wanita untuk berkehendak,
Wanita yang dianggap mampu berusaha
menggapai cita-citanya dengan kekuatannya sendiri,
Hak wanita untuk menentukan keputusan
tanpa dipengaruhi pihak lain,
Dan juga,
kewajiban yang tidak dikurang-kurangi
oleh karena pengecualian gender!"
Drrrt ....
Lagi? Ugh! Kuremas ujung lengan panjang blazer putihku untuk mengurangi keringat pada telapakku. Salahku, sengaja menaruhnya di saku celana seharian ini. Biasanya saat menyelenggarakan kongres, kami mematikan semua gadget dan menyimpannya dalam tas. Namun, hari ini aku tidak dapat meninggalkan ponsel dengan tenang.
Adikku, Cassandra, sedang menderita sakit malaria sejak dua minggu lalu. Rasanya tidak tenang, meninggalkan Cassandra yang sedang terbaring di rumah sakit. Ayahku yang sudah tua menjaganya sendirian. Semoga getaran ini bukan telepon dari ayah!
"Jadi, mulai detik ini,
lakukanlah semua yang kalian inginkan!
Gapailah cita-cita kalian!
Berjuanglah pada kewajiban profesi kalian!
Ambillah keputusan tanpa terpaksa!
Bertanggungjawablah pada setiap langkahmu!
Pimpinlah hidupmu sendiri!
Hanya dirimu sendirilah yang berhak, sekaligus berkewajiban,
untuk memimpin jalan hidupmu!
Bukan pria, bukan siapapun, melainkan dirimu sendiri!
Itulah kebebasan wanita!"
Riuh tepuk tangan menggema di gedung serbaguna Balai Kartini, Jakarta. Ketukan sepatu high heels-ku berdentum menuruni podium. Segera, aku merogoh saku celana untuk melirik ponselku.
≈ ≈ ≈
16 missed call dari Lukman, 11 pesan Whatsapp belum terbaca dari Lukman, dan 3 SMS juga dari Lukman. Astaga! Banyak sekali? Perasaanku menjadi tidak enak.
Lukman Puta Caniago, seorang pria yang dulu pernah singgah di hatiku. Satu-satunya pria yang dapat membuka kunci hati yang kututup rapat-rapat. Namun saat ini, bagiku, Lukman hanyalah sebuah batu karang yang sempat membelokkan arah hidupku sesaat.
Masih tersimpan dalam ingatanku saat kami berkenalan, Sabtu, 21 April 2007. Ia yang lebih dahulu menghampiriku untuk mengucapkan "selamat" kepadaku, karena memenangkan ajang "Abang–'Mpok Universitas Indonesia, Depok" dalam rangka perayaan hari Kartini kampus kami. Entah mengapa, aku yang biasanya kaku dan serius, tiba-tiba dapat tersenyum ramah padanya, hanya karena melihat senyum manis dari bibir tipisnya.
Ia setahun lebih tua dariku. Sejak hari itu, kami menyempatkan diri untuk bertemu di kampus meski gedung fakultas kami berbeda, aku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sedangkan Lukman di Fakultas Kedokteran. Hanya dalam jangka waktu singkat, kami saling mengagumi satu sama lain—sebelum hatinya mulai berubah terhadapku.
Sekarang? Aku tidak boleh lagi memendam rasa kepadanya. Sedikit pun, tidak boleh! Mengapa? Karena saat ini, status Lukman sudah menjadi tunangan Cassandra. Ya, Cassandra, adikku satu-satunya yang berusia lima tahun lebih muda dariku. Mereka telah bertunangan. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa!
Setiap kali Lukman mengantarku pulang, Cassandra selalu merengek—dengan suara cemprengnya yang terkesan manja—dan menahan agar Lukman tidak langsung pulang. Alasannya, untuk meminta diajarkan Matematika dan Bahasa Inggris. Namun realitasnya, mereka lebih banyak berbincang dan bersenda-gurau daripada belajar.
Jarang aku dapat janjian bertemu dengan Lukman selama disibukkan dengan kegiatan sosial sebagai 'Mpok Universitas Indonesia. Namun seringkali, aku mendapatinya telah berada di rumahku lebih dahulu saat aku baru saja pulang. Tak heran, Lukman menjadi lebih dekat dengan adikku dan menjalin hubungan dengannya.
Ia sedang melanjutkan studi spesialis bedah di Tokyo sejak tiga semester ini. Aku baru ingat, ia mendarat di Bandara Soekarno Hatta pagi ini. Tentunya, untuk menemui tunangannya, bukan aku. Seharusnya, ia sudah sampai di rumah sakit saat ini.
Drrrt ....
Belum sempat aku membaca pesan-pesannya, Lukman sudah menelepon lagi.
"Halo, Mas Lukman?"
"Diandra, gawat!" Suaranya terdengar tidak biasa, bergetar dan berteriak. "Cassandra batuk darah! Dokter sedang membawanya ke UGD. Cepat ke sini!"
≈ ≈ ≈
Secepat kilat, aku melarikan motor bebekku ke rumah sakit. Aku telah meminta izin untuk meninggalkan kongres yang baru dimulai itu, dan menitipkan tugasku kepada salah satu rekanku. Sepenting-pentingnya kongres itu bagi karirku, kondisi adikku adalah yang terpenting saat ini.
Meskipun sebagai seorang pemimpin wanita, aku lebih suka mengendarai sepeda motor sehari-hari. Kedudukan bukanlah alasan kuat untuk duduk santai di dalam mobil. Lagipula, tidak hanya pria yang memiliki kecakapan mengendarai sepeda motor. Inilah salah satu wujud nyata dari emansipasi wanita, Kartini masa kini yang setangguh pria.
Ciiitt ....
Lampu merah menghentikanku. Walaupun jalan tidak terlalu ramai siang ini, aku tidak mau mengambil resiko dengan menerobos lampu merah. Bukankah sebagai seorang pemimpin partai, aku harus memberi contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia? Kedisiplinan pada peraturan bukanlah karena takut pada hukuman, melainkan manfaat bagi diri sendiri maupun semua pihak.
Jantungku terus memukul-mukul rongga dadaku selama menunggu lampu hijau menyala. Bagaimana jika penyakit adikku semakin parah? Cassandra adalah satu-satunya penghibur hati keluargaku di rumah. Hidup kami tidak akan bisa ceria tanpa dirinya.
Sehari-harinya, Cassandra adalah gadis yang periang dan suka berkelakar, tidak seperti diriku yang agak pendiam. Ia juga suka merias wajahnya dan menata rambut panjangnya, berbeda denganku yang hanya tampil rapi natural. Setiap orang yang mengenalnya pasti menyukainya, termasuk Lukman.
Ah, lagi-lagi nama pria itu terlintas di kepalaku. Sejak ia mengejar gelar dokter spesialis di negeri sakura, kami tidak lagi berjumpa. Hanya Cassandra yang ditemuinya setiap kali ia berlibur ke Jakarta. Mungkin akan sangat canggung ketika bertemu dengannya hari ini.
Bagaimana kabarnya saat ini? Apakah banyak perubahan dalam dirinya? Ia pasti sudah semakin dewasa, 'kan? Rupanya, lampu hijau memaksaku untuk menepis rasa penasaranku.
≈ ≈ ≈
Aku berlari di lorong Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, menuju UGD. Terlihat ayahku sedang duduk berdampingan dengan seorang pria. Ya, itu pasti Lukman! Wajah mereka terlihat sangat muram, tak bercahaya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, aku duduk tepat di sebelah ayah. Tangan kurus berkeriput terus diremas-remasnya sendiri. Lantas kuraih dan kugenggam erat. Dingin dan basah terasa pada telapaknya yang kasar.
Berkecamuk hatiku mengkhawatirkan kondisi adikku. Keringat dingin memandikanku selama kami menunggu di depan pintu ruang UGD. Semoga adikku baik-baik saja! Cassandra pasti cepat sembuh, doaku berulang-ulang.
Entah berapa lama, pintu yang sedang kami pandangi itu akhirnya terbuka. Keluarlah sosok seorang dokter wanita paruh baya berjubah hijau toska.
"Keluarga pasien Cassandra Dwi Pratista!"
Serentak, kami berdiri menghadap.
"B-bagaimana keadaan putri saya, Dokter?" Suara berat ayah bergetar.
"Apakah pasien sudah sering mengalami gejala batuk-batuk atau sesak nafas sebelumnya?" tanya dokter itu.
"Adik saya memang sejak kecil kondisinya lemah, Dok," jelasku. "Jika melakukan aktivitas yang berat, seperti berolahraga, Cassandra akan mudah lelah. Tapi, tidak pernah membuatnya sakit selama ini. Sebenarnya, bagaimana kondisi Cassandra saat ini, Dokter?"
"Apakah kalian tahu, bahwa pasien mengidap penyakit TBC?"
Apa? TBC? Lututku terasa lemas seketika. Tuberkulosis, penyakit yang telah merenggut nyawa ibunda kami sepuluh tahun lalu. Apakah selama ini Cassandra juga mengidapnya? Tidak!
≈ ≈ ≈ Bersambung ≈ ≈ ≈