Chereads / LAYAR TERAPUNG / Chapter 2 - 2. TERAPUNG

Chapter 2 - 2. TERAPUNG

"Keluarga pasien Cassandra Dwi Pratista!" panggil seorang dokter wanita paruh baya yang baru keluar dari ruang UGD.

Aku, ayah, dan Lukman berdiri menghadap.

"Apakah kalian tahu, bahwa pasien mengidap penyakit TBC?"

Apa? TBC (Tuberkulosis)? Apakah selama ini Cassandra juga mengidapnya? Telah sangat menyayat hati keluarga kami, ditinggalkan oleh ibunda tercinta sepuluh tahun lalu karena penyakit mengerikan itu. Mengapa adikku juga harus mengalami penderitaan yang sama?

Tersungkur lemas lututku ke lantai. Aku menyesal, terlalu sibuk menggapai cita-citaku sendiri. Selama ini, aku kurang memperhatikan adikku, sehingga tidak menyadari sejak dini mengenai penyakit yang telah lama menyiksanya.

Sama persis gejalanya dengan ibunda, tetapi aku yang terlalu cuek ini tidak menyadarinya sama sekali. Ia membenci debu, itulah alasannya setiap kali menolak untuk membantuku membersihkan rumah. Kukira, ia hanya manja, malas, dan suka mengeluh.

Aku membenci sifatnya itu, bahkan seringkali memarahinya. Namun, ternyata ... arghh ... seharusnya aku menyadarinya, bukan memarahinya! Apakah aku telah menyakiti hatinya selama ini? Aku sangat menyesalinya. Sangat, sangat, sangat menyesal!

"Penyakit malaria yang dideritanya selama beberapa hari ini, telah memacu penyakit TBC-nya menjadi kritis." Dokter itu menjelaskan. "Pasien membutuhkan perawatan lebih intensif di tempat yang lebih sejuk. Saya merekomendasikan RSPG di Bogor. Kebetulan, ada rekan saya yang sudah lama bertugas di sana."

≈ ≈ ≈

Hari demi hari berlalu. Telah lebih dari sebulan, Cassandra dirawat di Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo (RSPG) yang terletak di Cisarua, Bogor. Sejuknya udara dan indahnya pemandangan di puncak Bogor akan lebih membantunya cepat pulih.

Ayah menginap di rumah paman Deny, adik ayah, di Ciawi, Bogor. Hampir setiap hari, ayah bolak-balik ke Cisarua untuk mengunjungi putri bungsunya. Sementara Lukman menginap di hotel terdekat, agar dapat menemani tunangannya setiap hari. Sepertinya, ia akan menghabiskan liburan akhir tahunnya tanpa mengunjungi orangtuanya di Padang, 'demi wanita yang sangat dicintainya'.

Sedangkan aku? Hanya aku yang masih sibuk dengan urusan partaiku di Jakarta. Sebenarnya, aku ingin sekali ikut menjaga adikku di sana. Namun, masih banyak urusan partai yang harus kuselesaikan sebelum akhir tahun.

Aku hanya dapat menanyakan kabar adikku kepada ayah dan Lukman. Inti jawabannya tetap sama saja dari hari ke hari, "belum sembuh," atau "demamnya masih tinggi," atau "masih batuk-batuk darah," atau semacamnya.

"Ibu Diandra, ini proposal untuk bakti sosial ke Posyandu awal tahun ini." Suara nyaring seorang rekanku terdengar begitu aku menutup sambungan telepon dari ayah.

Aku menoleh, tidak sempat memikirkan kondisi adikku yang baru saja diceritakan ayah.

"Dan ini, untuk seminar kanker serviks di kampus-kampus, kita sudah mendapat kontrak kerjasama dengan pihak rumah sakit swasta untuk vaksinasi HPV. Lalu, ada surat undangan untuk menjadi bintang tamu dalam acara launching majalah online wanita, sekaligus panggilan wawancara untuk dimuat dalam media tersebut. Dan juga, ada tawaran sponsor dari produk pembalut wanita," berondongnya tak henti.

"Baik, terima kasih, Mbak Nuri," ucapku seraya menerima tumpukan dokumen yang diserahkan wanita muda berkepang dua itu.

≈ ≈ ≈

Libur panjang di akhir pekan ini, aku menyempatkan diri untuk menjenguk Cassandra. Dari Stasiun Kebayoran dekat rumah, aku menaiki Kereta Rel Listrik Commuter Line ke Stasiun Tanah Abang, untuk mendapatkan KRL lainnya ke Stasiun Bogor.

Hujan lebat turun ketika serangkaian kereta yang sedang aku duduki ini baru menghinggapi Stasiun Manggarai. Aku tidak duduk di gerbong khusus wanita. Seumur hidup, aku tidak pernah menikmati fasilitas ladies first di tempat umum.

Bagiku, fasilitas khusus wanita hanya semakin merendahkan derajat wanita. Wanita yang lemah? Wanita yang butuh dilindungi? Wanita yang menginginkan pelayanan khusus? Apakah wanita memiliki ketidakmampuan? Menjijikan! Seolah wanita tidak mampu bersanding dengan pria.

Untuk apa para wanita berdesakan di gerbong khusus wanita yang hanya terdiri dari dua buah gerbong? Sementara aku bisa duduk nyaman di gerbong umum yang tidak padat ini. Karena faktor keamanan? Atau faktor kenyamanan? Atau, karena merasa tidak mampu menghadapi pria? Setidaknya, wanita dapat menghindari sentuhan jahil pria dengan caranya berpakaian.

Tidak hanya di dalam kereta. Menurutku, istilah 'ladies first' bukan suatu bentuk penghargaan bagi derajat wanita, melainkan suatu arti konotasi dari 'penghormatan untuk diutamakan', sama saja seperti penyandang disabilitas yang membutuhkan pelayanan khusus. Sudah sepatutnya penyandang disabilitas selalu diutamakan agar tidak memberatkan beban hidupnya. Lantas, bagaimana dengan wanita?

Biar saja para wanita tersinggung mendengar pendapatku! Apakah kamu juga?

≈ ≈ ≈

Sesuai janjinya, Lukman menjemputku di Stasiun Bogor. Hujan sudah mulai reda, tinggal rintik gerimis yang masih menghiasi kota hujan ini. Lukman meminjam mobil Jeep milik paman Deny agar kami tidak kehujanan.

Awalnya, aku menolak ketika Lukman menawari untuk menjemputku. Aku adalah wanita mandiri yang tidak perlu diantar dan dijemput. Namun, setelah aku pikirkan secara logis, akan lebih menghemat waktu jika ada yang menjemputku, daripada harus mencari jalan sendiri di kawasan yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Cassandra pasti tidak sabar menunggu kedatanganku.

"Aku dengar dari daddy Dody, kamu sudah sukses dengan partaimu, ya? Hebat! Selamat ya, Diandra!" Ucapan Lukman memecahkan keheningan kami di dalam mobil.

Entah sudah berapa lama, aku hanya terdiam seraya menerawang jalan raya di hadapanku. Tanpa sadar, tasku telah menjadi korban remasan kedua tanganku yang berkeringat dingin sepanjang jalan. Canggung rasanya, hanya berdua di dalam mobil, mungkin karena terlalu lama tidak berjumpa dengannya.

'Daddy Dody', begitulah Lukman memanggil ayah kami. Dody Pratmadja, nama ayahku. Belum menikah dengan adikku saja, ia sudah memanggil ayahku dengan sebutan 'daddy', terdengar berlebihan.

"Belum pantas dikatakan sukses, Mas Lukman," bantahku merendah. "Aku masih terus berjuang agar cita-citaku tercapai."

"Memang apa lagi cita-citamu yang belum tercapai, Di? Bukannya kamu sudah berhasil jadi pemimpin partai untuk mengubah pemikiran para wanita? Jangan-jangan, kamu juga terobsesi jadi presiden, hmm?" goda Lukman sambil memamerkan gigi putihnya dan terus melirikku.

"Kalau ibu Megawati bisa, aku juga pasti bisa!" sahutku mantap. Ibu Megawati Soekarnoputri, tokoh pemimpin wanita yang pernah menjadi presiden wanita Republik Indonesia. Tentu saja, aku ingin menjadi seperti beliau!

Kami pun mulai membahas tentang partaiku dan kuliah kedokterannya sepanjang jalan. Sama seperti dulu, pasti ada saja perdebatan di antara kami setiap kali kami berbincang. Terkadang aku merasa senang, jika mendapatkan lawan berdebat seperti Lukman. Ia sangat cerdas untuk melawanku dengan semua gagasannya yang masuk akal, membuatku semakin tertantang untuk mempertahankan pendirianku.

Namun kemudian aku sadar, bahwa itulah alasan kami tidak cocok untuk hidup bersama. Terlalu banyak perdebatan, karena banyaknya perbedaan pendapat antara aku dan Lukman. Mungkin, Lukman lebih bahagia hidup dengan Cassandra yang selalu menyetujui pendapatnya.

Sebenarnya, adikku bukan tipe orang yang sejak dulu sudah sepaham dengan Lukman, justru sangat bertolak belakang. Cassandra juga bukan gadis penurut, seringkali ia membantahku dan menciptakan pertengkaran, tetapi sepertinya ia tidak pernah membantah Lukman.

Ia seperti kehilangan jati dirinya sejak mengenal kekasihnya. Apapun yang Lukman suka dan inginkan, semua yang dapat mendekatkan mereka, Cassandra rela melakukannya hingga mengorbankan dirinya, 'demi seorang pria yang sangat dicintainya itu'. Cih!

Cinta tekadang menyeramkan, dapat membuat seorang wanita menjadi lemah. Cinta membuat kepribadian wanita terombang-ambing, kehilangan tempat berpijak. Karena cintalah, derajat wanita menjadi rendah di mata pria. Bagaikan seorang hamba pada tuannya, cinta dapat membuat wanita bertekuk lutut, dan menuruti apapun untuk membahagiakan prianya.

Hidupku tidak akan aku sia-siakan sebagai hamba seperti itu! Lebih baik, aku hidup mandiri tanpa seorang suami yang akan mencucuk hidungku seumur hidup. Tidak pernah lagi terbesit dalam anganku untuk menikah, sejak Lukman menempatkan hatinya pada adikku.

Jangan salah paham kamu! Bukan karena patah hati oleh Lukman.

Aku memang menyadari, bahwa aku bukanlah wanita yang cocok untuknya. Mungkin, Lukman mengidamkan seorang istri yang selalu melayaninya dan membahagiakannya seperti Cassandra. Pria mana yang tidak seperti itu, 'kan? Sama sekali tidak sesuai dengan kepribadianku.

"Jadi, sampai sekarang, kamu masih belum punya pacar, Di?" Lukman tiba-tiba terkekeh menggodaku di tengah perdebatan serius kami.

Tidak seharusnya, aku berdebat urusan cinta dengan Lukman. Tentu saja, ia tidak akan sependapat denganku. Aku membuang mukaku ke luar jendela mobil. Lukman pasti akan semakin menertawaiku, jika melihat pipiku memerah. Baginya ini lucu? Tidak bagiku, gelak tawanya seperti menggaruk wajahku hingga panas.

"Kenapa belum, Di?" tanya Lukman lagi karena aku tidak menjawabnya. "Belum menemukan lelaki yang cocok, hmm? Bukan aku, 'kan?"

Jantungku tersentak. Apa maksudnya dari 'bukan aku'? Apakah ia merasa seperti itu?

≈ ≈ ≈ Bersambung ≈ ≈ ≈