Selepas Angga pergi, Alexa bergegas menemui ruangan dokter Rifda. Dia berniat meminta ijin pada dokter Rifda agar mengijinkan dirinya menjenguk ibunya.
Netra Alexa berbinar saat dirinya menangkap sosok dokter Rifda datang dari arah lorong yang sama dengan dirinya. Bergegas Alexa mempercepat langkah kakinya mengejar dokter muda nan cantik itu.
"Dokter!" panggil Alexa sambil berlari kecil agar suaranya terdengar oleh sang dokter.
Dokter itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara.
"Dokter … dokter … apa aku bisa menemui mamaku?" ujar Alexa sambil terengah-engah. Alexa berusaha mengatur nafasnya agar suaranya bisa dimengerti dokter Rifda.
"Mari kita ngobrol di dalam ruangan saja," ujar dokter Rifda.
Dokter itu lalu menggiring Alexa menuju ruangannya. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Alexa menurut saja mengekor di belakang dokter Rifda.
"Nyonya Renata masih dalam pemantauan tim dokter kami. Dan … saya juga sudah menghubungi dokter Agung di rumah sakit jiwa yang anda datangi sebelumnya. Beliau mengatakan bahwa anda bisa menyerahkan tugas yang diberikan oleh dokter Agung pada kami. Beliau merujuk rumah sakit ini untuk mengobservasi nyonya Renata hingga akhir."
Alexa mendengarkan penjelasan dari dokter Rifda tiga detik setelah dirinya duduk nyaman di hadapan dokter Rifda. Perkataan dokter Rifda membuat Alexa teringat kembali ucapan dokter Agung tempo hari. Beliau menugaskan Alexa untuk membawa permen yang selalu dikonsumsi oleh ibunya.
"Baik dokter." Alexa lalu merogoh ranselnya. Dia mencari-cari benda yang dimaksud dokter Rifda.
"Ini dokter … " lanjutnya seraya menyerahkan satu benda kecil berwarna merah muda.
Dokter Rifda meraihnya dan memerhatikan sambil mengerutkan alisnya yang tertata rapi. Melihatnya seperti ada barisan semut yang berbaris rapi di atas kelopak mata sayu milik dokter itu.
"Permen karet?" tanya dokter Rifda heran.
"Iya dokter. Apa dokter Agung tidak menceritakan detil dari tugasku?" timpal Alexa.
"Hem … dia selalu saja seperti itu. Bermain rahasia-rahasiaan adalah hobinya. Dasar dokter gila!" rutuk dokter Rifda tanpa sengaja.
Alexa tercengang seketika.
"Ah, maafkan aku. Kamu jadi mendengar ocehanku. Beliau adalah teman kuliahku dulu. Hingga akhirnya kami berpisah karena dia mengambil spesialisasi di bidang kejiwaan," ujar dokter Rifda.
Alexa manggut-manggut. Sempat terbesit di benaknya sosok Angga. Alam bawah sadarnya seolah mengajaknya berhayal 'mungkin kelak aku dan Angga akan seperti mereka … menjadi rekan seprofesi --dokter'.
'Eh tunggu! Bukankah tadi dokter Rifda bilang kalau dokter Angga adalah teman kuliahnya dulu? Tapi rasanya mustahil!'
Tiba-tiba saja pikiran aneh muncul begitu saja di otak Alexa.
"Em … dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu."
Alexa akhirnya mengikuti rasa keingintahuannya.
"Tentu saja. Tanyakan saja. Aku dengan senang hati menjelaskan perihal kondisi nyonya Renata," sahutnya seraya menyunggingkan senyum tulus.
Cantik. Kata itu yang bisa mewakili paras dokter Rifda saat tersenyum seperti itu. Aksennya pun kini lebih luwes dengan menyebut dirinya dengan kata "aku", mungkin dia sudah merasa nyaman dengan kehadiran Alexa setelah pertemuan kedua ini..
"Tapi … aku tidak ingin menanyakan tentang mama. Ada hal lain yang mengganjal pikiranku," jawab Alexa ragu-ragu.
"Katakan saja, jangan ragu."
"Tadi dokter bilang kalau dokter Agung adalah teman kuliah anda. Bukankah, em …dokter Agung terlalu … tua untuk digolongkan sebaya dengan dokter Rifda yang nampak cantik dan muda. Ah, maaf kalau aku lancang, dokter."
Dengan sedikit keberanian yang berhasil ia kumpulkan, akhirnya tercetuslah pertanyaan yang mengganjal hati Alexa.
"Oh, itu … " dokter Rifda terkekeh. Nampak gigi rapi nan bersih berjajar saat dokter Rifda tertawa.
"Kupikir kamu mau bertanya hal apa. Ternyata itu … " ujar dokter Rifda di sela kekehannya.
"Em … maaf dokter, aku salah ya? Seharusnya aku tidak menanyakan hal bodoh seperti itu."
Alexa menyesali perbuatannya. Wajahnya memerah karena malu.
"Bukan … kamu tidak salah. Aku malah salut padamu. Kejelianmu perlu diacungkan jempol."
'Jeli katanya?' Kini alis Alexa bertaut, bingung.
"Iya … kamu sampai memerhatikan perbandingan umur kami hanya dengan melihat penampilan kami. Bukankah itu bakat yang perlu diasah?"
Alexa tersenyum miris.
"Oh iya, jawaban dari pertanyaanmu adalah benar dan salah."
"Benar dan salah? Maksud dokter apa?" Alexa benar-benar dibuat bingung oleh jawaban dokter Rifda.
"Jawaban benar, karena kami adalah teman kuliah. Dan jawaban salah, karena memang usia kami tidak jauh berbeda."
Mata Alexa terpusat penuh pada wajah cantik dokter Rifda. Bukan hanya peduli dengan jawaban dari pertanyaannya, tapi sesaat dia mengangumi kecantikan yang terpancar dari wajah dokter Rifda. Belum lagi, cara dokter Rifda berbicara membuat Alexa terpukau. Mungkin jika Alexa adalah seorang laki-laki, dia pasti langsung jatuh cinta pada dokter itu.
"Jika selanjutnya pertanyaanmu adalah kenapa penampilan kami terlihat begitu membentang jauh perbedaannya , itu karena Agung meninggalkan kuliahnya selama tiga tahun. Dan baru ku ketahui ternyata bukan karena keterbatasan biaya ataupun rasa malas pada dirinya sehingga tidak melanjutkan kuliah, tapi dia menceburkan diri ke lingkungan yang berisi orang-orang yang sakit jiwa. Terakhir kali aku bertemu dengannya setelah kelulusanku, dia tengah membuat satu karya ilmiahnya tentang tingkah laku manusia yang mengalami gejala paranoia. Yah … "
Dokter itu menjeda ucapannya dengan melepaskan kacamatanya.
"Karena itulah dia menggalihkan minatnya pada bidang kejiwaan. Menurutnya, mempelajari kepribadian dan tingkah laku manusia lebih menyenangkan daripada berkutat antara suntikan dan pisau bedah," tutur dokter Rifda.
Alexa ber "Oh" ria setelah mendengar jawaban dokter Rifda yang cukup mengejutkan.
Dokter Rifda melirik jam kecil yang ada di atas meja kerjanya.
"Baiklah, saya rasa kita bisa kembali ke pertanyaanmu di awal pertemuan tadi."
Dokter itu langsung berganti aksen menjadi formal kembali. Sepertinya dokter Rifda sedikit terhanyut akna masa lalu hingga lupa bahwa ada hal yang harus dia urus dengan Alexa.
Alexa tersentak. Dia langsung teringat niatan awalnya bertemu dengan dokter Rifda.
"Iya, dokter. Bagaimana? Apakah aku bisa menemui mamaku?" ujar Alexa
"Untuk saat ini, nyonya Renata belumdapat ditemui. Kmai mohon pengertian dari anda agar kami bis adengan leluasa mengobservasi kondisi nyonya Renata tanpa ada pengaruh dari luar," jawab dokter Rifda.
Kecewa bercampur sedih mengaduk hati Alexa.
"Apakah aku sama sekali tidak bis amenemui mama barang sebentar saja, dokter? Saya menghawatirkan keadaan mama. Saya … " ujar Alexa menggantung.
Dokter Rifda seperti mengerti kegelisahan Alexa tapi hal itu dia lakukan untuk memebrikan pengobatan yang tepat pada nyonya Renata.
"Saya mengerti kekecewaan dan kehawatiran anda. Tapi jangan hawatir, tim dokter di rumah sakit ini merupakan tim ahli di bidangnya. Karena itu, kami berusaha yang terbaik untuk mengobati nyonya Renata."
Meski kecewa dan sedih. Alexa berusaha mengerti prosedur yang diterapkan rumah sakit untuk kebaikan pengobatan mamanya. Dia kemudian pamit pada dokter Rifda. Langkahnya sangat gontai keluar dari ruangan dokter Rifda. Diliriknya jam di ponselnya, masih terbilang pagi. Matahari bakan belum berada di tengah tengah langit. Dia berniat pulang ke rumah untuk memberesi keperluan mama dan dirinya. Bagimanapun, kemungkinan Alexa harus mencari tempat bermalam selain di rumahnya sendiri ataupun di kosan Angga. Dia tidak mau tidur di rumah saat mamanya tidak ada di rumah, bisa jadi sasaran empuk kegilaan Ben.